Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Polemik Pencalonan DPD

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Hiruk-pikuk, heboh, dan ketegangan proses Pemilu Serentak 2019 sepertinya tak akan sirna sampai pemungutan suara pada 17 April. Publik melalui media sosial lebih dahsyat lagi membincangkan dan saling 'serang' antarpendukung pasangan capres. Dinamika tersebut menjadi tak terhindarkan karena Indonesia memang telah menerapkan sistem demokrasi langsung yang relatif bebas.

Keputusan politik menempuh demokrasi langsung dan kini, penyelenggaraan Pemilu Serentak -dengan alasan efektifitas dan penghematan biaya- telah mendorong mayoritas masyarakat ambil bagian dalam kapasitasnya masing-masing. Dalam proses Pemilu Serentak, salah satu yang cukup menyita perhatian kasus calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Oesman Sapta Odang (OSO).

Pengusaha yang memiliki saham di berbagai perusahaan itu, memang telah lama aktif dalam politik. Dimulai sebagai salah satu anggota MPR dari Utusan Daerah, lalu menjadi anggota dan kemudian pimpinan DPD. OSO pernah juga mendirikan Partai Utusan Daerah (PPD) yang ikut berlaga dalam Pemilu 2014, tapi gagal meraih kursi ke parlemen. OSO lalu meneruskan kepemimpinan Wiranto di Partai Hanura sebagai ketua umum. Posisi OSO sebagai Ketua Umum Hanura inilah yang mengganjalnya maju kembali menjadi senator dari daerah pemilihan Kalimantan Barat. Keputusan Mahkamah Kontitusi yang meminta pengurus partai mundur jika mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD menjadi dasar dan pijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak mencantumkan OSO.

Proses hukum yang dilakukan kuasa hukumnya juga tak tanggung-tanggung, melibatkan Mahkamah Agung, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Semua institusi memenangkan OSO. PTUN dan Bawaslu memerintahkan KPU mencantumkannya sebagai caleg DPD, tanpa harus mundur dari kepengurusan partai.

Polemik pun berjalan lama. KPU kukuh pada pijakan MK. Demikian pun kubu OSO. KPU memberi batas akhir tanggal 22 Januari agar OSO menyerahkan surat pengunduran diri dari kepengurusan partai jika tetap ingin maju sebagai caleg DPD. Sebab proses pencetakan surat suara pemilu sudah mulai dilakukan.

OSO tetap pada keyakinan, langkah hukum yang memenangkan gugatan menjadi alasan tidak mundur dari partai. Selasa (22/1), lima jam sebelum batas waktu terakhir pukul 24.00, OSO dan pimpinan DPD mengundang para pemimpin redaksi dan sejumlah editor.

Pada forum itu OSO menegaskan sikapnya untuk melawan KPU. Dia juga menegaskan KPU telah mengambil sikap membahayakan pemilu dengan tidak mencantumkan namanya sebagai caleg DPD. KPU pun tegas pada sikapnya. Batas waktu telah dilalui dan tidak ada surat dari OSO, maka namanya tak dicantumkan. KPU bertanggung jawab atas keputusannya dan siap menanggung semua persoalan hukum yang dituduhkan kubu OSO.

Dari polemik atas kasus OSO ini kita masih melihat, aturan mengenai penyelenggaraan pemilu seperti UU Pemilu dan Peraturan KPU masih menimbulkan celah hukum untuk diperdebatkan dan berpotensi membuat proses serta pelaksanaan pemilu terganggu. Maka, kasus OSO diharapkan tidak akan berpotensi membuat Pemilu Serentak terganggu, apalagi sampai menimbulkan konflik di lapangan. Semua pihak harus berkepala dingin dan tetap menjadikan hukum sebagai jalan akhir, apabila masih merasa teraniaya atau dirugikan.

KPU sebagai penyelenggara dan institusi lain seperti Bawaslu harus duduk bersama membahas berbagai kemungkinan dengan putusan terakhir tidak mencantumkan nama OSO. Paling tidak, semua harus menjaga kondisi aman atas semua tahapan proses pemilu. Diharapkan juga agar OSO dan para pendukungnya untuk menghargai putusan KPU, meskipun proses hukum atas para komisioner yang dilaporkannya ke pihak berwajib tetap berjalan.

Komentar

Komentar
()

Top