Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sistem Ketatanegaraan I MPR Jadi Lembaga Tertinggi Negara Harus Dibicarakan Setelah Pilpres 2024

Pidato Ketua MPR Timbulkan Banyak Pertanyaan

Foto : ISTIMEWA

Ketua Majelis Permusy­awaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo (Bamsoet)

A   A   A   Pengaturan Font

» Pilpres langsung merupakan landasan kuat demokrasi yang telah ditegakkan dalam UUD 1945.

» Harus ada ruang deliberasi politik publik agar gagasan itu tidak hanya milik segelintir elite, tapi juga jadi diskursus publik (masyarakat).

JAKARTA - Pidato Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam Sidang Tahunan MPR 2023 di Jakarta, Selasa (16/8), yang meminta status MPR dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara menuai pertanyaan dari berbagai kalangan. Banyak yang bertanya-tanya apakah Bamsoet dinilai hendak mencabut kembali kedaulatan 200 juta pemilih dan dikembalikan pada sekitar 700 wakil rakyat dalam memilih Presiden.

Ahli Komunikasi Politik, Benny Susetyo, di Jakarta, Kamis (17/8) mengatakan bahwa tidak ada problem besar apalagi perpecahan di bangsa ini seperti pidato Ketua MPR. Masyarakat sudah matang dalam demokrasi sehingga tidak tepat untuk mengatakan akan ada masalah.

"Mengenai MPR mau jadi lembaga tertinggi, harus dibicarakan setelah Pilpres 2024, sehingga lebih dalam lagi untuk merumuskan amendemen sebagai satu kesatuan yang utuh. Sekarang yang penting kedewasaan elite politiknya, kalau rakyat sudah matang. Para elite harus mampu menjaga kedaulatan rakyat," kata Benny.

Isu penundaan pemilu, menurut Benny, tidak perlu ada karena rakyat sudah matang dalam berdemokrasi dan siap menyukseskan Pemilu 2024 sesuai jadwal.

"Tidak ada situasi kedaruratan. Kita yakin pemilu akan berjalan baik," kata Benny.

Pengamat politik dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, Umar Sholahudin, mengatakan bahwa gagasan pengembalian MPR sebagai lembaga tinggi negara perlu kajian yang lebih cermat dan mendalam serta harus diletakkan dalam ruang terbuka agar dapat didiskusikan.

"Harus ada ruang deliberasi politik publik agar gagasan itu tidak hanya milik elite, tapi juga jadi diskursus publik (masyarakat). Bukan gagasan elite semata, tapi gagasan dan kepentingan serta kebutuhan sang pemilik kedaulatan yakni rakyat. Gagasan itu tentu saja akan berkonsekuensi pada amendemen konstitusi, ini yang harus kita cermati juga, jangan sampai amendemen konstitusi menjadi ladang dan arena politik para elite yang bersumbu pendek, arena kepentingan politik segelintir elite yang pragmatis," kata Umar.

Konsekuensi dari kedudukan MPR tersebut membuka peluang kembali Presiden dan Wakil Presiden akan dipilih secara tidak langsung. Ini akan mereduksi prinsip kedaulatan rakyat. Gagasan tersebut akan baik dan relevan ke depannya jika sistem dan kelembagaan partai dan DPR dalam kondisi stabil.

Tujuan Tertentu

Sekretaris Jenderal Pergerakan Advokat, Eko Prastowo, Kamis (17/8), saat diminta tanggapannya mengenai pidato Ketua MPR, Bambang Soesatyo dan juga Ketua DPD, La Nyalla Mattaliti mengatakan, sangat yakin pidato tersebut mempunyai maksud dan tujuan tertentu.

Menurut Eko, sudah jelas, salah satu hasil perjuangan gerakan reformasi untuk menurunkan rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun, adalah presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Pemilihan Presiden (Pilpres) langsung, kata Eko, merupakan landasan kuat demokrasi yang telah ditegakkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pelaksanaan pemilu sebagai manifestasi kedaulatan rakyat memiliki peran krusial dalam menentukan wakil-wakil terpilih di berbagai tingkatan, termasuk Presiden dan Wakil Presiden.

Pernyataan Ketua MPR mengenai kemungkinan situasi luar biasa yang dapat mengganggu penyelenggaraan pemilu, menimbulkan pertanyaan yang berbahaya.

Salah satu pertanyaan yang muncul adalah jika keadaan darurat atau hal-hal di luar kendali terjadi menjelang pemilu, lembaga mana yang akan memiliki kewenangan untuk menangani situasi tersebut?

"Sampai mempertanyakan bagaimana jika ada situasi genting sehingga pemilu tidak bisa dilaksanakan ini kan mengada-ada. Jelas dalam konstitusi, Presiden yang bertanggung jawab atas apa pun yang menimpa negara ini. Tidak perlu dipertanyakan lagi. Janganlah demi kekuasaan lalu rakyat diajak set back ke masa lalu, Presiden dipilih MPR, tak perlu ada pilpres. Ini bahaya sekali," papar Eko.

Sementara itu, pakar Hukum Tata Negara UGM, Andi Sandi, menjawab singkat bahwa kewenangan itu ada pada Presiden.

"Kewenangan itu ada pada Presiden sesuai Pasal 12 UUD Negara RI Tahun 1945, sudah jelas ya," kata Andi.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top