Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Krisis Pangan I Produksi Harus Beragam agar Terhindar dari Kerawanan Pangan

Petani Berjuang Sendiri Hadapi Penyusutan Produksi Pangan

Foto : ANTARA/ARNAS PADDA

PETANI PERLU DIPERKUAT I Petani memupuk padi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Selasa (23/5). Menghadapi penyusutan produksi pangan tahun ini, petani perlu diperkuat dengan berbagai cara mulai dari penguatan akses informasi, pelatihan, dan pendampingan.

A   A   A   Pengaturan Font

» Presiden Tiongkok, Xi Jinping sadar betul kalau kebergantungan pada pangan impor akan melemahkan sistem keamanan nasional.

» Perubahan cuaca sangat berkaitan dengan musim yang tidak menentu sehingga terjadi ledakan hama dan produksi menurun.

JAKARTA - Jumlah penduduk dunia yang terus tumbuh hingga 8,034 miliar jiwa saat ini menjadi tantangan tersendiri para pemimpin negara-negara terutama dalam menyiapkan pangan dan kebutuhan lainnya.

Data dari worldometer.info menyebutkan jumlah angka kelahiran tahun ini sebanyak 52.439.131 jiwa sedangkan jumlah angka kematian mencapai 26.259.061 jiwa. Dengan demikian jumlah pertambahan penduduk tahun ini mencapai 26.180.071 jiwa.

Hal itu berarti, dunia harus menyiapkan asupan pangan tambahan pada tahun ini kepada lebih 26 juta lebih manusia. Sementara, saat ini saja di beberapa kawasan sudah dilanda kelaparan salah satunya karena produksi pangan global menyusut akibat cuaca ekstrem, terutama di Tiongkok dan India yang merupakan negara produsen.

Selain penurunan produktivitas akibat cuaca ekstrem di India dan Tiongkok, negara produsen sekaligus eksportir pangan lainnya yaitu Ukraina sedang dilanda konflik dengan Russia.

Ekspor gandum Ukraina ke berbagai negara konsumen dihambat oleh Russia yang tengah berseteru.

Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah yang diminta pendapatnya mengatakan perubahan iklim nyata sudah terjadi dan memberikan dampak yang cukup serius.

Pengalaman di lapangan menunjukkan perubahan iklim sangat terkait dengan perubahan musim yang berkorelasi dengan ledakan hama penyakit dan penurunan produksi.

Terbaru misalnya di Satar Mese, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa desa mengalami gagal panen tanaman padi karena ledakan hama wereng.

"Situasi ini tentu saja memerlukan keseriusan semua pihak tidak hanya pada level masyarakat atau petani namun yang lebih penting pemerintah," papar Said.

Ia menekankan penguatan kapasitas adaptasi petani perlu diperkuat dengan berbagai cara mulai dari penguatan akses informasi, pelatihan, dan pendampingan dan lainnya. Ini diperlukan karena hari ini petani seolah berjuang sendiri.

"Tentu saja petani memerlukan dukungan yang kuat dari para pihak lainnya," kata Said.

Padahal, Pemerintah menjadi aktor penting tidak hanya membuat kebijakan yang pro iklim namun juga mendorong alokasi budget yang memadai sehingga daya ungkit di tingkat petani tercipta dan produksi meningkat. Peningkatan daya saing petani, infrastruktur pendukung, pembiayaan gagal panen, pendampingan, inovasi teknologi dan lainnya bisa didorong menjadi program pemerintah.

Selain itu, diperlukan pula upaya peningkatan produksi pangan yang tidak hanya terfokus pada satu komoditas. Penguatan produksi pangan perlu dikembangkan lebih beragam agar terhindar dari risiko kerawanan pangan.

"Indonesia punya sumberdaya untuk mengembangkan keanekaragaman pangan karen kaya akan sumberdaya genetik dan jenis pangan lokal," kata Said.

Sementara itu, Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi mengatakan selain menangani komoditas pangan, petani selaku produsen harus diperhatikan serius.

"Terkait dengan produksi pangan, tentu petani sebagai pelaku utama juga harus diutamakan pemenuhan hak-haknya. Apalagi Indonesia termasuk negara promotor Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP).

Secara terpisah, Guru Besar Pertanian UGM, Dwijono Hadi Darwanto mengatakan dalam situasi ancaman perubahan iklim yang mengancam ketersediaan pangan secara global, maka perlu dua langkah yang harus dipercepat.

Di sektor konsumsi, masyarakat didorong untuk tidak hanya tergantung pada satu komoditas utama. Sedangkan, di sisi produksi perlu mencari strategi agar setiap komoditas lebih tahan terhadap kelangkaan air.

"Peringatan PBB memang perlu diantisipasi, namun kalau kita kembali ke alam atau back to nature maka sumber karbohidrat bagi masyarakat, bukan hanya dari beras tetapi bisa dari singkong atau aneka umbian, asal bukan gandum (terigu) yang kita tidak bisa menanamnya dan 100 persen impor," kata Dwijono.

Lahan Subur Terdegradasi

Sementara itu, Dikutip dari Foreign Policy, Menteri Pertanian dan Urusan Pedesaan Tiongkok, Tang Renjian, baru-baru ini mencatat bahwa, setiap hari, 1,4 miliar penduduk Tiongkok mengonsumsi 700 ribu ton biji-bijian, 98 ribu ton minyak nabati, 1,92 juta ton sayuran, dan 230 ribu ton daging.

Hal itu yang menjadi alasan Presiden Tiongkok Xi Jinping sejak menjabat pada 2013 lalu memprioritaskan ketahanan dan swasembada pangan, karena sistem politik Tiongkok tetap rentan terhadap kerawanan pangan.

Xi sadar betul kalau kebergantungan pada pangan impor akan melemahkan sistem keamanan nasional Tiongkok. Dia menekankan bahwa "mangkuk nasi rakyat Tiongkok harus selalu dipegang teguh di tangan mereka sendiri dan diisi terutama dengan biji-bijian Tiongkok".

Pendekatannya untuk menjaga ketahanan pangan nasional bertumpu pada pencapaian swasembada dengan meningkatkan pasokan domestik. Pada Konferensi Kerja Ekonomi Pusat pada Desember 2022, Xi menegaskan kembali pentingnya memperkuat kapasitas Tiongkok untuk memastikan ketahanan pangan dan swasembada.

Xi mengakui bahwa melestarikan lahan pertanian adalah faktor yang sangat diperlukan dalam upaya mencapai swasembada pangan. Tiongkok telah mengalami tingkat kehilangan dan kerusakan lahan pertanian yang mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir. Survei penggunaan lahan terbaru menunjukkan bahwa total lahan subur di Tiongkok menurun dari 334 juta hektar pada tahun 2013 menjadi 316 juta hektar pada tahun 2019, kehilangan lebih dari 5 persen hanya dalam waktu enam tahun. Yang mengejutkan, lebih dari sepertiga lahan subur Tiongkok yang tersisa, mengalami masalah degradasi, pengasaman, dan salinisasi.

Sementara dari India, panen gandum tahun ini terpukul karena curah hujan yang berlebihan di bulan Maret yang genting ketika memasuki tahap biji-bijian sedang terisi menjelang panen pada April.

Dikutip dari Mongabay, tahun lalu, suhu yang berlebihan pada Maret, yang paling tajam sejak pencatatan suhu negara dimulai pada 1901, berdampak pada produksi gandum yang lebih rendah dari produksi yang diharapkan, sekitar 4,5 juta ton.

India menargetkan 111,32 juta ton produksi gandum pada 2022, tetapi realisasi akhir tidak lebih dari 106,84 juta ton.

Tahun ini di tahun 2023, India menargetkan produksi 112 juta ton produksi gandum, 5 lebih tinggi dari tahun lalu. Mereka telah menabur gandum lebih dari 34 juta hektar di seluruh negeri, yang sedikit lebih tinggi dari tahun lalu.

Ketika sedang bersiap-siap panen, petani mengalami pukulan besar karena curah hujan yang berlebihan di beberapa negara penghasil gandum yang penting.

Misalnya, Punjab dan Haryana, menerima curah hujan tak terduga yang masing-masing melebihi 205 persen dan 220 persen, antara 1 Maret dan 3 April, menurut data dari Departemen Meteorologi India.

Presiden Rusia Vladimir Putin dari Moskow menegaskan kembali kalau pihaknya telah setuju untuk memperpanjang kesepakatan yang memungkinkan ekspor biji-bijian Ukraina ke pasar global hanya selama 60 hari dan dapat membatalkannya sama sekali jika persyaratannya tidak terpenuhi.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top