Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 19 Agu 2023, 00:30 WIB

Permukaan Laut di Kepulauan Pasifik Naik Lebih Cepat dari Rata-rata Global

Suasana rumah di pantai yang hancur akibat kenaikan permukaan laut di CedeÒo, Kota Marcovia, Departemen Choluteca, di Teluk Fonseca di pesisir selatan Pasifik Honduras, beberapa waktu lalu.

Foto: ORLANDO SIERRA / AFP

JENEWA - Organisasi Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organisation (WMO) mengatakan permukaan laut di Pasifik Barat Daya naik lebih cepat dari rata-rata global. Kondisi ini mengancam pulau-pulau dataran rendah, sementara panas merusak ekosistem laut.

Dalam laporan Keadaan Iklim di Pasifik Barat Daya 2022, Jumat (18/8), badan meteorologi PBB itu mengatakan ketinggian air naik sekitar 4 milimeter per tahun di beberapa area, sedikit di atas tingkat rata-rata global.

Dilansir oleh The Straits Times, itu berarti wilayah dataran rendah seperti Tuvalu dan Kepulauan Solomon dari waktu ke waktu dapat menjadi banjir, menghancurkan tanah pertanian dan layak huni dengan penduduk yang tidak dapat pindah ke tempat yang lebih tinggi.

Laporan tersebut menambahkan gelombang panas laut telah terjadi di wilayah yang luas di timur laut Australia dan selatan Papua Nugini selama lebih dari enam bulan, memengaruhi kehidupan laut dan mata pencaharian masyarakat setempat.

Sekretaris Jenderal WMO, Petteri Taalas, mengatakan El Nino pemanasan suhu permukaan air di Samudra Pasifik bagian timur dan tengah yang terjadi kembali pada tahun 2023, akan sangat mempengaruhi wilayah tersebut.

"Ini akan berdampak besar pada wilayah Pasifik Barat Daya karena sering dikaitkan dengan suhu yang lebih tinggi, pola cuaca yang mengganggu, dan lebih banyak gelombang panas laut serta pemutihan karang," kata Taalas dalam sebuah pernyataan.

Menurut laporan WMO, wilayah tersebut pada 2022, mencatat 35 bencana alam, termasuk banjir dan badai, yang menewaskan lebih dari 700 orang. Bahaya ini secara langsung mempengaruhi lebih dari delapan juta orang.

"Meskipun jumlah peristiwa cuaca bencana yang dilaporkan di wilayah tersebut menurun pada 2022 dibandingkan dengan 2021, skala kerugian ekonomi akibat banjir dan peristiwa cuaca meningkat," kata laporan tersebut.

Kerusakan akibat Banjir

Laporan WMO menunjukkan kerusakan akibat banjir, termasuk di Australia dan Filipina, mencapai 8,5 miliar dollar AS, hampir tiga kali lipat dari tahun sebelumnya.

Sebelumnya seperti dikutip dari Antara, es laut di Antartika terus berkurang sampai mencapai rekor paling rendah tahun ini akibat naiknya suhu global dan tiadanya perbaikan cepat dalam memulihkan kerusakan yang sudah terjadi, kata ilmuwan dalam studi dampak perubahan iklim di benua tersebut.

Tutupan es musim panas minimum di benua itu semakin turun ke level terendah terbaru pada Februari, kata sebuah penelitian yang diterbitkan jurnal Frontiers in Environmental Science pada Selasa.

Tahun lalu, es laut di benua itu turun di bawah dua juta kilometer persegi yang untuk pertama kalinya terjadi sejak pemantauan satelit mulai digunakan pada 1978.

"Butuh waktu puluhan tahun bahkan berabad-abad agar bisa mengembalikannya. Tak ada cara kilat dalam mengganti es ini," kata Caroline Holmes, ilmuwan iklim kutub pada British Antarctic Survey dan salah satu peneliti dalam studi tersebut.

"Itu pasti bakal memakan waktu lama, meskipun itu mungkin terjadi," kata dia dalam pengarahan kepada wartawan.

Es laut minimum tahun ini 20 persen lebih rendah dari rata-rata 40 tahun terakhir ini, sehingga setara dengan hilangnya es laut yang luasnya hampir 10 kali lipat luas Selandia Baru, kata Tim Naish, Direktur Pusat Riset Antartika pada Victoria University of Wellington di Selandia Baru. Naish bukan peserta studi itu.

"Dalam beberapa hal, kita semakin dekat ke titik kritis, yang jika dilewati akan menciptakan perubahan yang tak bisa diubah dengan akibat yang tak bisa dihentikan sampai beberapa generasi ke depan," kata Naish.

Hasil penelitian itu menunjukkan pemanasan global yang dipicu pembakaran bahan bakar fosil telah membuat Antartika lebih rentan dari peristiwa-peristiwa ekstrem dan dampaknya "hampir pasti" bertambah buruk.

Perubahan iklim bakal "menciptakan kenaikan ukuran dan frekuensi" gelombang panas, runtuhnya lapisan es dan berkurangnya es laut, kata penelitian itu. Kesimpulan ini ditarik berdasarkan bukti terbaru dari berbagai penelitian ilmiah terhadap Samudera Antartika, atmosfer, kriosfer, dan biosfer.

Dampak pasti perubahan iklim terhadap Antartika dan lautan di sekitarnya, tidak menentu. Para ilmuwan kesulitan mengukur seberapa besar pemanasan global mempengaruhi ketebalan es Antartika.

Namun, dari fenomena seperti penurunan es laut yang cepat, adalah masuk akal secara ilmiah untuk mengasumsikan peristiwa-peristiwa ekstrem bakal semakin sering karena naiknya suhu global, kata Martin Siegert, ahli glasiologi pada Universitas Exeter dan turut serta dalam studi itu.

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.