Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Peran Milenial Era Bonus Demografi

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Osi Pratiwi Sasmita

Banyak peluang dan ancaman menunggu bangsa Indonesia ke depan. Sandaran tidak bisa hanya diserahkan kepada generasi senior yang sampai hari ini masih bercokol di tampuk-tampuk kekuasaan, baik pemerintahan maupun kekuatan-kekuatan politik. Anak muda, terutama generasi milenial, harus mulai mengambil peran untuk menyambut tantangan dan peluang tersebut. Ini demi keberlanjutan estafet kesejahteraan dan kemakmuran bangsa.

Peluang dan tantangan atas bonus demografi yang diperkirakan akan terjadi pada tahun 2030 harus dioptimalkan. Bonus demografi merupakan suatu kondisi jumlah penduduk usia kerja (15-64 tahun/usia produktif) mencapai 70 persen. Sedangkan sisanya dikategorikan tidak produktif atau yang berusia 14 tahun ke bawah dan di atas 65 tahun.

Di satu sisi, peningkatan jumlah penduduk usia kerja sangat menguntungkan secara ekonomi karena beban kebergantungan akan berada pada titik terendah. Sebab setiap penduduk produktif hanya akan menanggung sedikit penduduk yang tidak produktif. Secara ekonomi, sebuah negara atau wilayah yang mengalami bonus demografi akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan baik. Asal, bonus tersebut mampu dimanfaatkan secara optimal.

Maka, memanfaatkan peluang bonus demografi dengan meningkatkan kualitas penduduk agar mampu berperan dalam pasar kerja. Kemudian, membuka peluang pekerjaan seluas-luasnya, sehingga sebagian besar angkatan kerja tersebut terserap di pasar kerja. Dengan kata lain, kuncinya daya saing sumber daya manusia (SDM).

Kalkulasi sederhananya, jika berdasarkan hitungan deret waktu dan umur terhadap tingkat produktivitas penduduk, bangsa Indonesia hanya punya waktu sekitar 13 tahun lagi menuju bonus demografi, peluang tersebut harus benar-benar dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas SDM agar mampu menopang perekonomian nasional menuju tahap lebih tinggi, di antaranya menjadi bangsa maju dan sejahtera dengan pendapatan per kapita per tahun di atas 13.000 dollar AS.

Nah, secara ekonomi, waktu menuju bonus demografi 14 tahun, paling krusial dalam lembar sejarah bangsa. Jika menyia-nyiakannya, Indonesia akan tetap seperti sekarang berpendapatan per kapita 3.400 dollar AS. Setelah masa itu berakhir, dan bonus demografi pun hilang, munah pula kesempatan menjadi negara maju dan sejahtera.

Tapi harus pula diingat, bonus demografi pisau bermata dua. Penduduk usia produktif bisa menjadi modal amat berharga untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi jika menjadi pekerja di sektor-sektor bernilai tambah tinggi. Sebaliknya, mereka bisa juga mendatangkan petaka jika angkatan kerja produktif tersebut justru menjadi penganggur atau hanya bekerja di sektor-sektor tak bernilai tambah.

Jadi, itulah alasan Indonesia harus memanfaatkan sebaik mungkin periode emas tersebut. Bila gagal memanfaatkan bonus demografi, Indonesia akan terus terperangkap dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Ini negara dengan pendapatan per kapita per tahun 2.500-13.000 dollar AS. Bahkan, sangat mungkin Indonesia "turun kasta" sebagai berpendapatan rendah (lower income) atau di bawah 2.500 dollar AS karena ekonomi nasional tidak mampu menyerap dan menyediakan lapangan pekerjaan untuk angkatan kerja yang sedang memuncak.

Kajian Penting

Bagi kita, isu middle income trap merupakan kajian sangat penting karena Indonesia sebagai salah satu negara emerging market harus bisa keluar dari jebakan middle income di masa depan. Dalam kacamata ekonomi pembangunan dan teori pertumbuhan, isu middle income trap sudah banyak dibahas. ADB dan World Bank (2012), misalnya, mendefinisikan sebagai, "Countries stagnating and not growing to advanced country level." Sedangkan para pakar mendefiniskan, "Growth slowdown and stuck in the middle income status" (Gill and Kharas, 2007; Eichengreen et al, 2011)

Klasifikasi teknisnya pernah diinisiasi Bank Dunia yang membagi membagi negara-negara ke dalam empat kelompok berdasarkan tingkat pendapatan nasional kotor (GNI-Gross National Income) per kapita. Kelompok pertama, negara miskin atau low income countries dengan GNI hingga 1.035 dollar AS. Kedua negara lower middle income dengan GNI antara 1.036 dollar AS dan 4.085 dollar AS.

Kelompok ketiga upper middle income dengan GNI antara 4.086 dan 21.615 dollar AS. Keempat negara-negara kaya (high income countries) dengan GNI per kapita di atas 21.616 dollar AS. Bagaimana dengan Indonesia? Sampai tahun 2015 lalu, posisi per kapita tercatat sekitar 3.500 dollar AS alias ada dalam rentang kelompok kedua, lower middle income.

Dengan demikian, fenomena middle income trap sebenarnya bukan isu baru dalam ekonomi pembangunan, terutama untuk Indonesia. Dalam ekonomi pembangunan, pengalaman berbagai gagal menjadi negara industri seperti di kawasan Amerika Latin menjadi pelajaran sangat penting.

Baca Juga :
Jiwa Kesatria

Menurut World Bank (2012), dari 101 negara middle income tahun 1960, hanya 13 negara yang berhasil mencapai high income countries tahun 2008. Sebanyak 88 negara tidak beranjak dari middle income trap. Sementara itu, menurut ADB, tahun 2010, dari 52 negara middle income countries, sebanyak 35 negara terjebak dalam status the middle income group. Ini berarti mereka terjebak di middle income trap. Malah 30 negara di antaranya terjebak dalam lower middle income trap.

Kemudian, bagaimana dengan peta peran generasi milenial? Pada tahun 2030, para generasi milenial akan berumur 30-50 (kelahiran 1980-2000). Dengan kata lain, mereka sedang bercokol pada masa produktifnya saat Indonesia bertemu tahap bonus demografi. Rentang umur 30-50 sangat krusial baik bagi generasi milenial di kekuasaan (eksekutif, legislatif, atau yudikatif) ataupun pejabat di korporasi-korporasi besar. Ini termasuk yang berstatus pemilik (owners) dunia usaha.

Pada rentang inilah terletak banyak tanggung jawab pengambilan keputusan penting baik di pemerintahan, perusahaan, atau dunia usaha secara keseluruhan yang berimbas besar terhadap bangsa. Pendeknya, jika hari ini negara kurang berhasil memfasilitasi generasi milenial untuk menjadi manusia produktif, berkualitas, dan berdaya saing tinggi, maka saat bonus demografi tiba, bisa jadi petaka. Mereka harus mampu tampil sebagai manusia-manusia andal dan berdaya saing. Mereka berperan aktif menopang perekonomian nasional dan ikut menyiapkan landasan ekonomi yang kokoh. Dengan begitu, berkemungkinan besar, mayoritas jutaan angkatan kerja produktif itu akan ikut mencicipi kemajuan perekonomian nasional dan berperan penting di dalamnya.Penulis Mahasiswi Pascasarjana School of Government and Public Policy, Bogor

Komentar

Komentar
()

Top