Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Perkosaan Massal, Peristiwa yang Raib dari Kerusuhan 1998

Foto : STEVE SANFORD / AFP
A   A   A   Pengaturan Font

Peristiwa pemerkosaan massal yang terjadi pada Mei 1998 bukan mitos. Sampai saat ini para korban tidak pernah mendapatkan keadilan.

Kerusuhan Mei yang terjadi 13 Mei hingga 15 Mei 1998 di Jakarta menciptakan suasana kacau. Salah satu yang terjadi selain pengrusakan, penjarahan adalah pemerkosaan massal yang menimpa perempuan etnis Tionghoa.
Selama tiga hari kerusuhan, pengaduan kasus pemerkosaan yang masuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) mencapai ratusan orang. Atasnya banyak aduan yang masuk, tim ini kemudian membentuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan Perempuan (TRKP). Sebanyak 152 laporan Kasus dari 12 Mei-2 Juni 2022 berhasil dihimpun.
TRK adalah kelompok relawan yang dibentuk pasca peristiwa penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996 yang dikenal dengan peristiwa "Kudatuli", akronim dari kerusuhan dua puluh tujuh Juli.
TRK dibentuk oleh aktivis Sandyawan Sumardi atau Romo Sandy yang berisi pada aktivis dari Institut Sosial Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan wartawan.
Dalam buku karangan berjudul Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia (2018) terbitan PT Pustaka Alvabet yang ditulis Samsu Rizal Panggabean, TRK saat itu terjun ke lapangan untuk mengusut peristiwa tersebut lebih lanjut.
Salah satu tim relawan TRK adalah yang sangat sibuk ketika itu adalah Ita Fatia Nadia. Dari buku tersebut, tergambarkan bagaimana ia kalang kabut menerima laporan terjadinya perkosaan. Ia diminta oleh Romo Sandy menuju Jakarta utara karena ada peristiwa serupa di sana. Tidak berselang lama, Romo Sandy kembali menelepon Fatia untuk wilayah Glodok Jakarta barat.
Fatia kemudian mendapatkan panggilan bahwa di depan Trisakti terjadi penyerangan terhadap perempuan oleh sejumlah orang dengan menggunakan mobil. Selanjutnya ia pergi ke Grogol dan temannya pergi ke Jakarta utara.
Setibanya di di Grogol, Fatia mendapat telepon bahwa terjadi lagi kasus perkosaan di Jembatan Lima, Jembatan Dua, Jembatan Tiga, dan Pluit. Di Bandara Soekarno-Hatta, ia melihat banyak korban perkosaan dalam keadaan panik dan stres. Mereka akan berangkat ke luar negeri karena takut dan untuk berobat. Beberapa diantaranya menggunakan kursi roda.
Jumlah laporan perkosaan yang dihimpun mencapai 152 kasus, sebanyak 20 diantaranya meninggal. Rinciannya pemerkosaan 103 orang, pemerkosaan dan penganiayaan 26 orang, perkosaan dan pembakaran 9 orang, dan pelecehan seksual 14 orang.
Pemerintah kemudian membuat Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah Indonesia telah mengkonfirmasi laporan dengan hasil berbeda. Hasilnya tim menemukan 85 orang korban kekerasan seksual, 52 orang di antaranya korban pemerkosaan.
Verifikasi kasus perkosaan yang dilakukan TGPF bersumber dari fakta dari korban dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebanyak 15 orang dan fakta dari keluarga, saksi, psikolog, serta pendamping sebanyak 37 orang.
Fatia sendiri tidak mempersoalkan perbedaan catatan jumlah korban tersebut karena situasi saat itu sedang kacau.
Komnas Perempuan juga memperkirakan jumlah korban pemerkosaan Mei 1998 lebih dari laporan TGPF. Alasannya trauma perempuan korban dan keluarga membuat mereka bungkam sehingga tidak semua pemerkosaan didokumentasikan tim ini.
Menurut Fatia, aksi perkosaan ini menjadi modus untuk meneror masyarakat di dalam perubahan politik dengan menggunakan tubuh perempuan. Korban pertama dalam perkosaan massal 1998 adalah seorang perempuan keturunan Tionghoa.
"Negara punya kewajiban untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat Indonesia, khususnya kepada korban. Penjelasan ini yang menjadi tanggung jawab negara untuk menciptakan rasa adil dan mencegah peristiwa terulang kembali," kata Fatia dalam konferensi pers virtual Senin (17/5) lalu.

Tuntutan Penuntasan
Nyatanya, tak semua tindak perkosaan saat itu bisa didokumentasikan TGPF, sehingga angka sesungguhnya kemungkinan lebih banyak dari yang dilaporkan. Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Ita Fatia Nadia, bahkan telah mengundurkan diri dari sejak permulaan.
"Saya didesak sekali untuk bisa membawa saksi korban, kalau tidak ada saksi korban itu tidak ada perkosaan. Sementara menurut saya, para korban perkosaan ini mereka adalah perempuan Tionghoa," kata dia.
Dalam tradisi Tionghoa, kata Fatia jika seseorang sudah diperkosa, hal tersebut menjadi aib yang besar untuk keluarga dan komunitas. Oleh sebab itu, dua korban perkosaan keturunan Tionghoa di Jembatan Tiga dan Jembatan Dua, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Menghadirkan saksi korban pemerkosaan yang merupakan perempuan Tionghoa ini menurut Ita adalah salah. Korban pemerkosaan tidak seharusnya dipamerkan ke publik. "Tetapi bagaimana kita melindungi korban, bagaimana kita menjaga korban dan di situ banyak kita harus percaya pada pendamping korban bahwa memang terjadi perkosaan," ujar dia.
Salah satu korban juga yang banyak diketahui adalah Ita Martadinata. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sudah mengetahui, karena Ita Martadinata satu-satunya korban yang bersedia untuk bersaksi.
Anehnya beberapa hari sebelum Ita Martadinata hendak menyampaikan kesaksiannya, ia meninggal. Sampai sekarang penyebab kematian Ita Martadinata sendiri masih misterius.
Atas kematian Ita, semakin menguatkan dugaan perkosaan dilakukan secara sistematis. Fatia mengatakan, tidak mungkin perkosaan hanya dilakukan dalam waktu 3 menit atau 5 menit, terlalu lama. Diduga modus yang dilakukan oleh para pelaku adalah mereka datang, merusak, menjarah, dan memperkosa.
Komnas Perempuan dalam siaran pers 13 Mei 2022, juga memperkirakan jumlah korban pemerkosaan Mei 1998 lebih dari laporan TGPF. Alasannya trauma korban perempuan dan keluarga membuat mereka bungkam sehingga tidak semua pemerkosaan didokumentasikan TGPF. Komnas Perempuan juga menyoroti pemenuhan hak perempuan korban yang belum terpenuhi setelah 24 tahun.
Komnas Perempuan menyatakan, para korban pelanggaran HAM kini mulai menua dan sebagian lagi telah meninggal. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah mendapatkan keadilan menurut Komnas Perempuan.
"Negara masih bergeming terhadap tuntutan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu sementara para korban menua dalam penantian keadilan," tulis Komnas Perempuan melalui rilis 13 Mei 2022.
Komnas Perempuan mendorong pemerintah untuk memberi perhatian khusus terhadap mereka. Terutama dalam memberikan layanan kesehatan fisik, psikis, dan bantuan ekonomi yang amat dibutuhkan dalam menjalani masa tua.
Bagi Fatia tragedi pemerkosaan pada Mei 1998 yang selalu disangkal jangan sampai terlupakan. "Merawat ingatan adalah membawa kita memanggil kembali memori-memori dari para korban peristiwa Mei 98 untuk diingat terus-menerus," ujar dia.
"Bangsa ini masih berutang kepada sejumlah perempuan yang diperkosa pada Mei 98 hanya karena untuk saya katakan tumbal dari pergantian kekuasaan di negeri ini," imbuh dia.
Fatia pun menegaskan, negara dan juga masyarakat luas masih memiliki tanggung jawab untuk tetap merawat ingatan tragedi Mei 98. Melawan tindakan pemerkosaan harus jadi gerakan sosial agar hal tersebut tidak terulang di masa depan. hay/I-1

Berlangsung Sistematis

Menurut Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Ita Fatia Nadia, peristiwa pemerkosaan yang terjadi pada Mei 1998 bukan terjadi begitu saja. Tindakan itu merupakan cara untuk meneror masyarakat di dalam perubahan politik dengan menggunakan tubuh perempuan.
Dalam buku berjudul Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa: Disangkal! (2001), ditulis kisah kelam yang dialami Siska, bukan nama sebenarnya. Mahasiswa fakultas kedokteran dari universitas swasta di Jakarta dipaksa masuk ke mobil Toyota Kijang hitam.
Para pelakunya adalah empat laki-laki berkulit gelap yang tak dikenal. Saat itu, Siska dan teman perempuannya, Erna, juga bukan nama sebenarnya, tengah menunggu bus di Slipi yang seharusnya mengantar mereka pulang kuliah.
Setelah dipaksa masuk ke mobil, tubuh Siska dan Erna diraba-raba oleh keempat lelaki itu. Sekuat tenaga mereka coba berontak, namun, seketika dunia Siska berubah gelap, setelah salah satu pria menusuknya di dada.
Siska mengalami luka berat di dada dengan darah yang mengucur deras. Setelah keduanya diperkosa, para pelaku membuang keduanya di wilayah Kebon Jeruk. Siska dan Erna selamat dalam peristiwa itu setelah ditolong oleh tukang ojek.
Tidak mudah bagi Siska untuk melupakan peristiwa tersebut. Perlu waktu dua tahun mengumpulkan nyali kembali melewati jalan layang Slipi.
"Kalau ingat peristiwa itu rasanya aku benci pada payudaraku sendiri," ungkap Siska. "Saat-saat awal aku sering menjerit kalau lewat sini. Aku menangis keras sekali," lanjut dia.
Siska menjalani operasi dua kali, di antaranya adalah operasi pembentukan payudara baru. Selama dua tahun, ia tidak kembali ke Jakarta dan menghabiskan waktu di Singapura untuk menjalani proses penyembuhan secara fisik dan kejiwaan.
"Pada saat awal aku bisa histeris lima sampai enam kali sehari, persis seperti orang gila," kata Siska, "Aku mencakari muka, rambut, dan perutku sendiri. Setiap hari aku memandangi payudaraku berjam-jam di cermin kamar mandi sambil menunjuk-nunjuk payudaraku sambil bergumam, 'gara-gara kamu, aku jadi begini. Kamu yang dipotong, aku yang merasakan sakitnya. Aku yang sakit… bukan kamu, tahu!'," ujar dia dalam buku itu.
Akhirnya Siska berani kembali ke Indonesia di akhir 1999, untuk menyelesaikan kuliah. Namun sisa-sisa peristiwa masih menghantuinya. Ia merasa tubuhnya, seksualitasnya, dijadikan panggung kontestasi dan sumber dari ketakutan massal oleh aktor-aktor intelektual tertentu pada momen kekacauan jatuhnya rezim Orde Baru.
Siska dan Erna tidak sendiri. Ada banyak perempuan Tionghoa yang menjadi korban pada waktu itu. Namun meski korbannya banyak sampai sekarang, para pemerkosa Siska dan Erna dan lainnya tak pernah tertangkap ataupun diadili.
Temuan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) melalui Tim Relawan untuk Kemanusiaan Perempuan mencatat 152 laporan Kasus dari 12 Mei-2 Juni 2022. Ini belum yang terjadi di kota-kota lain. Nyaris semua korban adalah perempuan etnis Tionghoa.
Pada 15 Juli 1998, beberapa bulan setelah kekacauan sepanjang Mei, Presiden BJ Habibie mengeluarkan surat atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia mengutuk tindakan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam kerusuhan Mei. Presiden Habibie berjanji akan mengarahkan seluruh aparat hukum agar mengambil tindakan proaktif memastikan tindakan serupa tidak terulang dalam sejarah bangsa.
Setelah enam bulan setelah kerusuhan, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, Radhika Coomaraswamy, datang ke Jakarta setelah ditunjuk menangani isu kekerasan pada perempuan. Ia melaporkan adanya teror dan intimidasi yang ditujukkan kepada lembaga-lembaga non-pemerintah yang menginvestigasi kasus-kasus kekerasan perempuan dalam kerusuhan Mei 98.
Dalam laporannya, Coomaraswamy meyakini adanya perkosaan massal secara taktis dan sadar, menyasar perempuan etnis Tionghoa. Ia mengatakan tidak adanya korban yang melapor ke polisi karena hampir semua korban mendapatkan ancaman pembunuhan lewat surat kaleng.
Merespons laporan tersebut, pemerintah membentuk Komisi Nasional Perempuan berdasarkan keputusan presiden yang diteken Habibie. Tugas Komisi ini secara khusus mengungkap pemerkosaan massal yang dialami banyak perempuan etnis Tionghoa.
Sampai sekarang belum ada tindak lanjut dari pemerintah. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), kelanjutan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK), merilis laporan yang membuktikan kekerasan seksual termasuk pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998 benar-benar terjadi.
Aksi itu dilakukan terhadap sejumlah perempuan oleh sejumlah pelaku di berbagai tempat berbeda dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan. Temuan tim menyatakan, mayoritas korban perkosaan adalah etnis Tionghoa.
Laporan TGPF tidak mengubah kenyataan bahwa negara absen memperjuangkan keadilan bagi korban. Hanya ada peringatan tahunan yang tidak bermakna apa-apa, seperti yang nampak dalam penutup laporan tersebut.
Menurut anggota Tim Relawan Kemanusiaan (TRK), Romo Sandyawan, nyaris semua korban perkosaan Mei yang temui, rata-rata berkeinginan bunuh diri, karena mereka umumnya susah melupakan peristiwa yang telah terjadi puluhan tahun. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top