Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pemerataan Pembangunan I Listrik di Perdesaan Harus Berbasis Energi Baru Terbarukan

Perlu Tekad Kuat dalam Membangun Rakyat Perdesaan yang Berbasis Teknologi

Foto : ANTARA/DEDHEZ ANGGARA

DESA BUTUH LISTRIK EBT I Dua anak belajar dengan penerangan lampu minyak di Dusun Cagakroya, Cikamurang, Terisi, Indramayu, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Tidak mungkin membangun rakyat di perdesaan yang berbasis teknologi jika tidak ada listrik. Solusinya pemerintah harus membangun listrik EBT yang bisa terlaksana dalam waktu cepat.

A   A   A   Pengaturan Font

» Sudah 75 tahun Indonesia merdeka, tetapi belum ada kesetaraan dan keadilan dalam pembangunan.

» Masih maraknya penggunaan energi kotor karena ulah pebisnis batu bara "konco-konco" para pejabat.

JAKARTA - Upaya pemerintah menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan merata harus diwujudkan dengan tekad kuat dalam membangun rakyat di perdesaan yang berbasis teknologi. Untuk merealisasikan akses teknologi informasi tersebut, syarat utamanya adalah tersedianya listrik sebagai sumber energi.

Secara khusus di perdesaan, ketersediaan listrik harus berbasis energi baru terbarukan (EBT) seperti tenaga surya dan bayu karena biayanya lebih murah dibanding memaksakan pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil seperti batu bara.

Selain itu, pembangunan listrik berbasis EBT di perdesaan lebih sejalan dengan prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), ketimbang memaksakan membangun PLTU yang merusak lingkungan dan mengancam pemanasan global karena emisi karbon yang dilepaskan ke udara sangat besar.

Direktur Walhi Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, yang dikonfirmasi di Jakarta, Minggu (25/7), mengatakan tuntutan dari dunia internasional untuk menahan laju pemanasan suhu global harus menjadi panduan untuk mengedepankan pembangunan energi hijau di perdesaan dan secara perlahan meninggalkan energi kotor.

"Jangan sampai PLTU di bawah ke perdesaan yang investasinya sangat mahal dan bisa membunuh rakyat desa dengan polusinya. Biarkan rakyat desa tetap menghirup udara sehat dan bisa menikmati pendidikan secara online dengan keberadaan listrik berbasis EBT. Ini lebih ramah lingkungan dan berkeadilan," kata Kisworo.

Batu bara selain energi kotor, juga tidak bisa diperbarui, pasti habis. Beda dengan EBT yang ramah lingkungan dan tetap memenuhi kebutuhan dalam jangka panjang, tanpa merugikan lingkungan.

"Jadi, tidak mungkin membangun pendidikan online kalau tidak ada listrik di desa, tidak ada akses informasi, bagaimana masyarakat bisa memperbaiki diri, bagaimana bisa membangun agriteknologi," katanya.

Setelah Indonesia merdeka selama 75 tahun, diakui memang belum ada kesetaraan dalam pembangunan. Hal itu terlihat pada sekitar 1.000 triliun rupiah dana perbankan hanya dipakai membiayai pusat perbelanjaan atau mall. Kemudian, triliunan rupiah membangun perusahaan e-commerce, tapi isinya 95 persen barang impor. Sedangkan desa yang banyak tertinggal tidak dibangun.

Padahal, solusinya hanya dengan membangun listrik EBT yang bisa dalam waktu cepat, tidak perlu menunggu puluhan tahun bangun listrik diesel. Di Lampung Timur misalnya, yang masih memakai diesel, padahal dekat Jakarta, semestinya memakai EBT, begitu pun di daerah lain.

Oleh sebab itu, lanjut Kisworo, pemerintah jangan memaksakan energi kotor ke daerah terpencil karena mengotori dan menyebabkan penduduk di daerah itu tidak sehat. Berapa ratus triliun rupiah biaya habis di BPJS hanya untuk mengurusi yang sakit akibat polusi.

"Semua ini terjadi karena kepentingan primitif itu, kepentingan pribadi untuk bisnis, tapi satu negara dikorbankan. Kita membiarkan saudara kita tertinggal dan menciptakan kebijakan yang meninggalkan mereka," katanya.

Tak Mampu Bersaing

Dia juga menegaskan, kalau energi kotor tidak mungkin bersaing dengan EBT, makanya negara-negara Uni Eropa pada 2030 sudah berkomitmen melepaskan energi kotor dan 100 persen beralih ke EBT.

"Negara Eropa saja yang tidak hidup di sekitar khatulistiwa sudah beralih ke energi hijau, sedangkan Indonesia malah mau membeli PLTU apkir dari Tiongkok dan Jepang," katanya.

Dari sisi anggaran, energi kotor membebani keuangan negara karena pemerintah harus mengalokasikan anggaran ratusan triliun rupiah untuk subsidi energi kotor. Belum triliunan rupiah yang ditanggung negara untuk bikin PLTU yang diimpor. "Ini karena ulah pebisnis batu bara "konco-konco" para pejabat," katanya.

PLN pun malah melarang orang bangun panel listrik surya, harus ada izin dan ada batasnya. Mereka ditengarai sebenarnya takut listrik mereka yang menggunakan energi kotor tidak laku, sekaligus menunjukkan mereka tidak mampu bersaing. Kalau swasta ada kelebihan listrik, tidak boleh dijual. Ini bukti nyata mereka tidak mampu bersaing.

Hal seperti itulah yang membuat investor enggan masuk ke Indonesia, karena dibuat sulit dan menghadapi banyak masalah. Sementara di negara lain, mereka diservis dengan sangat baik.

Sementara itu, Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, mengatakan untuk mempersempit ketimpangan hanya bisa dipercepat dengan bantuan teknologi, khususnya digitalisasi dengan catatan pemerintah punya tekad yang kuat membangun sarana dan prasarana yang memadai dan tepat digunakan di perdesaan.

n ers/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top