Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Perjuangan Para Aktivis dalam Remuk Redam

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Laut Bercerita

Penulis : Leila S Chudori

Tebal : x + 379 halaman

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Terbit : Cetakan ke-2, Desember 2017

ISBN : 978-602-424-694-5

Buku Laut Bercerita berisi memori atas momen traumatik bangsa yang terbingkai dalam perjuangan aktivis guna merobohkan rezim otoritarian Orde Baru yang represif. Di bawah rezim ini, para aktivis berjuang penuh pengorbanan dan menjadi korban atas perlawanan.

Laut Bercerita yang berlatar 1991-2007 mengisahkan perjuangan para aktivis, kondisi keluarga korban yang diselimuti ketidakpastian, penuh pengharapan, dan upaya pencarian jejak korban. Kisah perjuangan aktivis berada pada bagian pertama novel dengan Biru Laut sebagai tokoh. Sementara itu, bagian kedua dikisahkan kondisi keluarga korban dan pencarian jejak mereka di mana Asmara Jati sebagai pemeran utama.

Perjuangan Biru Laut bersama aktivis lainnya: Sunu, Daniel, Kinan, Tama, Alex, Dana, sang penyair, Bram, Narendra, Gusti, dan Julius bermula dari rumah tua. Mereka menyebutnya rumah hantu di Seyegan, Yogyakarta. Sebagian besar mereka mahasiswa yang tergabung dalam sebuah organisasi, Gerakan Mahasiswa Winatra. Di rumah itu, mereka diskusi banyak pemikiran dan merancang strategi menghadapi rezim. Mereka menyadari, rasa-rasanya kaki gatal bila diskusi sepanjang masa, tanpa tindakan apa pun (hal 12).

Setidaknya ada tiga kali aktivis ditangkap dan diintrogasi aparat. Saat diskusi Kwanju dan People Power di Manila. Aksi untuk Blangguan, dan penangkapan Laut di rumah susun Klender, Jakarta. Pada penangkapan terakhir inilah jejaknya perlahan dipudarkan. Laut dan teman-temannya mendekam di ruang bawah tanah yang kelam. Ini nyaris membuat mereka tak mengenal peralihan waktu.

Dari hari ke hari, mereka menjalani rutinitas siksaan perih tiada terperi. Diintrogasi. Diinjak, ditendang, dipukul, diestrum, dan digantung. Mereka juga ditelentangkan di atas balok es. Sederetan siksa itu agar mereka bersedia menjawab tokoh di balik gerakan. Mereka tetap bungkam, tanpa takut. Sikap ini senapas penggalan sajak Wiji Thukul, "..Jika kau menghamba pada ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan."

Usai disiksa, Laut terdiam dalam sunyi. Seketika sunyi itu luruh kala ingatannya mengantarkan pada petuah sang penyair. Jangan takut pada gelap yang bagian dari kehidupan sehari-hari. Pada setiap gelap ada terang, meski hanya secercah, meski hanya di ujung lorong. Tapi jangan sampai kita tenggelam dalam kekelaman. Kelam adalah kepahitan, keputus-asaan dan rasa sia-sia. Jangan pernah membiarkan kekelaman menguasai kita, apalagi menguasai Indonesia (hal 225).

Indonesia memang berhasil menyisihkan kekelaman. Orde Baru tumbang. Namun, Laut tak bisa lagi merasakan Indonesia baru. Ia dan beberapa temannya dilumatkan rezim-nyaris tak menyisakan jejak ataupun bayang.

Sejak mereka hilang, keluarga berada dalam kegamangan. Sendu menyelimuti keluarga korban yang menanti ketidakpastian. Orangtua Laut saat membersihkan kamar dan koleksi bacaannya, selalu menyediakan piring makan, andai Laut muncul tiba-tiba. Inilah yang membuat Asmara Jati, adik Laut, khawatir atas perilaku orangtuanya itu.

Para keluarga korban tak diam dan larut dalam duka. Mereka bersama teman-teman Laut berusaha keras mencari ke kepulauan seribu. Hingga kini mereka terus berjuang menuntut keadilan. Salah satunya dalam bentuk aksi kamisan di depan Istana Negara.

Nilai penting Laut Bercerita dapat menjembatani generasi sekarang dengan masa lampau nankelam. Mereka mesti mengetahui bahwa hampir 20 tahun tragedi itu hingga kini belum menemukan titik terang. Yang ada hanyalah debat musiman, terutama di bulan Mei. Maka, melalui karya ini generasi sekarang dapat melatih kepekaan nurani untuk menjunjung tinggi harkat martabat manusia. Bangsa ini diperjuangan dengan segenap tumpah darah. Diharapkan, mereka juga tergerak mengurai masalah yang tak kunjung usai ini.

Diresensi Joko Arizal, MA, Dosen Universitas Paramadina

Komentar

Komentar
()

Top