Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Krisis Air I Krisis Air Hanya Bisa Diatasi Melalui Sinergi dan Kolaborasi

Perubahan Iklim di Indonesia Picu Suhu Naik 0,30 Celsius dan Curah Hujan Turun 3 Persen

Foto : Sumber: Kemenkeu – Litbang KJ/and - KORAN JAKARTA/
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan perubahan iklim telah mengancam ketersediaan air dan lahan, sehingga perlu kolaborasi global untuk menghadapi dampak tersebut ke depan.

Deputi bidang Kebijakan Pembangunan BRIN, Mego Pinandito, dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 bertajuk "Riset dan Inovasi Solusi Krisis Air" di Jakarta, Rabu (13/3), mengatakan di Indonesia perubahan iklim menimbulkan dampak yang signifikan pada kenaikan suhu 0,3 derajat Celsius dan penurunan curah hujan setiap tahun sebesar 2-3 persen.

"Musim penghujan menjadi lebih pendek dan sebaliknya musim kemarau perlahan-lahan menjadi lebih panjang. Perubahan ini tentu berdampak pada proses hidrologi dan sumber daya air, perubahan siklus air, kenaikan suhu bumi, kenaikan muka air, dan terjadinya iklim ekstrem," papar Mego.

Dengan ancaman nyata itu, maka dia memandang penting mendorong kesadaran dan peran serta masyarakat menyelamatkan air, dan pentingnya menyediakan data dan informasi terkait dampak perubahan iklim.

"Intinya memang mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air menjadi sangat penting dan harus dikuatkan," kata Mego.

Hal itu diyakini akan akan mampu menginventarisasi tempat pengambilan air baku untuk air minum di sungai (intake) dan daerah irigasi yang terkena dampak kenaikan muka air laut dan upaya-upaya penanganannya. Kemudian, secara berkesinambungan akan memperbaiki jaringan hidrologi di tiap wilayah sungai sebagai pendeteksi perubahan ketersediaan air maupun sebagai perangkat pengelolaan air dan sumber air.

"Dengan mitigasi dan adaptasi akan menginventarisasi daerah aliran sungai (DAS) yang mengalami pencemaran, namun tingkat penggunaan airnya sangat tinggi untuk ditentukan prioritas penanganannya. Hal yang paling penting adalah melanjutkan gerakan hemat air untuk segala keperluan air minum, domestik, pertanian, industri, pembangkit listrik, dan sebagainya," kata Mego.

Krisis air, jelasnya, hanya bisa diatasi secara bersama-sama melalui sinergi dan kolaborasi dengan berbagai lembaga terkait. Berkaitan dengan upaya mitigasi, Indonesia harus memanfaatkan forum-forum internasional untuk menggaungkan perlunya upaya pencegahan untuk mengatasi pemanasan global yang telah menyebabkan perubahan iklim dan pada akhirnya menimbulkan berbagai bencana.

World Water Forum yang akan diadakan di Bali diharapkan bisa mendorong aksi nasional yang bisa menggugah masyarakat global. Pendekatan sinergi dilakukan melalui pengembangan wilayah atau tata ruang, pembangunan sektoral, penguatan inisiasi komunitas, dan bisnis hijau.

Dia pun berharap daerah di Indonesia bahkan dunia bisa melihat pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat yang dilakukan di Bali dengan sistem subak. Sistem pengairan dengan subak berkembang dalam pengaruh nilai agama Hindu dan menjadi kearifan lokal.

Petani dapat hidup serasi dengan alam agar memperoleh hasil panen optimal. Pola pertanian sesuai lanskap Bali, terutama dalam penciptaan sawah berundak-undak. Masyarakat mengelola pengairan lahan pertanian sesuai kondisi kontur daerah, dengan cara membuat terasering di lereng bukit dan menggali kanal untuk mengairi lahan sehingga memungkinkan mereka untuk menanam padi.

"Sistem ini dapat diterapkan di daerah mana pun dengan penyesuaian kearifan lokal yang ada, dan bisa diperkuat dengan pemanfaatan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kemampuan dan budaya masyarakatnya," kata Mego.

Mitigasi Kerawanan Pangan

Secara terpisah, pengamat pangan dari Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Lailatul Muniroh, meminta pemerintah bersama masyarakat melakukan mitigasi kerawanan pangan untuk mengantisipasi perubahan kondisi iklim ekstrem yang mempengaruhi produksi dan stok pangan dalam negeri.

"Negara harus melakukan prediksi cuaca dan mitigasi kerawanan pangan, dengan melakukan kajian mendalam tentang terjadinya perubahan cuaca dan dampaknya. Hal ini didukung fasilitas dan teknologi mutakhir, seperti satelit, radar, dan sistem informasi," kata Lailatul.

Kondisi tersebut dapat diantisipasi lebih dini untuk mengurangi dampak kemarau berkepanjangan, banjir, tanah longsor, atau bencana alam lainnya, yang dapat menghancurkan lahan pertanian dan infrastruktur. Negara juga harus membantu dan melindungi petani dan masyarakat yang terdampak oleh perubahan iklim.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top