Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Perempuan dan Rona dalam Cerita Melayu

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

"Orang-orang Melayu punya kebiasaan mengendalikan emosi secara bertahap di dalam hidup. Ada masa-masa perlu merajuk. Kemudian, mengaruk dan sampai pada puncaknya di titik amuk (hal 22)." Penggalan cerpen Lelaki Pertama yang Bersemayam di Rumah Rindu ini satu di antara hakikat hidup orang Melayu yang terangkai dalam cerita-cerita pendek (cerpen). Kumpulan cerpen Lembayung Pagi, 30 Tahun Kemudian karya sastrawan dan budayawan Melayu, Fakhrunnas MA Jabbar, ini berisi 16 cerpen. Sebagian besar telah dimuat media massa.

Ada kesengajaan menampilkan perempuan Melayu dalam penokohan. Dengan sudut pandang "aku," terasa sisi psikologisnya masuk ke dalam diri pembaca menyelami berbagai konflik tokoh "aku."

Selain sisi terdalam perempuan Melayu, pembaca juga diajak mengenal rona dan pernik-pernik beraroma Melayu. Pembaca dikenalkan dengan istilah, seperti angin sakal, hantu jembalang, dan selambe. Pembaca diajak bernostalgia kebesaran Melayu dari berbagai warisan, seperti lagu Lancang Kuning, Seroja, dan Bahtera Merdeka. Ada juga tokoh Melayu, Soeman Hs, Sutardji Chalzoum Bachri, dan filsafat hidup orang Melayu.

Cerpen-cerpen dalam Lembayung Pagi bila didalami mengandung sisi romantisme humanisme hubungan antarmanusia. Romantisme itu semakin mendalam karena dibaluri diksi-diksi indah bak puisi panjang. Contoh salah satu cerpennya, "Perjumpaan kami hanya lewat bunyi, keheningan dan nafiri rindu. Setiap waktu kami saling berkabar lewat batin. Atau, puisi yang mengalir lembut di nadi-nadi perasaan", (hal 8) dalam Lembayung Pagi, 30 Tahun Kemudian.

Latar belakang berpengaruh pada bait-bait kalimat cerpen seperti pilihan kepingan puisi. Bahkan pada cerpennya, Kuburan Masa Lalu (hal 123), tertuliskan sebait puisi sebagai penutup cerita. "Lelaki itu tiba-tiba tersungkur. Tak kuat menahan sesak napasnya. Ia tiba-tiba pergi begitu saja. Tak ada pesan. Tak ada kata-kata. Ia lebih memilih jalan kematian. Ia tak hendak dibunuh oleh perasaan. Atau, mati tanpa hati.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top