Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Krisis Pangan | Produksi Beras Tahun Ini Diprediksi Turun 2 Persen dari Periode Sebelumnya

Pertanian Rentan Terdampak Perubahan Iklim

Foto : ANTARA

IRIGASI PERSAWAHAN | Aparat TNI dari Koramil 1402-02/ Wonomulyo membantu membersihkan irigasi persawahan milik masyarakat di Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Provinsi Sulawesi Barat, beberapa waktu lalu. Indonesia tercatat memiliki 8,1 juta lahan sawah dengan 4,7 juta di antaranya terakses irigasi dan sisanya tadah hujan.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Perubahan iklim memberi dampak buruk bagi sektor pertanian sehingga bisa mengancam keberhasilan panen dan pasokan pangan. Di Indonesia, kondisi tersebut sangat rentan terjadi.

Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, mengatakan Indonesia tercatat memiliki 8,1 juta lahan sawah dengan 4,7 juta di antaranya terakses irigasi dan sisanya tadah hujan. Selain itu, penggunaan ladang seluas 5,1 juta untuk tanaman pangan nonpadi.

"Dengan kondisi ini maka kondisi perubahan iklim terutama dengan faktor pergeseran siklus hujan, baik terdampak El Nino ataupun cuaca mikro akan sangat mempengaruhi keberhasilan panen," tegasnya pada Koran Jakarta, Senin (4/12).

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September lalu, produksi beras nasional mencapai 30,9 juta ton atau turun dua persen atau 640 ribu ton dibandingkan tahun lalu (yoy). Menurut catatan di lapangan, untuk sawah irigasi dengan penanganan optimal dapat menghasilkan panen 4-6 ton per hektare (ha), tetapi pada masa El Nino atau cuaca panas ektrem hanya menghasilkan rata-rata 3-4 ton. Untuk sawah tadah hujan, produksi dalam kondisi normal 3-4 ton per ha, sedangkan pada musim El Nino terancam kehilangan satu periode tanam.

Tanaman pangan khususnya padi, butuh penanganan khusus karena kebutuhan air sangat urgen, sementara tanaman hortikultura lainnya siklus hujan yang tidak pasti akan menyulitkan petani memprediksi jenis tanaman yang cocok. Terlebih lagi, mayoritas produsen pangan adalah petani tradisional dengan lahan sempit.

Selain itu, usia petani saat ini rata-rata 51 tahun. Dengan demikian, tingkat penguasaan teknologi sangat minim dan hanya menggunakan patokan-patokan tradisional sehingga sering kali mengalami ketidakpastian akibat perubahan-perubahan faktor iklim.

"Maka sudah saatnya, Indonesia masuk pada skema modernisasi pertanian, tidak hanya mengandalkan mekanisme pengendalian air dengan bendungan, waduk, dan irigasi teknis saja, tetapi perlu inovasi-inovasi yang tepat, misalnya mengenalkan sistem drip irrigation (irigasi tetes) untuk lahan tadah hujan," ungkap Hafidz.

Peningkatan Kapasitas

Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi, mengatakan selain terdampak perubahan iklim, sektor pertanian juga berpotensi menjadi salah satu penyebab krisis iklim. Hal itu terutama disebabkan oleh pertanian yang mengandalkan input kimia.

Terkait perubahan iklim, menurut dia, semestinya mitigasi risiko dan adaptasi perlu dilakukan. Pendanaan perlu diprioritaskan untuk hal tersebut terutama untuk peningkatan kapasitas petani. Kapasitas yang dimaksud ialah pengetahuan teknis untuk penerapan pertanian agroekologi atau pertanian organik karena dengan cara ini, bisa menekan laju emisi gas rumah kaca di pertanian.

"Pengetahuan untuk meramalkan musim, dan pengendalian hama dan penyakit perlu diketahui petani," ujarnya.

Seperti diketahui, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), akhir pekan lalu, menyatakan perubahan iklim kian mengancam sektor pangan berbasis pertanian (agrifood). Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang dirilis di sela-sela pertemuan Konferensi Iklim PBB COP-28 di Dubai, Uni Emirat Arab, pekan lalu, menyebutkan perubahan iklim paling berdampak pada pertanian dengan menyebabkan kerugian dan kerusakan.

Laporan menyebutkan 35 persen rencana aksi iklim saat ini secara eksplisit merujuk pada kerugian dan kerusakan. Isu tersebut semakin relevan secara global karena sektor pertanian dinilai sebagai sektor yang paling terdampak.

Laporan itu juga menggarisbawahi pentingnya upaya terarah untuk mengatasi kerentanan sistem agrifood, yang memainkan peran penting dalam penghidupan dan pembangunan berkelanjutan. "Pada 2020, agrifood mempekerjakan lebih dari 866 juta orang di seluruh dunia dan mencatat omzet sebesar 3,6 triliun dollar AS (sekitar 55,6 kuadriliun)," kata laporan itu.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top