Budaya Tanpa Empati
Dr Benny Susetyo
Foto: istimewaOleh: Dr Benny Susetyo
Budayawan
- Baca Juga: TPS Liar Menjamur di Bekasi
Budaya kekerasan yang kian marak di Indonesia bukan sekadar cerminan krisis moral, tetapi juga mengungkap rapuhnya struktur sosial, hukum, dan pendidikan dalam mencegah serta menangani kekerasan. Hilangnya kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan menjadi salah satu aspek paling mencolok. Bagaimana mungkin seseorang tega melakukan kekejaman terhadap sesamanya? Apakah kemiskinan dan tekanan sosial benar-benar mampu mereduksi kemanusiaan hingga sebegitu brutal?
Jawaban atas fenomena ini tidak bisa hanya dicari pada ranah individual, melainkan harus dipahami sebagai masalah struktural masyarakat kita. Hilangnya nilai kemanusiaan adalah akar utama maraknya kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap kasus kekerasan, baik yang mencuat di media maupun tidak, tampak pola perilaku yang menunjukkan absennya empati.
Ketika nyawa manusia dianggap tak berharga, tindakan sadis seperti pembunuhan dan pemerkosaan menjadi lebih mudah terjadi. Mengapa nilai-nilai kemanusiaan ini memudar? Apa yang membuat masyarakat yang dahulu menjunjung tinggi gotong royong dan kebersamaan kini berubah menjadi lahan subur bagi kekerasan dan kebrutalan?
Dalam realitas saat ini, perubahan sosial yang cepat sering kali tidak diimbangi dengan penyesuaian nilai-nilai moral yang memadai. Di tengah kemajuan teknologi dan globalisasi, masyarakat kerap mengabaikan nilai-nilai tradisional yang menjadi fondasi kemanusiaan, kebersamaan, dan solidaritas.
Ironisnya, nilai-nilai ini justru terkikis oleh tekanan untuk mencapai kesuksesan material dan individual. Tekanan hidup, terutama dalam konteks ekonomi, sering dijadikan alasan untuk mengabaikan nilai kemanusiaan, tetapi ini tidak cukup untuk membenarkan tindakan kekerasan.
Kasus kekerasan dengan motif ekonomi, seperti penculikan dan pembunuhan balita di Banten, mengungkap dengan gamblang bahwa masyarakat kita semakin melihat kekerasan sebagai solusi ekstrem dalam menghadapi kesulitan hidup. Ketika pelaku merasa terdesak oleh keadaan ekonomi, kekerasan dipilih seolah-olah itu satu-satunya jalan keluar.
Namun, sekadar menuding kesulitan ekonomi sebagai penyebab tidak hanya simplistik, tetapi juga berbahaya. Ada kegagalan yang jauh lebih mendasar dan sistemik yaitu kegagalan masyarakat kita dalam mempertahankan dan menginternalisasi nilai-nilai kemanusiaan.
Ketidakmampuan kita sebagai bangsa untuk menjaga nilai-nilai tersebut di tengah arus globalisasi yang semakin mengedepankan individualisme dan materialism menjadikan nilai-nilai yang dulu menjadi pondasi kehidupan bermasyarakat kini terabaikan.
Tekanan global, ditambah dengan obsesi akan kesuksesan material, telah menciptakan masyarakat yang mengutamakan keuntungan pribadi di atas kemaslahatan bersama. Ini bukan sekadar krisis ekonomi, ini adalah krisis moral yang jauh lebih dalamkemerosotan spiritual dan sosial yang meruntuhkan tatanan nilai-nilai kita sebagai bangsa.
Kegagalan ini bukan hanya tanggung jawab individu pelaku, tetapi cerminan dari rapuhnya sistem pendidikan, hukum, dan sosial. Alih-alih mengajarkan empati, solidaritas, dan kemanusiaan, masyarakat kita telah menormalisasi ketidakpedulian dan kekerasan. Inilah akar permasalahan yang harus segera diatasi. Jika tidak, kita akan terus menyaksikan penurunan moral yang semakin meluas, di mana kekerasan menjadi respons wajar terhadap tekanan hidup.
Hilangnya rasa kebersamaan dan solidaritas di masyarakat, disertai tekanan ekonomi, menjadi akar utama maraknya kekerasan di Indonesia. Dulu, budaya gotong royong memperkuat ikatan antarindividu, di mana setiap orang merasa bertanggung jawab satu sama lain. Namun, modernisasi dan urbanisasi telah menggerus nilai ini, menggantikannya dengan individualisme yang semakin dalam.
Masyarakat kini lebih fokus pada kepentingan pribadi, menciptakan jarak emosional yang memudahkan kekerasan terjadi. Ketika individu tidak lagi merasa terhubung dengan komunitas, mereka cenderung melihat orang lain sebagai objek, bukan sebagai manusia dengan perasaan dan hak yang sama.
Pengaruh media sosial dan akses tak terbatas terhadap konten kekerasan memperparah krisis moral di masyarakat. Teknologi digital, meskipun membawa kemajuan, juga menyebarkan konten kekerasan yang mudah diakses anak-anak dan remaja, yang belum mampu membedakan antara fiksi dan realitas.
Kekerasan kerap dinormalisasi sebagai hiburan di berbagai platform, termasuk media sosial, televisi, dan film, yang memberi pesan bahwa kekerasan adalah solusi yang wajar. Kurangnya pengawasan orang tua memperburuk situasi, membiarkan anak-anak terpapar konten berbahaya tanpa kendali, sehingga kekerasan semakin dianggap sebagai hal biasa dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini, pendidikan digital menjadi sangat penting. Anak-anak dan remaja harus diajarkan bagaimana cara menggunakan teknologi dengan bijak, bagaimana cara menyaring informasi yang mereka terima, dan bagaimana cara membedakan antara konten yang baik dan buruk. Pendidikan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga keluarga.
Orang tua harus terlibat aktif dalam memberikan pendidikan digital kepada anak-anak mereka dan memastikan bahwa mereka memahami bahaya dari konten kekerasan yang ada di media sosial. Peran orang tua dan keluarga dalam membentuk karakter dan moral anak-anak tidak bisa diabaikan.
Keluarga adalah tempat pertama di mana anak-anak belajar tentang nilai-nilai moral, etika, dan kemanusiaan. Namun, dalam banyak kasus kekerasan, kita sering menemukan bahwa pelaku kejahatan berasal dari latar belakang keluarga yang disfungsional atau tidak memiliki pendidikan moral yang memadai.
Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan moral sejak dini, yang harus dimulai dari keluarga, bukan hanya sekolah. Sayangnya, banyak keluarga gagal menjalankan peran ini, terutama keluarga disfungsional yang sering menjadi akar perilaku kekerasan. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh konflik atau ketidakpedulian cenderung mengadopsi perilaku negatif dan agresif karena tidak mendapatkan contoh moral yang baik.
Selain itu, meskipun sekolah memiliki tanggung jawab dalam membentuk karakter, pendidikan formal di Indonesia lebih menekankan aspek akademis daripada pendidikan moral. Padahal, pendidikan karakter yang mencakup nilai-nilai seperti kejujuran, empati, dan tanggung jawab sangat penting dalam mencegah kekerasan.
Namun, dalam praktiknya, kurikulum yang ada sering kali mengabaikan pendidikan karakter, yang mengakibatkan anak-anak tidak memiliki landasan moral yang kuat dalam menghadapi konflik dan tekanan hidup.
Sebagai ideologi bangsa, Pancasila memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moral masyarakat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila, seperti kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, harus menjadi landasan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ada kekhawatiran bahwa nilai-nilai Pancasila mulai terkikis dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan generasi muda.
Untuk mengatasi maraknya kekerasan, revitalisasi pendidikan karakter, terutama nilai-nilai Pancasila, menjadi kunci. Nilai-nilai gotong royong, keadilan, dan saling menghargai harus diinternalisasi melalui pendidikan formal maupun kehidupan sehari-hari. Sekolah dan keluarga memegang peran penting dalam mengajarkan moralitas, namun banyak keluarga gagal menjalankan peran ini. Ketika lingkungan keluarga disfungsional, anak-anak cenderung mengadopsi perilaku kekerasan.
Sekolah yang terlalu fokus pada pencapaian akademis sering kali mengabaikan pendidikan karakter, padahal nilai-nilai kemanusiaan seperti empati dan tanggung jawab sangat penting dalam mencegah kekerasan. Selain itu, media sosial yang sering menyebarkan konten kekerasan memperburuk situasi, mempertegas pentingnya literasi digital di kalangan anak-anak dan orang tua.
Pemerintah harus memperkuat peran sekolah dan media dalam mengurangi kekerasan. Kampanye kesadaran sosial, reformasi sistem hukum yang melindungi korban, serta pengetatan pengawasan media sosial perlu segera dilakukan.
Masyarakat harus didorong untuk menolak segala bentuk kekerasan melalui penyuluhan, seminar, dan kelompok komunitas yang mendukung korban. Guru dan tenaga pendidik juga perlu dilatih dalam mengajarkan pendidikan karakter secara efektif, sehingga anak-anak dapat tumbuh dengan kesadaran moral yang kuat.
Indonesia harus menjadi negara yang aman dan damai, di mana kekerasan tidak lagi dianggap sebagai hal wajar. Peran kolektif dari pemerintah, keluarga, sekolah, dan media sangat penting untuk membangun masyarakat yang bebas kekerasan, berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan, dan memastikan generasi mendatang hidup dalam lingkungan yang aman, adil, dan bermoral tinggi.
Masa depan Indonesia yang bebas dari kekerasan hanya bisa tercapai dengan upaya kolektif dari semua elemen-pemerintah, keluarga, sekolah, dan media. Melalui penguatan pendidikan karakter, reformasi hukum yang melindungi korban kekerasan, serta penyuluhan tentang nilai-nilai kemanusiaan, kita dapat membangun masyarakat yang lebih beradab. Visi ini menuntut komitmen kuat untuk mewujudkan lingkungan yang aman, di mana setiap individu merasa terlindungi dan kekerasan tidak lagi dianggap wajar.
Berita Trending
- 1 Pemanasan Bagus Madrid Jelang Bertemu Atalanta
- 2 Akhirnya Setelah Gelar Perkara, Polisi Penembak Siswa di Semarang Ditetapkan Sebagai Tersangka
- 3 Kabar Menggembirakan, Kemenag Berikan Perlindungan Jamsostek ke 165 Ribu Guru Madrasah
- 4 Jakarta Luncurkan 200 Bus Listrik
- 5 Dede Yusuf Ungkap Turunnya Partisipasi Pemilih di Pilkada Serentak Salah Satunya karena Masyarakat Jenuh
Berita Terkini
- Atas Pembatalan Persetujuan Bangunan Gedung Kedubes India, PTTUN Kuatkan Putusan PTUN Jakarta
- Presiden Prabowo Minta Polri Makin Profesional dalam Layani dan Mengabdi ke Masyarakat
- Single ‘Winter Ahead’ Antar V BTS Debut di Billboard Hot 100
- Makan Bergizi Gratis Mulai Januari 2025, Wamendagri Bima Arya Minta Lakukan Ini
- Swara Prambanan 2024 akan Tampilkan Raisa, Vina Panduwinata, JKT48