Penyadapan, Penggeledahan, dan Penyitaan Tak Perlu Izin Dewan Pengawas
SIDANG MAHKAMAH KONSTITUSI I Ketua Majelis Hakim MK, Anwar Usman (tengah) beserta Hakim Konstitusi Aswanto (kiri), dan Enny Nurbaningsih (kanan) bersiap membacakan putusan perkara di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/5). MK mengabulkan Uji Materi UU KPK yang diajukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Fathul Wahid.
Foto: ANTARA/GALIH PRADIPTAJAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian dari gugatan uji materiel terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), di perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019, yang digugat oleh Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Abdul Jamil, dkk.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan, dalam sidang yang disiarkan secara virtual, Selasa (4/5).
Fathul menggugat Pasal 12B, 37 B Ayat 1 huruf B, dan Pasal 47 Ayat 2 UU KPK, yang mengatur tentang penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK adalah juga merupakan bagian dari tindakan pro justitia.
"Maka izin dari Dewan Pengawas yang bukan merupakan unsur penegak hukum menjadi tidak tepat," ujar Hakim MK, Enny Nurbaningsih, saat membacakan pertimbangan Mahkamah.
Atas dasar itu, Mahkamah menyatakan frase di Pasal 47 Ayat 1 yang berbunyi "atas izin tertulis dari Dewan Pengawas", akan dimaknai menjadi "dengan memberitahukan Dewan Pengawas."
Dalam penjelasannya, Mahkamah mengatakan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang hanya diwajibkan memberitahukan tindakan mereka kepada Dewan Pengawas atau Dewas KPK paling lambat 14 hari kerja, sejak penyadapan dilakukan.
"Sedang penggeladahan dan penyitaan diberitahukan kepada Dewan Pengawas 14 hari kerja sejak selesainya dilakukan penggeledahan/penyitaan," kata Mahkamah.
Sementara itu, di persidangan berikutnya, MK menolak uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diajukan oleh 14 orang, tiga di antaranya adalah Komisioner KPK periode 2015-2019 yaitu, Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang.
"Menolak pokok permohonan untuk seluruhnya," kata Hakim Anwar Usman saat membacakan putusan pada Selasa, 4 Mei 2021.
Dalam gugatannya, Agus Rahardjo Cs melihat penyusunan revisi UU KPK tidak memenuhi rambu-rambu prosedural formil pembentukan undang-undang. Salah satunya adalah penyusunan ini tidak sesuai dengan UU tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan.
Selain itu, penggugat melihat penyusunan aturan ini cacat prosedural karena tidak melalui proses perencanaan dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Selain itu tidak mengedepankan aspek partisipasi publik.
Dalam membacakan putusannya, Hakim MK menyebut DPR sudah melibatkan masyarakat dalam bentuk diskusi soal revisi UU KPK. Diskusi-diskusi ini kebanyakan digelar pada 2017. Selain itu, Hakim MK menyebut UU KPK juga sudah masuk prolegnas.
"Disenting Opinion"
Namun, Hakim MK, Wahiduddin Abas, mengajukan disenting opinion. Dalam pendapatnya, Wahiduddin melihat pembahasan UU KPK ini relatif singkat. Selain itu, ada ketidaksinkronan naskah akademik.
Wahiduddin menyatakan beberapa perubahan ketentuan mengenai KPK dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.
"Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat serta dilakukan pada momentum yang spesifik," kata Wahiduddin membacakan pandangannya.
Wahiduddin mengatakan momentum spesifik itu yakni di masa hasil Pilpres dan Pileg 2019 telah diketahui dan mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Revisi UU KPK lantas disahkan Presiden menjadi UU beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti anggota DPR periode 2014-2019 dan beberapa pekan menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden pada periode pertama.
Wahiduddin mengatakan pembentukan UU yang dilakukan dalam jangka waktu relatif sangat singkat dan pada momentum spesifik yang mengundang pertanyaan besar memang tak secara langsung menyebabkan UU itu inkonstitusional. Namun, ia mengatakan singkatnya pembentukan UU KPK ini jelas berpengaruh signifikan terhadap sangat minimnya partisipasi masyarakat dan berbagai supporting system yang ada di sisi Presiden maupun DPR. n ags/Ant/P-4
Berita Trending
- 1 Hasil Survei SMRC Tunjukkan Elektabilitas Pramono-Rano Karno Melejit dan Sudah Menyalip RK-Suswono
- 2 Cagub DKI Pramono Targetkan Raih Suara di Atas 50 Persen di Jaksel saat Pilkada
- 3 Panglima TNI Perintahkan Prajurit Berantas Judi “Online”
- 4 Tim Pemenangan Cagub dan Cawagub RIDO Akui Ada Persaingan Ketat di Jakut dan Jakbar
- 5 Pemkab Bekasi Diminta Gunakan Potensi Daerah
Berita Terkini
- Pertamina Perkuat Kolaborasi Nasional dan Internasional Turunkan Emisi Metana di Indonesia
- PLN Rombak Susunan Komisaris dan Direksi, Darmawan Prasodjo Tetap Jabat Direktur Utama
- Resmi Ditutup, Pertamina Goes To Campus Kampanyekan Isu Ketahanan Energi pada Mahasiswa Universitas Mulawarman
- Giffari Naufal Arisma Putra Transformasi Perusahaannya ke Perusahaan Holding
- Desa Energi Berdikari Tampil di COP 29, Pertamina Komit Jaga Kelestarian Lingkungan di Masyarakat