Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kerja Sama Bilateral - Pemerintah RI-Swiss Teken Perjanjian “Mutual Legal Assistance”

Perjanjian MLA Perangi "Tax Fraud"

Foto : Dok. Kemenkumham

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kiri) dan Kepala Departemen Peradilan dan Kepolisian Federal Swiss Karin Keller Sutter di Bern, Swiss, Senin 4 Februari 2019.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI, Yasonna Hamonangan Laoly, menandatangani Perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter, setelah melalui dua kali putaran perundingan, di Bali dan di Bern, Swiss, yang diadakan di Bernerhof Bern, Senin (4/2).

Pensosbud KBRI Bern kepada Antara London, Inggris, awal pekan ini, mengatakan perjanjian yang terdiri dari 39 pasal ini antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta.

Menteri Yasonna menyatakan perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud). "Perjanjian ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya," ujar Menkumham.

Terkait perjanjian MLA itu, pengamat perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, mengapresiasi penandatanganan ini karena sebagai sebuah langkah maju yang akan bermanfaat bagi kedua negara, terutama bagi Indonesia dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pidana perpajakan yang selama ini sulit dilakukan karena kendala keterbatasan akses dan daya jangkau.

"MLA ini akan memungkinkan bantuan pelacakan, perampasan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss," ujar Yustinus dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (5/2).

Pengujian Mendalam

Menurut Yustinus, pemerintah Indonesia mempunyai alasan yang kuat menandatangani MLA tersebut dan segera menerapkannya. Namun, dia menilai perlu dilakukan pengujian yang mendalam dan menyeluruh agar diperoleh hasil analisis yang akurat dan dapat dijadikan dasar bagi penegakan hukum.

"Tindak pidana perpajakan merupakan pintu masuk yang paling mungkin dilakukan. Tentu saja koordinasi dan sinergi kelembagaan mutlak dibutuhkan, maka pembentukan gugus tugas antara KPK, Polri, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, dan Ditjen Pajak perlu segera dibentuk," kata Yustinus.

Yustinus mengatakan, tindak lanjut untuk menuntaskan berbagai dugaan tindak pidana baik korupsi, pencucian uang, maupun perpajakan, amat penting untuk memenuhi rasa keadilan publik, termasuk rasa keadilan bagi mereka yang selama ini memilih menjadi warga negara patuh hukum, wajib pajak yang taat, dan mereka telah ikut pengampunan pajak, sehingga MLA adalah tonggak dan instrumen penting.

Menurut penelitian Gabriel Zucman (2017), jumlah aset global di offshore atau tax havens mencapai 10 persen PDB global atau 5,6 triliun dolar AS atau sekitar 80 ribu triliun rupiah dan sebesar 2,3 triliun dollar AS atau 32 ribu triliun rupiah disimpan di Swiss. Secara tradisional Swiss merupakan negara suaka pajak (tax haven) tertua dan paling diminati.

Sejak 1924, ketika Perang Dunia memaksa negara-negara menaikkan tarif pajak, tiga kota di Swiss, yakni Geneva, Basel, dan Zurich menjadi tujuan penyimpanan dana asing. Namun sejak 2005, daya tarik Swiss sebagai tax haven terus turun dari 45 persen porsi global hingga tinggal 28 persen di 2015. Hal ini terjadi karena terungkapnya beberapa skandal penggelapan pajak yang melibatkan perbankan Swiss.

Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top