Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Perjuangan Pengusaha Roti dalam Balutan Sejarah Indonesia

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Karma Cinta

Penulis : Bre Redana

Penerbit : Gramedia

Cetakan : Pertama, Maret 2018

Tebal : vi + 182 halaman

ISBN : 978-602-424-833-8

Buku Karma Cinta merupakan sebuah novel based on a true story tentang perjalanan hidup Sanjoto Senyatanya, pengusaha roti di tengah kemelut perjuangan dan politik Indonesia dari masa ke masa. Roti Orion tetap eksis dari zaman penjajahan Belanda, Jepang, hingga kemerdekaan. Sanjoto Senyatanya bernama asli Njoo Tik Tjiong, lahir 4 Juni 1934, di Solo, Jawa Tengah.

Bias tak terhindarkan dalam mengisahkan masa lalu. Tapi menurut Sanjoto, tetap ada yang bisa dilakukan: bicara sejujur-jujurnya, senyata-nyatanya. Jepang membutuhkan moci untuk mengisi perut, sedangkan Belanda perlu roti. Secara tidak langsung, pabrik roti memiliki posisi strategis. Saat Jepang menduduki Solo, toko roti milik keluarga Sanjoto mendapat order moci untuk tentara Jepang. "Moci dibuat dengan bahan dasar tepung beras, dibentuk bulat-bulat di dalamnya isi kacang. Enak, mereka tinggal ngemplok," halaman 13.

Pada zaman kemerdekaan, bahan baku roti seperti terigu dan mentega tidak ada. Di tengah kelangkaan bahan baku itulah dituntut perjuangan untuk mengembangkan kreativitas. Keluarga Sanjoto tetap mencoba membuat roti. Mereka menyiasati dengan tepung umbi. Mentega dibuat sendiri dengan lemak sapi dicampur air dan garam. Hasilnya tentu tidak sempurna, tapi dapat untuk membuat kue. Namun, babakan ini menjadi cikal bakal kue mandarijn.

Belanda terus-menerus melakukan usaha untuk mengklaim kekuasaannya kembali. Keluarga Sanjoto didatangi tentara Belanda agar untuk memproduksi "militaire bakkerij" untuk tentara Belanda. Belanda menyediakan tepung, toko roti milik keluarga Sanjoto tinggal mengolah. Upahnya satu sen per kilogram. Bayangkan, sehari berapa ribu kilo mengingat satu sak saja isinya 22 kilogram. Sebuah tawaran yang menggiurkan. Dengan menerima tawaran tersebut akan menjadi miliuner, bahkan tiap bulan akan mampu membeli Mercedes. Tentu saja semua itu ditolak. Ayahnya Sanjoto seorang republik tulen.

Cerita belum berakhir, ternyata Belanda membawa tentaranya yang bertugas membuat roti dan menduduki toko roti Sanjoto. "Yang saya ingat, pabrik roti kami menjadi berantakan. Tentara Belanda bertindak ugal-ugalan, termasuk melepaskan tembakan. Bayangan di tembok dari jeruk citrun yang tertimpa cahaya lampu mereka kira kepala orang bertopi baja. Mereka menghajar tembok dengan tembakan. Banyak bagian bangunan dan tembok terluka bekas peluru," kata Sanjoto (halaman 17).

Sejak muda Sanjoto sudah rajin cari uang. "Cari duit itu sebenarnya gampang setengah mati. Ini lepas dari soal kita lalu menjadi kaya atau tidak. Kaya dan tidak sifatnya relatif," tambahnya (halaman 86). Sanjoto menikahi Giok Nie yang pernah putus pacaran 30 tahun lalu. Mungkin itulah yang dinamakan karma cinta dalam buku ini. "Pepatah Belanda mengatakan yang tertawa paling akhir itulah yang paling baik. Saya sekarang bahagia. A very happy marriage," katanya (halaman 106)

Memang sebelum mereka kembali bertemu, keduanya telah menjalani kehidupan sendiri-sendiri. Giok Nie pernah menikah dengan seorang dokter, Budiomo Wibowo dan mempunyai tiga anak. Namun suaminya meninggal karena penyait kanker. Ialah dokter yang bekerja sama dengan Hermina Sulaiman mengembangkan RS Hermina sekarang. Adapun Sanjoto juga pernah menikah dan memiliki anak, namun bercerai.

Menurut Sanjoto, ada pepatah Hokian. Hoki (keberuntungan) nomor satu. Kepintaran nomor dua. Menurutnya, nomor satu kejujuran. Di atas hoki harus ada moral (halaman 69). Orion di tangan Sanjoto berubah. Dulu tulang punggungnya penjualan roti, kini kue.

Diresensi Yeti Islamawati, Lulusan Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Komentar
()

Top