Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ketahanan Pangan I Dalam Setahun, Seluruh Luasan Lahan Pertanian Hanya Panen 1,6 Kali

Perubahan Iklim Membuat Pasokan Pangan Makin Runyam

Foto : Sumber: BPS – Litbang KJ/and - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kekhawatiran pemerintah akan ancaman krisis pangan pada paruh kedua tahun ini semestinya segera diantisipasi dengan mengambil langkah-langkah taktis yang berkaitan langsung dengan upaya meningkatkan produksi pangan dalam negeri. Jangan malah jadi pembenaran melakukan impor dengan dalih untuk menjaga ketahanan pangan nasional.

Saat ini, kebijakan impor dinilai bukan waktu yang tepat karena harga komoditas pangan global sedang melambung akibat pembatasan ekspor beberapa negara produsen utama seperti India yang melarang ekspor beras guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Begitu pula Ukraina yang tidak bisa mengekspor gandum mereka karena ada ancaman dari Russia.

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan perubahan iklim membuat ketahanan pangan nasional semakin komplikasi dan runyam karena pekerjaan rumah (PR)- nya dobel dan harus diselesaikan satu per satu. Selain ancaman ledakan hama dan penyakit tanaman lainnya, kekeringan sudah nyata-nyata menyebabkan rendahnya produktivitas pertanian di Tanah Air.

"Di samping penurunan produktivitas secara alami, juga karena ada hama. Artinya PR-nya dobel," kata Dwijono.

Sebelum ancaman hama jadi nyata, pada saat ini data BPS menunjukkan perbandingan antara luas panen padi dengan luas sawah itu hanya menghasilkan panen 160. Hal itu berarti dalam setahun seluruh luasan lahan pertanian hanya panen 1,6 kali.

"Kenapa? Saya mensinyalir kerusakan irigasi. Irigasi tersier dan kuarter. Hampir 60 persen lebih itu sudah rusak. Otomatis pasokan air jadi terganggu. Pasokan air yang terganggu itu, selama ini tidak pernah dibetulkan. Itu yang sebenarnya sebagai ancaman dan sudah ada sejak lama, tapi tidak pernah diperbaiki," kata Dwijono.

Dia pun membandingkan dengan Vietnam, dimana irigasi dari Sungai Mekong yang tadinya hancur karena perang, begitu selesai perang diperbaiki. Sekarang, produksi beras di Vietnam sudah lebih tinggi dari Indonesia.

Selain itu, katanya, kualitas benih di Indonesia juga sangat kurang. Menghadapi musim kering, Kementan seharusnya sudah mempersiapkan diri dengan benih padi yang tahan kekeringan.

Terakhir adalah penyuluh di mana sejak reformasi jumlah tenaga penyuluh terus mengalami penurunan.

"Pola tanam saat ini juga tidak jelas, karena tidak barengan, sehingga ancaman hama makin berat. Hama itu secara tradisional bisa dihadapi kalau tanam bareng, panen bareng. Karena penyuluh sudah berkurang maka masa tanam juga beda-beda," papar Dwijono.

Kian Terancam

Pada kesempatan lain, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan bahwa dampak perubahan iklim pasti meningkatkan serangan hama penyakit yang membuat produksi padi kian terancam. Kondisi tersebut sudah melanda banyak daerah, di mana ledakan hama wereng membuat produksi turun.

"Di tengah kondisi seperti ini, petani membutuhkan pendampingan, pemerintah harus ikut turun membantu mengendalikan dan mengatasi serangan hama demi menjaga produksi," kata Said.

Perlunya bantuan pemerintah karena produsen pangan yang dalam hal ini petani sumber dayanya sangat terbatas untuk membendung serangan hama.

Di sisi lain, pemerintah punya sumber daya yang cukup, baik anggaran teknologi dan infrastruktur untuk membantu petani. "Jangan sampai petani-petani di daerah berjuang sendirian menghadapi situasi sulit ini. Kalau tidak dibantu, tentu mengganggu produksi secara nasional," kata Said.

Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan jika impor benar-benar jadi solusi mengatasi kekurangan stok pangan, maka pemerintah kembali lagi membuat kebijakan temporer.

Pemerintah seharusnya memacu petani agar bisa meningkatkan produktivitas pangan melalui kolaborasi antara pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi.

Peran pemerintah, katanya, seharusnya mengeluarkan kebijakan (peraturan) yang memfasilitasi kebutuhan petani, melindungi petani dengan tarif masuk agar impor pangan jangan merusak harga.

"Selain itu, memberi subsidi untuk pengadaan sarana dan prasarana pertanian agar petani bisa mengaksesnya lebih mudah," kata Esther.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top