Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pilkada Langsung Sudah Bagus

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung saat ini, sesungguhnya belum lama diterapkan. Tepatnya mulai 1 Juni 2005. Pilkada langsung pertama digelar di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Ketika itu, dari tiga pasangan calon, nomor urut tiga Syaukani HR-Samsuri Aspar yang diajukan Partai Golkar memenangkan pilkada dengan perolehan mayoritas di atas 60 persen.

Pilkada langsung pertama di Kukar yang dilaksanakan berdasarkan UU No 32 tahun 2004 itu menjadi momentum penting dan strategis perkembangan demokrasi, khususnya tingkat lokal. Sejak itu, setiap orang dengan kelebihan dan kemampuan bisa maju sebagai calon kepala daerah asalkan diusung partai dan memenuhi persyaratan.

Tiga belas tahun sesudah pilkada langsung pertama di Kukar, semua kabupatan/kota dan seluruh provinsi telah menggelar pilkada langsung. Hasilnya, banyak muncul pemimpin daerah yang benar-benar harapan masyarakat serta menjadi contoh daerah lain dalam kepemimpinan.

Contoh kecil Bupati Banyuwangi Azwar Anas yang telah mengubah wajah kota tersebut hingga terkenal dan mengalami kemajuan sangat pesat. Juga di Kabupaten Bantaeng, Nurdin Abdullah yang mampu membawa perubahan luar biasa bagi masyarakat. Ada juga Gubernur NTB Tengku Zainul M atau Tuan Guru Bajang yang berhasil memajukan NTB dan menjadikan provinsi ini destinasi wisata menarik. Banyak daerah lain yang maju karena kepemimpinan bupati/wali kota atau gubernur yang dipilih langsung.

Adakah ekses pilkada langsung? Tentu ada dan ini tidak bisa dikesampingkan. Sejumlah kasus suap dan korupsi yang menyeret kepala daerah hingga mendekam di penjara KPK, jika ditarik hubungan, ada juga kaitannya. Ongkos politik yang tinggi mendorong sejumlah kepala daerah dan calon mengumpulkan uang dari hasil suap dan korupsi. Juga ekses keamanan yang ditimbulkan ketika sengketa atau konflik melanda sebagaian daerah.

Namun demikian, kita menekankan bahwa hal itu bukan berati pilkada langsung mendorong kepala daerah korupsi ataupun membuat suatu daerah tak stabil. Suap dan korupsi lebih kepada perilaku segelintir pejabat yang memang ingin jalan pintas dan bukan mengutamakan kapasitas atau kepemimpinan.

Jadi, kalau saat ini muncul wacana -terutama yang dilontarkan pimpinan DPR dan beberapa politisi- perlunya dievaluasi dan jika perlu dikembalikan lagi pemilihan daerah melalui DPRD, bukan langsung seperti kini, pemikiran itu yang justru perlu dievaluasi.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sendiri selaku pihak yang paling berkepentingan atas pelaksanaan pilkada langsung sudah memberikan jawaban tegas bahwa sistem pemilihan langsung saat ini yang terbaik. Apabila ada ekses atau dampak negatif yang muncul, maka ekses itu yang harus diselesaikan, bukan sistemnya dikembalikan.

Kita setuju atas pemikiran dan sikap Mendagri tersebut. Kita yakin bahwa rakyat di zaman serbamodern dan terbuka saat ini, harus diberikan pilihan-pilihan calon pemimpin terbaik yang bersumber bukan hanya dari partai, tapi dari seluruh elemen masyarakat. Sebab dari sana sumber kepemimpinan melimpah dan tinggal menyaring.

Untuk evaluasi pilkada langsung kita setuju dalam konteks melakukan evaluasi atas ongkos politik yang sangat tinggi yang juga membatasi figur berkualitas bisa maju sebagai kandidat. Contohnya, meski partai sering menegaskan tidak ada uang mahar, buktinya setiap calon yang diusung dimintai uang yang besar untuk kepentingan partai. Ini belum lagi keperluan kampanye dan saksi. Itulah yang harus dievaluasi.

Dengan capaian selama 13 tahun terakhir, kita menyaksikan betapa Indonesia telah menjadi negara yang cukup demokratis. Penguatan atas sistem pilkada langsung harus didukung semua eleman, terutama partai politik yang harus konsisten antara pernyataan elitenya dan praktik di lapangan.

Komentar

Komentar
()

Top