Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Perguruan Tinggi Berbasis Riset

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Di tengah kencangnya isu pengangguran berpendidikan tinggi, antusiasme masyarakat melanjutkan kuliah ternyata tidak surut. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pendaftar yang mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun ini mencapai 478. 608 siswa.

Dari jumlah tersebut, yang lolos 92. 331 untuk 85 perguruan tinggi (PTN). Tiga kampus favorit ialah Universitas Brawijaya Malang (55. 871), Universitas Sebelas Maret Surakarta (48. 735) dan Universitas Diponegoro (48. 440). Antusiasme masyarakat merupakan kabar gembira. Artinya, mereka memiliki kesadaran tinggi terhadap pendidikan.

Masyarakat menaruh kepercayaan tinggi pada PTN. Namun, di sisi lain, kesadaran ini tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas PT. Dalam peringkat universitas terbaik versi Quacqurelli Symonds (QS) University Rangkings, tidak ada satu pun PT Indonesia masuk 100 besar dunia. Hanya ada tiga masuk dalam 500 besar PT terbaik dunia.

Mereka adalah Universitas Indonesia (296), UGM urutan 320, dan ITB urutan 331. Salah satu variabel penilaian yang menentukan adalah jumlah publikasi ilmiah bertaraf internasional. Minimnya publikasi ilmiah berskala internasional inilah yang menyebabkan peringkat universitas- universitas Indonesia terpuruk.

Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) kerap sesumbar, jumlah publikasi ilmiah Indonesia yang terindeks Scopus setiap tahun meningkat. Tahun 2018 jumlah publikasi ilmiah Indonesia 5. 125. Ini mengunggguli Singapura (4. 948). Di ASEAN, Indonesia hanya di bawah Malaysia (5. 999).

Namun, hitung-hitungan itu tentu tidak bisa dijadikan acuan lantaran jumlah penduduk termasuk angka universitas, dosen, dan mahasiswanya jauh lebih banyak dari total penduduk, universitas, mahasiswa, dan dosen Malaysia serta Singapura, bahkan jika digabungkan. Akan lebih rasional jika jumlah publikasi internasional juga dihitung berdasar jumlah penduduk satu negara.

Menurut Bank Dunia, rasio peneliti Indonesia hanya 1.071 per satu juta penduduk, sedangkan Malaysia 2.590 peneliti di antara satu juta warga. Sementara itu, rasio jumlah peneliti dan penduduk Singapura mencapai lebih dari 7.000 per satu juta penduduk.

Minimnya hasil penelitian berskala internasional PT Indonesia merupakan akumulasi dari sejumlah faktor berkelindan. Di antaranya, persoalan klasik anggaran, ruwetnya birokrasi dan rendahnya kapasitas sumber daya manusia. Secara akademik, harus diakui, kultur PT Indonesia belum sepenuhnya adaptif terhadap budaya penelitian dan pengembangan (research and development).

Teori

Kurikulum PT cenderung masih mengadopsi gaya pembelajaran klasik yang lebih menitikberatkan teori ketimbang praktik. Selain itu, mahasiswa dijejali puluhan matakuliah yang harus ditempuh sebagai salah syarat akademik kelulusan. Ritme perkuliahan pun lebih mirip rutinitas transfer ilmu pengetahuan dari dosen ke mahasiswa.

Itu nyaris tanpa stimulus yang mendorong mahasiswa berinovasi. Di saat sama, dosen yang idealnya berperan sebagai peneliti serta inovator, kerap terjebak pada aktivitas administratif yang tidak hanya menyita waktu, tapi juga pikiran. Selain beban mengajar yang banyak, sebagian besar dosen juga dibebani pekerjaan administratif yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pengembangan keilmuan.

Kondisi itu kian tidak menguntungkan ketika sistem birokrasi dan mekanisme anggaran cenderung tidak memiliki keberpihakan pada aktivitas penelitian. Dana cekak, perizinan berbelit-belit hingga minimnya apresiasi merupakan tantangan sekaligus bagian tidak terpisahkan dari kerjakerja kepenelitian akademik.

Alhasil, produktivitas dosen dalam meneliti dan menulis lebih sering dilakukan untuk memenuhi angka kredit semata. Lemahnya kultur kepenelitian dalam dunia akademik membuat universitas tidak ubahnya seperti pabrik lulusan berijazah, tapi sering minim kompetensi. Pada titik tertentu, universitas yang digadang sebagai tempat lahir para innovator, gagal menjalankan perannya.

Konsekuensinya, ribuan diploma dan sarjana tiap tahun justru menjadi beban baru pemerintah dan masyarakat. Maka, mengembangkan PT berbasis riset sudah tidak dapat ditawar. Tentu untuk mewujudkan diperlukan langkah-langkah strategis dan radikal.

Pengembangan kultur penelitian dan pengembangan di PT mustahil dilakukan tanpa membongkar sistem birokrasi yang centang perenang, tumpang tindih dan merepotkan, alih-alih memudahkan. Mendorong civitas academica terutama para dosen agar giat meneliti tidak dapat hanya dengan memberlakukan sistem kenaikan jabatan dan angka kredit.

Untuk menghasilkan publikasi internasional, dosen tidak dibebani tugas mengajar berlebihan. Dia harus dibebaskan dari kerja-kerja administratif. Untuk mengatasi keterbatasan kapasitas SDM, universitas-universitas harus proaktif menjalin kerja sama dengan universitas- universitas negara maju. Kemitraan akademik ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas dosen dan mahasiswa, utamanya dalam konteks penelitian.

Bentuk kerja sama dapat bermacam- macam. Ini mulai dari penelitian gabungan (join research), pertukaran dosen atau mahasiswa (exchange program) sampai pembukaan program studi dengan gelar ganda (double degree program). Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang, hambatan kerja sama antarberbagai universitas dengan mudah dapat diatasi. Yang lebih diperlukan sebenarnya political will tiap-tiap universitas.

Sementara itu, untuk kendala pendanaan dapat diatasi dengan menjalin kerja sama dengan swasta. Riset-riset inovatif terapan, umumnya membutuhkan biaya besar dan tidak sebentar. Universitas kerap kali kesulitan pendanaan, sehingga alokasi untuk riset memang terbilang kecil. Untuk itu, universitas perlu menjalin kemitraan dengan swasta guna mendapat sumber pendanaan.

Selain itu, pemerintah patut mengalokasikan dana lebih besar untuk kegiatan penelitian dan pengembangan. Aktivitas penelitian baik akademik maupun inovatif terapan mestinya dipahami sebagai sebuah investasi.

Nurrochman, S Fil MHum, Mahasiswa S3 UIN Yogyakarta

Komentar

Komentar
()

Top