Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Peristiwa Mandor, Sebuah Genosida di Kalbar

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Perlawanan rakyat Kalimantan Barat atas kekejaman yang dilakukan pasukan pendudukan membuat Jepang berang. Akibatnya puluhan ribu orang dibantai di sebuah tempat dan aksi bengis itu dikenal dengan nama Peristiwa Mandor.

Pada 2007, pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mengeluarkan peraturan daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007. Ini Perda ini terkait dengan Peristiwa Mandor yang terjadi pada 28 Juni 1944.
Setiap tanggal tersebut diperingati sebagai hari berkabung sebagai bentuk bentuk kepedulian terhadap perjuangan pergerakan nasional yang terjadi di Mandor. Masyarakat diwajibkan untuk mengibarkan bendera setengah tiang untuk mengenang peristiwa berdarah tersebut.
Mandor saat ini adalah sebuah nama desa sekaligus kecamatan di Kabupaten Landak. Jaraknya dari Pontianak sejauh 90,4 kilometer. Di sini terdapat monumen Makam Juang Mandor merupakan salah satu situs bersejarah yang diresmikan pada 28 Juni 1977. Monumen berupa tugu dan juga relief-relief untuk menggambarkan pembantaian yang terjadi.
Dalam peristiwa yang termasuk dalam kategori genosida atau pembersihan etnis itu, sebanyak 21.037 jiwa dieksekusi tanpa proses hukum dan diketahui kesalahannya. Versi lainnya menyebut sebanyak mencapai 50.000 orang dibantai dalam peristiwa tersebut.
Tokoh-tokoh yang dibunuh adalah para pemuka-pemuka masyarakat, kaum cendekiawan, dan para pejuang, termasuk masyarakat biasa. Menurut surat kabar Jepang yang terbit di Pontianak, Borneo Shimbun edisi Sabtu, tanggal 1 Shigatsu 2604 atau 1 Juli 1944, para korban pembantaian itu dikubur dalam 10 buah area pemakaman.
Alasan para korban yang dibunuh secara massal tersebut yaitu karena mereka berusaha mendirikan Negara Borneo Barat yang bebas dari penjajahan. Tokoh-tokoh penting yang dibunuh di antaranya Sultan Pontianak, Syarif Muhammad Alkadrie, 74 tahun, putra Sultan Pontianak, Pangeran Adipati, 26 tahun, Sultan Sambas, Muhammad Ibrahim Tsafiuddin, 40 tahun, wartawan bernama Tji Boen Kie, 42 tahun, dan lain-lain.
Banyak versi mengenai proses eksekusi yang terjadi. Konon banyak penduduk usia di atas 12 tahun dikumpulkan. Mereka ada yang ditembak, ada yang kepalanya ditutup lalu dipenggal dengan samurai. Ada juga yang dibunuh dengan memasukkan air dari selang ke dalam mulut.
Pemutusan generasi penerus Kalbar oleh Jepang lewat genosida itu diikuti dengan dimasukkannya imigran dari negeri Sakura di Kalimantan Barat. Tujuannya menempati Kalbar yang akan dijadikan sebagai negara boneka penjajah tersebut.
Peristiwa pembantaian ini tidak terjadi sekali saja. Dalam rentang waktu 2 tahun antara 1943-1945 peristiwa pembantaian banyak terjadi, sebelum puncak pembantaian yang dikenal Peristiwa Mandor.
Pembantaian yang dilatarbelakangi oleh perlawanan rakyat terjadi karena ketertindasan yang dirasakan. Selama pendudukan Jepang, rakyat dipaksa bekerja, kekurangan makan, hingga tak punya pakaian, dan jika tak menurut akan disiksa.
Kasus pemerkosaan, perampokan, perampasan, dan penindasan adalah hal yang tiap hari dialami rakyat yang tidak mengerti apa-apa. Masyarakat menganggap wilayah Kalimantan Barat ketika itu tidak ubahnya seperti neraka dunia.
Keadaan itu membuat para cendikiawan, raja, tokoh suku, pemuka masyarakat dan beberapa panembahan Kalbar menjadi bersatu padu. Mereka merundingkan, bagaimana melawan tindakan Jepang yang semena-mena.
Dalam buku berjudul Peristiwa Mandor Berdarah (2009) karya Syafaruddin Usman dan Isnawita Din, sebelum perlawanan telah tercapai musyawarah dan hal itu tercium oleh mata-mata Jepang. Hal ini membuat murka Jepang, apalagi sebelumnya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pernah terjadi pemberontakan.
Saat itu Jepang menuduh mantan Gubernur Borneo, BJ Haga sebagai otaknya. Ketika masih menjadi tahanan politik, ia diduga dikunjungi oleh seorang temannya yang peranakan India. Jepang mencurigai teman-teman Haga itu membawa informasi-informasi dari radio gelap yang terlarang. Pada masa itu, Jepang hanya membolehkan warga mendengar siaran resmi pemerintah Jepang. Dengan mendengarkan radio gelap sudah lebih dari cukup dijadikan bukti untuk mendakwa seseorang sebagai pengkhianat.

Gerakan Perlawanan
Komplotan anti-Jepang itu pada akhirnya memang mengobarkan pemberontakan rakyat pada April 1943. Administratur Kaigun Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, Iwao Sasuga, mengambil kebijakan tanpa ampun untuk mencegah pemberontakan itu meluas ke luar Banjarmasin. Haga meninggal karena serangan jantung sebelum pengadilan dijatuhkan, 800 orang lain pengikutnya ditangkap dan dihabisi pada 1943.
Jepang juga membutuhkan dukungan politik untuk menjaga stabilitas kekuasaannya, dan membutuhkan simpati dan tenaga rakyat untuk mendukung perang Asia Pasifik. Maka Jepang mendirikan Nissinkai, organisasi politik untuk menyalurkan ide-ide politik yang tentunya tidak merongrong kekuasaannya.
Tokoh politik, pengusaha, dan cendekiawan bergabung dalam Nissinkai. Mereka adalah JE Pattiasina (Kepala Urusan Umum Kantor Syuutizityo), Notosoedjono (tokoh Parindra), dan Ng Nyiap Sun (Kepala Urusan orang Asing/Kakyo Toseikatyo).
Namun para tokoh pergerakan tersebut diam-diam juga memiliki gerakan perlawanan bawah tanah yang disebut Gerakan Enam Sembilan karena anggotanya berjumlah 69 meski sebenarnya tidak tahu siapa saja sebenarnya mereka. hay/I-1

Korban "Oto Sungkup" Mencapai 50.000 Jiwa

Menurut Syafaruddin Usman dan Isnawita Din dalam bukunya yang berjudul Peristiwa Mandor Berdarah (2009), genosida yang dilancarkan Jepang bukanlah peristiwa insidental. Selain dilakukan secara bergelombang, peristiwa itu juga dilatarbelakangi oleh peristiwa politik sebelumnya.
Jepang marah karena perlawanan yang dilakukan oleh Gubernur Borneo, BJ Haga, pada 1943. Di Banjarmasin mantan gubernur Haga tertangkap dan diadili namun dia meninggal karena serangan Jantung sebelum hukuman dijatuhkan, sedangkan istrinya dihukum mati 6 hari kemudian di tiang gantungan.
Agar perlawanan seperti di Banjarmasin tidak meluas hingga Kalimantan barat, Jepang melakukan langkah-langkah peredaman dengan penculikan dan eksekusi besar-besaran yang dikenal dengan sebutan "Oto Sungkup".
Dalam buku Peristiwa Mandor Berdarah diceritakan Saiyan Tiong kaget atas permintaan tentara Australia bagian dari Sekutu yang mendatangi rumahnya, beberapa bulan setelah kekalahan Jepang dan berdirinya Republik Indonesia. Tentara Australia itu memintanya menunjukkan lokasi Jepang melakukan pembantaian massal di daerah Mandor.
Ketika peristiwa terjadi, Saiyan Tiong menjabat sebagai Fuku Guntyo, jabatan setingkat camat Mandor yang diberikan pada penghujung 1942. Tidak heran tentara Australia mendatangi mengorek keterangan dari Saiyan.
Yang berhasil diingatnya, otoritas Jepang pernah mengabarkan akan membuat semak belukar untuk dijadikan lapangan di Mandor. Ia mengatakan tempat itu kemudian diberi pagar berkawat duri. Ia diminta memperingatkan agar jangan ada yang mendekat. Jika tetap ngeyel ancamannya mati.
Saiyan kemudian lokasi yang dimaksud bersama dengan sejumlah tentara Australia dan mereka menggali semua tulang hingga memakan waktu tiga bulan. Namun sayangnya dari penggalian itu, tidak ada catatan pasti mengenai jumlah korban yang dieksekusi Jepang di Mandor, selama beberapa gelombang penculikan dan penyungkupan yang dikenal dengan nama "Oto Sungkup."
Menurut versi Yamamoto, seorang kepala kempetai atau polisi militer Jepang di Kalimantan Barat, jumlah korban mencapai 50.000 orang. Sementara menurut catatan Laksamana Muda Kaigun, Kiyotada Takahashi, yang pernah bertugas di Pontianak, korbannya sebanyak 21.037 orang. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top