Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebutuhan Pokok I Mekanisme Perdagangan Pangan Dunia Harus Lebih Adil

Perlu Mendorong Solidaritas Pangan Dunia

Foto : Berbagai sumber - Koran Jakarta/Ones/And
A   A   A   Pengaturan Font

» Ancaman krisis pangan jadi pelajaran agar negara tidak bergantung pada impor pangan.

» G20 perlu bersepakat untuk tidak menerapkan kebijakan proteksi komoditas pangan.

JAKARTA - Di tengah ancaman kelaparan dunia akibat krisis pangan, beberapa kalangan mengusulkan perlunya mendesain solidaritas pangan global. Solidaritas itu penting karena setelah terjadi kelangkaan pasokan akibat produksi dan jalur distribusi terganggu, beberapa negara produsen mengambil kebijakan proteksi pangan nasional dengan menghentikan ekspor.

Menanggapi kondisi tersebut, Dewan Penasihat Institut Agroekologi Indonesia (INAGRI), Ahmad Yakub, mengatakan selama ini pendekatan supply chain pangan dunia adalah dengan mekanisme pasar dan persaingan bisnis multinasional. Hal itu mengakibatkan

kedaulatan pangan tiap negara terganggu, mulai dari input produksi, proses, teknologi, dan pascaproduksi yang dikuasai oleh beberapa perusahaan besar dunia.

"Pemerintah yang tergabung dalam G20 bisa mengimbangi dampak ekonomi sosial politik yang sudah menggurita ini dengan mendesain solidaritas pangan dunia, pendekatan pembangunan dan pemenuhan hak atas pangan," kata Ahmad Yakub kepada Koran Jakarta, Rabu (29/6).

Kebijakan pembangunan pangan dunia haruslah dipimpin oleh lembaga pemerintah dengan mengutamakan kepentingan hak atas pangan, baik produsen pangan, yaitu petani kecil, nelayan, masyarakat adat dan peternak kecil serta tentunya konsumen berpendapatan rendah.

G20 dapat memimpin untuk menyelenggarakan pembangunan pertanian yang agroekologis, berkelanjutan dengan teknologi yang ramah lingkungan, ramah modal, dan produktivitas tinggi.

"Demikian juga mengawal agar adanya mekanisme perdagangan pangan dunia yang lebih adil dan supply chain yang setara antarnegara di dunia. Indonesia bisa menularkan semangat gotong royong dalam menghadapi situasi ekstrem rawan pangan. Untuk itu, perlu kerja sama pembangunan yang berbasis solidaritas dan sosial bisnis," kata Yakub.

Diminta terpisah, pakar pertanian dari UPN Veteran Jatim, Surabaya, Zainal Abidin, mengatakan usulan agar negara-negara anggota G20 perlu bersepakat untuk tidak menerapkan kebijakan proteksi komoditas pangan memang baik, namun sulit diterapkan karena tentu negara-negara pengekspor akan mengutamakan kebutuhan internalnya.

"Itu akan baik kalau bisa diterapkan, tapi rasanya akan sulit karena mereka tentu mengutamakan kebutuhannya sendiri terlebih dulu. Ironis, kita negara agraris, tapi masuk sepuluh net importir terbesar dunia," kata Zainal.

Bergantung pada Impor

Sementara itu, sekitar 70 persen pasokan pangan dunia dikuasai oleh sepuluh negara pengekspor. Maka, ancaman krisis pangan ini menjadi pelajaran bagi negara yang menggantungkan ketahanan pangannya dari impor.

Guna mengantisipasi ancaman tersebut, pemerintah harus mendorong substitusi pangan impor dengan meningkatkan investasi di hulu mulai dari perbaikan infrastruktur bendungan, menjamin ketersediaan pupuk subsidi yang akhirnya akan menurunkan kebutuhan impor.

"Sekarang sudah mulai krisis air, dengan meningkatkan saluran dan bendungan akan membantu petani menjaga produksinya. Pangan dan air merupakan pencetus perang di masa depan, sehingga kita harus siap memulai dari sekarang," tegasnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, dalam pernyataannya mengatakan negara-negara anggota G20 perlu bersepakat untuk tidak menerapkan kebijakan proteksi komoditas pangan guna mencegah krisis pangan global bertambah parah.

"Negara G20 perlu bersepakat untuk tidak lakukan proteksionisme pangan dan membuka diri bagi kerja sama pangan terutama dengan negara miskin," kata Bhima.

Penyebab krisis pangan global saat ini, antara lain disrupsi rantai pasok karena perang di Ukraina, proteksionisme dagang negara penghasil pangan, cuaca ekstrem, dan kenaikan konsumsi pascapandemi Covid-19.

"Negara-negara G20 juga perlu segera melakukan realisasi pendanaan pada peningkatan produksi pangan dengan pemberian subsidi pupuk, pendampingan petani, dan menjaga harga jual panen tetap stabil, juga meningkatkan penyaluran pinjaman ke sektor pertanian khususnya petani dengan luas lahan di bawah 2 hektare," kata Bhima.

Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat-Tinggi (KTT) G7 menyerukan agar negara G7 dan G20 bersama-sama mengatasi krisis pangan yang mengancam 323 juta orang, terutama di negara berkembang.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top