Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Antisipasi Krisis - Balas AS, Tiongkok Akan Pangkas Permintaan Kedelai

Perang Dagang, Momentum Pacu Industri Substitusi Impor

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Perang dagang global yang dipicu oleh aksi saling balas kebijakan proteksionisme antara Amerika Serikat (AS) dan mitra dagangnya, seperti Tiongkok dan Eropa, berpotensi menurunkan volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global. Secara tidak langsung, trade war diperkirakan juga bakal mengganggu kinerja ekspor-impor Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah perlu memanfaatkan momentum ini untuk mengembangkan industri substitusi impor sebagai motor pertumbuhan ekonomi nasional. Industri substitusi impor dinilai tidak hanya mengurangi impor barang konsumsi, tetapi juga bisa memperkuat struktur industri lewat produksi komponen dan barang modal.

Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, mengatakan ketika pertumbuhan ekonomi global turun maka imbasnya adalah penurunan harga komoditas yang hingga kini masih menjadi andalan ekspor Indonesia. Di sisi lain, proteksionisme AS membuat pasar Tiongkok berkurang, sehingga dia akan mencari pasar di negara lain.

"Yang kita khawatirkan itu akan menghantam pasar Indonesia karena produk baja dan aluminium Indonesia masih high cost, mahal. Kalau pasar AS dialihkan ke kita, babak belur kita, dua kali kena. Kena dari sisi ekspor karena harga komoditas turun, yang kedua akan dibanjiri barang-barang impor," papar dia, di Jakarta, Minggu (11/3).

Akibatnya, ancaman krisis neraca perdagangan makin tampak nyata, dan efeknya pada perlambatan ekonomi. Sebab, kalau ekspor berkurang akan menurunkan tingkat produktivitas. "Sementara itu, kalau impor meningkat, berdampak pada imported inflation. Pasti nilai tukar kita akan terkoreksi atau terus terdepresiasi," papar Enny.

Menurut Enny, Indonesia sebenarnya bisa melakukan proteksionisme seperti yang dilakukan AS, tapi harus dilakukan dengan sinergi di berbagai sektor. Apabila Indonesia akhirnya kesulitan mengekspor bahan baku baja ke AS, ini bisa menjadi kesempatan untuk segera mempercepat hilirisasi industriindustri hulu.

"Krakatau Steel, misalnya, berbenah untuk mengolah dan mengambil kesempatan dan keuntungan. Artinya, kita mampu melakukan berbagai substitusi impor. Kalau ini bisa diperkuat justru jadi momentum, termasuk komoditas yang rendah nilai tambah, itu sebenarnya momentum untuk melakukan hilirisasi," ungkap dia.

Direktur Pusat Studi Masyarakat (PSM) Yogyakarta, Irsad Ade Irawan, menambahkan industri substitusi impor bakal menekan kebergantungan atas impor sehingga mengurangi risiko kurs terhadap ekonomi Indonesia akibat ketidakpastian global dan ancaman pengetatan moneter oleh AS.

"Pemerintah harus fokus pada industri ini. Harus ada mapping yang jelas industri apa saja yang dibutuhkan untuk menggantikan impor dan insentifnya harus ada agar ada investasi di sektor-sektor tersebut," kata Irsad. Irsad juga menyoroti kerentanan industri nasional yang masih mengandalkan buruh murah sehingga sedikit saja gejolak akan menerima imbas pertama.

Ekspor Indonesia ke Tiongkok besar maka jika AS benar-benar menekan Tiongkok, ekspor akan terganggu pada gilirannya tidak hanya pertumbuhan yang terganggu, bahkan terancam deindustrialisasi. "Tahun kemarin ekspor kita ke Tiongkok naik 30 persen lebih. Nah, ini yang pertama akan jadi korban," tegas dia.

Pembalasan Tarif

Sementara itu, petani AS yang tergabung dalam Asosiasi Kedelai Amerika (American Soybean Association) mengungkapkan Tiongkok bakal menurunkan permintaan kedelai AS sebagi balasan kebijakan tarif impor baja dan aluminium. Selama ini, Tiongkok mengimpor sepertiga produk kedelai AS.

Jika Negeri Tirai Bambu itu mengurangi impor kedelai, stok akan melimpah dan petani kedelai AS akan merasakan dampaknya. Kelompok tani AS telah lama mengkhawatirkan bahwa Tiongkok akan memperlambat pembelian produk pertanian mereka. Ini akan menambah persoalan di sektor pertanian AS yang sedang berupaya memperkuat diri.

"Kami telah mendengar langsung dari Tiongkok bahwa kedelai AS adalah target utama untuk pembalasan," kata kelompok petani AS itu.

ahm/YK/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top