Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Perjuangan Guru di Daerah Kepulauan Terpencil

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Batman Teacher: Catatan Guru Pedalaman

Penulis : Widayanti Rose

Penerbit : Pustaka Media Guru

Cetakan : Mei 2017

Tebal : 120 halaman

ISBN : 978-602- 60901-8-8

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki daerah yang sulit terjangkau transportasi. Namun demikian, bukan alasan untuk meninggalkannya tanpa pendidikan. Siapakah guru yang mau ditugaskan ke tempat terpencil, tanpa sinyal, tidak ada listrik dengan kondisi sekolah jauh dari kelayakan?

Buku ini mengisahkan perjuangan guru yang mengabdi di Desa Kalowang pulau Sepudi. Butuh waktu empat jam dari Pelabuhan Kalianget Sumenep dengan kapal penumpang. Guru harus bersepeda motor berkilo-kilometer menembus persawahan dan bebukitan. Di musim hujan, motor harus dititip di rumah kepala desa dilanjut berjalan dua kilometer. Sepatu harus dilepas karena lengket lumpur. Perjalanan tersebut dilakukan setiap hari. Waktu mendung datang, sekolah harus segera diakhiri agar siswa bisa melewati sungai sebelum air pasang (hlm 20).

Awalnya, bekas kandang ayam dijadikan sekolah. Pemerintah memberikan respons dengan mendatangkan material. Dibangunlah dua ruang besar yang disekat menjadi enam kelas. Sayang, material tersebut belum cukup untuk dibuat kantor. Selama lebih 20 tahun, kantor guru numpang di warung tetangga. Warung itu suatu hari reyot dan para guru segera membersihkan gudang untuk dijadikan kantor. Gudang pengap tersebut penuh dengan bau bangkai tikus. Namun, demi punya kantor, para guru yang hanya tiga orang, membersihkan dan merapikan.

Tiga guru harus mengajar enam kelas. Semua ada empat, tapi satu mengundurkan diri karena tidak tahan. Widayanti, penulis buku ini, sebenarnya juga tidak betah. Namun karena komitmen, dia jalan terus. "Tanpa listrik dan sinyal, bukan berarti harus selalu terbelakang. Itulah yang ada di benakku. Aku mau siswaku tidak tertinggal," katanya (hlm 42).

Semua guru baru bisa pulang bertemu keluarga sebulan sekali. Guru harus di lokasi sebab kalau pergi, murid tidak ada yang membimbing. Banyak suara sumbang tentang mereka dan dituduh lebih memilih karier daripada keluarga. Sebaliknya, ketika mereka hendak pulang melepaskan kangen dengan keluarga, dianggap melalaikan tugas.

Selalu saja ada sosok yang bisa dijadikan contoh kebaikan dalam kondisi sulit. Warid, pendiri sekaligus kepada sekolah, sudah lebih dari 20 tahun mengajar dan senantiasa datang lebih pagi. Padahal, dia juga harus menempuh jarak jauh. Kepada guru, dia santun. Dia sangat telaten mengajar. Bahkan, ketika jam pulang sekolah, dia masih meyempatkan diri memberi pelajaran tambahan kepada siswa.

"Jangan sampai murid-murid pulang tanpa diajari. Mereka jauh-jauh datang ke sini untuk belajar. Jangan dikecewakan. Pelajarannya cukup membaca, menulis, dan berhitung. Itu sudah lebih dari cukup. Yang penting, kita mendidik dengan hati." kata Wardi kepada para guru (hlm 26).

Kendatipun fasilitas dan gedung sekolah apa adanya, semangat belajar siswa sangat tinggi. Setiap kali ditawari materi pelajaran tambahan seperti olahraga, mereka bersemangat. Setiap kali dijelaskan pelajaran, mereka mendengarkan. Satu yang terasa kurang, belum pernah diadakan upacara bendera. Widayanti kemudian melatih siswa. "Setelah 28 tahun sekolah berdiri, kini Merah Putih begitu terang menyala. Walau dengan tiang setengah miring dan pemimpin paduan suara yang masih malu-malu," katanya (hlm 119).

Buku ini merupakan reportase faktual tentang sekolah di pedalaman pulau terpencil yang kurang fasilitas dengan medan. Perjuangan guru yang gigih. Kisah keteladanan dan semangat siswa untuk belajar agar bisa menjadi generasi yang baik.

Diresensi Finsa Adhi Pratama, Guru SMP IT Insan Permata Malang

Komentar

Komentar
()

Top