Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 18 Okt 2024, 14:30 WIB

Penyebab Melebarnya Ketimpangan Ekonomi dari Sudut Pandang Perpajakan

Ilustrasi.

Foto: The Conversation/Shutterstock/lil-mo

Jaya Darmawan, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)

Jurang ketimpangan ekonomi nasional kian melebar 10 tahun terakhir. Laporan "Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) pada tahun 2024 mengungkapkan jomplangnya distribusi kekayaan di Indonesia.

Kejomplangan ini terlihat dari kenaikan kekayaan tiga triliuner teratas hingga 174% dalam kurun waktu 2020-2023. Sementara di lain sisi, upah pekerja hanya naik sebesar 15% dalam periode yang sama.

Banyak sisi sudut pandang yang bisa kita gunakan dalam mengurai permasalahan ketimpangan. Tapi pada kesempatan kali ini, kami ingin melihat dari sudut pandang perpajakan. Rezim perpajakan nasional yang berlaku saat ini kami nilai tidak memenuhi asas keadilan.

Salah satu sebab ketimpangan ini bersumber dari celah besar pada sistem perpajakan. Ketidakadilan sistem pajak yang ada mengkonsentrasikan penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang super kaya tidak diimbangi dengan kontribusi yang sepadan terhadap penerimaan negara.

Ketimpangan melebar lantaran banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh para wajib pajak besar untuk meminimalisir kewajibannya. Sedangkan wajib pajak pribadi yang notabene merupakan masyarakat umum tidak memiliki ruang untuk menekan kewajiban pajaknya.

Fakta bahwa akumulasi kekayaan dari 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang lainnya menunjukkan betapa ketidakadilan ini telah mencapai titik ekstrim-si kaya semakin kaya sedangkan si miskin kian miskin-terlepas dari pertumbuhan ekonomi yang cukup positif.

Diberi karpet merah untuk mengemplang disertai banyak insentif

Wajib pajak besar memiliki banyak keleluasaan untuk menghindari pajak. Bahkan, negara memberi 'karpet merah' agar para wajib pajak besar bisa 'mengakali' kewajibannya dengan tax planning.

Wajib pajak besar juga memiliki kapabilitas untuk menyewa jasa konsultan perbankan dan perpajakan global guna menekan setoran pajaknya. Pendapatan mereka ditransfer ke yurisdiksi dengan pajak rendah atau negara tax haven melalui struktur perusahaan yang rumit. Modus yang dikenal dengan transfer pricing ini mencari margin keuntungan dengan selisih tarif.

Data Tax Justice Network 2023 mengungkapkan bahwa Indonesia kehilangan setidaknya Rp41,8 triliun per tahun dari penghindaran pajak atau 0,3% dari GDP. Singapura menjadi negara favorit bagi para wajib pajak besar untuk memarkirkan pundi-pundi asetnya.

Pemerintah tampaknya belum memiliki kebijakan yang kuat untuk mengatasi persoalan ini. Meskipun telah ada beberapa kebijakan seperti amnesti pajak jilid 1 dan 2 yang ditawarkan kepada para pelaku bisnis besar, kebijakan ini justru memberi insentif bagi mereka untuk melaporkan kekayaan yang belum tercatat dengan tarif pajak yang lebih rendah atau bahkan tanpa denda.

Hal ini pada dasarnya merupakan bentuk "pengampunan" bagi orang-orang kaya yang selama ini menghindari kewajiban pajak mereka. Insentif seperti ini, yang awalnya dimaksudkan untuk merangsang investasi, hanya menguntungkan perusahaan besar dan memperkuat dominasi mereka di pasar, sementara usaha kecil dan pekerja tetap terpinggirkan.

Ketat mengawasi wajib pajak 'kere'

Ironisnya, meskipun menyadari banyak harta dari pada wajib pajak yang belum tercatat, pemerintah lebih fokus pada kelompok masyarakat menengah-bawah. Seperti kebijakan pajak pertambahan nilai yang akan mengalami kenaikkan seiring waktu jika tidak adanya inovasi aturan pajak baru.

Tahun depan PPN yang akan naik di tahun 2025 menjadi 12%. Artinya, mereka yang sudah menderita kemiskinan harus membayar lebih banyak tanpa imbalan yang sepadan dari negara.

Wajib pajak pribadi yang berupa karyawan juga paling sering dirugikan dengan oleh rezim pajak ini. Bahkan untuk persoalan lalai melaporkan surat pemberitahuan tahunan pajak saja, wajib pajak pribadi secara sistem sudah dikenai sanksi denda pajak. Padahal, seorang karyawan sudah menyetor kewajiban perpajakannya dengan baik karena pajak penghasilan PPh 21 otomatis terpotong setiap bulannya.

Kondisi ini menggambarkan diskriminasi perlakuan pemerintah dalam mengatur dan mengawasi perpajakan antara wajib pajak besar dan wajib pajak kecil. Hal ini menjadi penyebab struktural kenapa realisasi rasio pajak Indonesia memiliki tren yang cenderung negatif, bahkan berat mencapai 11% dalam 2 jilid pemerintahan Joko Widodo. Pasalnya, tidak mungkin mengharapkan adanya potensi pajak baru di tengah situasi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja saat ini.

Belanja perpajakan: subsidi terselubung untuk konglomerat

Belanja perpajakan, yang seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sering kali malah berfungsi sebagai subsidi terselubung (hidden subsidy) bagi konglomerat dan perusahaan besar.

Meski alokasi 50% dari anggaran belanja perpajakan bertujuan membantu masyarakat, angka belanja non-kesejahteraan justru mencapai Rp189,7 triliun pada tahun 2024. Sejumlah insentif pajak yang dirancang untuk mendorong investasi perlu dievaluasi dengan kritis atau bahkan dihapus sama sekali jika kita benar-benar ingin mewujudkan keadilan pajak.

Ambang batas pajak sebesar Rp4,8 miliar untuk UMKM, misalnya, justru lebih banyak dinikmati oleh pengusaha kelas menengah-besar untuk transfer pricing. Menurunkan ambang ini menjadi sekitar Rp600 juta bisa membuka celah bagi perusahaan besar yang kerap memecah usaha mereka guna menghindari pajak.

Karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi beberapa kebijakan perpajakan termasuk insentif-insentif yang lebih banyak menguntungkan para konglomerat, seperti:

1. Fasilitas pajak untuk perusahaan modal ventura

Insentif ini dirancang untuk mendorong investasi, tetapi sering kali hanya menguntungkan perusahaan modal ventura besar.

2. Pembebasan pajak penghasilan (PPh) atas dividen

Dividen yang diterima wajib pajak dalam negeri (WPDN) dibebaskan dari pajak untuk memacu reinvestasi domestik. Namun, keuntungan ini cenderung hanya dirasakan oleh pemilik modal besar.

3. Pemupukan dana cadangan

Sektor tambang diperbolehkan membentuk dana cadangan untuk reklamasi lahan. Namun kenyataannya, banyak lahan tambang yang masih menganga, dengan luas mencapai 87.307 hektar, termasuk 23.551 hektar di kawasan hutan tanpa izin.

4. PPh ditanggung pemerintah (DTP)

Fasilitas ini mencakup penghasilan dari surat berharga negara di pasar internasional dan penghasilan jasa pihak ketiga, yang lebih sering dinikmati oleh kalangan atas.

5. PPh DTP untuk energi panas bumi

Keringanan pajak bagi sektor energi panas bumi yang secara pendekatan energi terbarukan masih menimbulkan masalah.

6. Penghapusan Bea Masuk dan Cukai untuk Kawasan Ekonomi Khusus

Barang-barang yang diimpor ke kawasan ini dibebaskan dari bea masuk, memberikan keuntungan signifikan bagi perusahaan besar.

7. Pembebasan Bea Masuk untuk Barang Berdasarkan Kontrak

Termasuk barang yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi minyak, gas, dan tambang, yang secara tidak langsung memperkaya perusahaan ekstraktif besar dan menimbulkan dampak negatif pada lingkungan.

Meninjau ulang kebijakan-kebijakan ini adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa insentif pajak yang ada tidak hanya memperkaya segelintir konglomerat, tetapi juga menciptakan manfaat yang lebih adil dan berkelanjutan bagi masyarakat luas.

Upaya mewujudkan keadilan ekonomi

Tulisan ini merekomendasikan lima langkah praktis yang dapat diambil untuk menciptakan sistem ekonomi dan perpajakan yang lebih adil. Pertama, hentikan celah penghindaran pajak dan batasi program pengampunan pajak yang terlalu menguntungkan para miliarder dan korporasi besar.

Kedua, dorong transparansi penuh dalam laporan pajak perusahaan multinasional. Ketiga, buka tabir kepemilikan sebenarnya (beneficial ownership) dari semua perusahaan dan yayasan untuk menuju registrasi aset global. Keempat, perkuat kerja sama internasional dalam pengawasan dan pengungkapan pajak lintas negara.

Dan terakhir, kurangi monopoli kepemilikan saham perusahaan besar oleh segelintir orang dengan mendorong model koperasi, memberi peran lebih bagi karyawan dalam manajemen, mengalokasikan sebagian saham untuk tujuan sosial dan lingkungan, serta mendorong perusahaan menuju struktur kepemilikan yang lebih demokratis atau berbagi (coopetition). Saat ini reformasi kebijakan perpajakan menjadi sangat mendesak.

Pajak kekayaan adalah salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk mengurangi ketimpangan yang ada. Menerapkan pajak kekayaan sebesar 2% pada 50 orang super kaya di Indonesia diproyeksi menghasilkan penerimaan negara Rp81,6 triliun.

Anggaran ini akan signifikan dalam urun rembug pembangunan berkualitas terutama dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan. Angka tersebut bisa membiayai program perumahan, pembagian lahan untuk petani gurem, mengurangi masalah pengangguran, menggaji guru honorer, memberi beasiswa mahasiswa tidak mampu, hingga pembangunan energi terbarukan.

Pada akhirnya, ketimpangan ekonomi yang semakin tajam di Indonesia mencerminkan ketidakadilan dalam sistem pajak yang ada. Hal ini tidak hanya mempertontonkan "Pesawat Jet untuk Si Kaya dan Sepeda untuk Si Miskin" tetapi juga "Insentif Pajak untuk Si Kaya dan Beban Pajak untuk Si Miskin".The Conversation

Jaya Darmawan, Peneliti ekonomi, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.