Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Festival Erau

Perhelatan Kearifan Lokal Menjadi Budaya Internasional

Foto : dok Festival Erau

Dinyalakannya brong oleh Sultan Kutai, Gubernur Kaltim, dan Bupati Kutai menandai dibukanya gelaran Festival Erau.

A   A   A   Pengaturan Font

Berbicara tentang Kutai Kartanegara (Kukar) tak akan lengkap tanpa menyinggung pesta rakyat tahunan yang berlangsung di dalamnya, Erau.

Erau merupakan salah satu festival budaya tertua di Nusantara. Tradisi tahunan ini telah berlangsung selama berabad-abad, seiring perjalanan sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Bisa dikatakan, Erau telah berlangsung sejak masa awal Kesultanan Kutai berdiri.

Istilah erau berasal dari kata eroh yang dalam bahasa Melayu Kutai Tenggarong bermakna keramaian pesta ria atau secara umum dapat dimaknai sebagai pesta rakyat. Dahulu, Erau merupakan hajatan besar bagi Kesultanan Kutai dan masyarakat di seluruh wilayah kekuasaannya yang kini mencakup sebagian besar wilayah Kalimantan Timur. Awalnya, perhelatan ini berlangsung selama 40 hari 40 malam dan diikuti segenap lapisan masyarakat.

Dalam perhelatan tersebut, rakyat dari berbagai penjuru negeri berpesta ria dengan mempersembahkan sebagian hasil buminya untuk dibawa ke Ibukota Kesultanan. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi Erau sebagai wujud rasa syukur atas limpahan hasil bumi yang diperoleh rakyat Kutai. Keluarga besar Kesultanan pun menjamu rakyatnya dengan beraneka sajian sebagai bentuk terima kasih atas pengabdian mereka kepada Kesultanan.

Menurut riwayat yang diyakini masyarakat Kutai secara turun temurun, Erau bermula sejak abad ke-12 Masehi. Catatan sejarah menyebutkan Erau pertama kali berlangsung saat Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia belia. Ia di kemudian hari diangkat menjadi sultan pertama Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Seiring perjalanan waktu, Kesultanan Kutai kemudian bergabung dalam wilayah Republik Indonesia. Sampai 1960, Kutai berstatus daerah istimewa dengan Sultan sebagai kepala daerah. Setelahnya, status Kutai beralih menjadi kabupaten dan kepala pemerintahan dipegang bupati. Peralihan ini menjadi penanda berakhirnya era Kesultanan Kutai yang telah berdiri selama lebih dari 7 abad. Meski demikian, Erau sebagai salah satu peninggalan budaya dari Kesultanan Kutai tetap bertahan.

Erau yang dilangsungkan menurut tata cara Kesultanan Kutai terakhir kali diadakan pada 1965. Kemudian, atas inisiatif pemerintah daerah dan izin dari pihak Kesultanan, tradisi ini mulai dihidupkan kembali pada 1971. Hanya saja, penyelenggaraannya tidak satu tahun sekali melainkan dua tahunan dan dengan beberapa persyaratan. Sejak saat itulah pelaksanaan Erau menjadi ajang pelestarian budaya warisan Kesultanan Kutai dan berbagai etnis yang hidup di dalamnya.

Erau dilangsungkan bertepatan dengan hari jadi Kota Tenggarong, yaitu setiap 29 September. Tetapi, sejak 2010, pelaksanaan festival ini dimajukan menjadi Juli karena menyesuaikan dengan musim liburan sehingga lebih banyak wisatawan yang datang. Festival ini dimeriahkan beraneka kesenian, upacara adat dari Suku-suku Dayak, dan lomba olahraga ketangkasan tradisional.

Pada 2013 menjadi penanda era baru dari pelestarian budaya warisan Kukar. Untuk pertama kalinya, Erau disandingkan dengan perhelatan budaya tradisional dari berbagai negara. Dalam perhelatan bernama Erau International Folklore and Art Festival (EIFAF), berbagai kesenian dan tradisi di lingkup Kesultanan Kutai bersanding dengan warisan budaya dunia dari berbagai bangsa di penjuru dunia.

Ajang ini sekaligus memperkenalkan peninggalan kearifan lokal masyarakat Kutai kepada dunia. Para delegasi dari berbagai negara diundang untuk ikut terlibat dalam berbagai ritual adat yang berlangsung selama pelaksanaan Erau. pur/R-1

Mengenalkan Keunikan Indonesia

Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kukar, Sri Wahyuni, perhelatan EIFAF menjadi salah satu jendela dunia untuk mengenal Indonesia. Kegiatan ini telah menjadi Kalender Even Pariwisata Nasional, diselenggarakan rutin pada pekan ketiga dan keempat setiap Juli.

EIFAF juga tercatat sebagai salah satu dari ratusan even International Folk Arts Festival di dunia di bawah bendera CIOFF dunia yang bermarkas di Kota Paris, Prancis.

"Delegasi yang akan hadir berasal dari sembilan grup yaitu, Bulgaria, Slovakia, Polandia, China Taipei, Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan India, serta delegasi kesenian dari negara-negara Afrika yang tergabung dalam Uni Afrika. Karena akhir Juli adalah masa-masa puncak liburan wisatawan dalam dan luar negeri. Jadi kita pilih pekan terakhir Juli. Begitu pula untuk 2019 ini," terang Sri.

Dalam acara tersebut antara lain diisi dengan parade budaya internasional. Parade akan menampilkan kostum tradisional dari negara-negara peserta, sejumlah upacara tradisional khas Kutai Kartanegara, lalu ada juga tradisi rakyat yang disebut Beseprah atau sarapan bersama, dan ritual Belimbur.

Acara Belimbur yang biasa digelar sebagai pamungkas Festival Erau, mempunyai makna membersihkan diri. Dalam acara ini warga saling menyiramkan air sebagai isyarat menyucikan diri. Bagi warga yang terkena air dilarang marah atau kesal, karena sukacita menjadi semangat acara ini.

"Selama pelaksanaan Erau, berbagai macam tabiat dan perbuatan yang kita lakukan tanpa menyadari, maka dengan Belimbur akan kembali bersih," ujar Haji Aji Pangeran Aryo Kusumo, Menteri Pelestarian Nilai Budaya Adat Kesultanan Kutai Kartanegara.

Istilah erau berasal dari kata eroh yang dalam bahasa Melayu Kutai Tenggarong bermakna keramaian pesta ria atau secara umum dapat diartikan juga sebagai pesta rakyat. pur/R-1

Taman Rekreasi Pulau Kumala

Saat mengunjungi festival ini, sempatkan juga untuk Anda mampir ke sejumlah tempat wisata lain di sekitar Kota Tenggarong.

Taman rekreasi itu adalah Objek Wisata Pulau Kumala. Luas Pulau Kumala sendiri kurang lebih 81 Hektar.

Pulau Kumala sering juga disebut Pantai Kumala. Pulau Kumala adalah sebuah delta sungai yang sering terendam jika air Sungai Mahakam meluap.

Pada 2002, Pulau Kumala resmi diresmikan sebagai objek wisata karena keindahan alamnya dan letaknya yang berada di tengah Sungai Mahakam.

Tarif masuk ke Wisata Pulau Kumala, untuk tiket orang dewasa dikenakan biaya sebesar 7 ribu rupiah dan anak-anak hanya 5 ribu rupiah.

Tidak jauh dari Pulau Kumala, terdapat Museum Mulawarman yaitu bukti sejarah Kerajaan Kutai yang terkenal, di museum ini tersimpan berbagai koleksi benda peninggalan masa keemasan Kesultanan Kutai Kartanegara.

Dari Bandara Sepinggan, Balikpapan, pelancong dapat terbang ke Samarinda setiap hari. Di Kota Tenggarong, telah tersedia sejumlah hotel dan penginapan, namun bagi pelancong yang ingin menetap di Kota Samarinda, tersedia pilihan tempat menginap lebih banyak. Dari sana juga lebih cepat ke Tenggarong melalui perjalanan darat sekitar 1 jam saja. pur/R-1

Komentar

Komentar
()

Top