Penting Merevitalisasi Manufaktur guna Atasi Kesenjangan Struktural
International Monetary Fund (IMF) / Dana Moneter Internasional
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan Article IV Consultation tahun 2024 yang dirilis Rabu (7/8) mengapresiasi otoritas Indonesia atas catatan positif mengenai langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh, terutama yang terkait dengan disiplin fiskal, penurunan inflasi sesuai dengan kisaran target yang telah ditetapkan dan kebijakan moneter yang memperhatikan perkembangan data (data dependent), serta upaya pendalaman pasar dan upaya penguatan efektivitas transmisi kebijakan moneter.
Dalam laporannya, IMF memproyeksikan kinerja ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh masing-masing 5 dan 5,1 persen pada tahun 2024 dan 2025, di tengah beberapa risiko yang perlu diwaspadai, seperti volatilitas harga komoditas, perlambatan pertumbuhan negara mitra dagang utama, dan spillover akibat kondisi suku bunga tinggi untuk waktu yang lama (high for longer) di pasar keuangan global.
Dalam salah satu rekomendasinya, IMF menilai pentingnya menjembatani kesenjangan struktural untuk mencapai potensi pertumbuhan yang lebih tinggi dan inklusif.
Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomi (FBE) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan salah satu rekomendasi IMF yang sangat relevan bagi kondisi Indonesia di tengah tingginya utang pemerintah dan swasta adalah perlunya mempertahankan kehati-hatian dalam kebijakan fiskal dan melanjutkan reformasi untuk melindungi ketahanan sektor keuangan.
"Namun, dari sudut pandang saya, isu utama yang harus ditangani adalah deindustrialisasi yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade," kata Aloysius.
Deindustrialisasi di Indonesia dapat dilihat dari penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada awal 2000-an, sektor manufaktur menyumbang sekitar 29 persen dari PDB, namun angka ini terus menurun hingga mencapai sekitar 19 persen pada 2020.
Penurunan itu juga menunjukkan adanya pergeseran struktur ekonomi dari manufaktur ke sektor jasa dan komoditas, yang sering kali tidak memberikan nilai tambah sebesar sektor manufaktur.
Menurut Aloysius, dengan jumlah penduduk yang besar, sulit bagi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tanpa adanya industrialisasi yang kuat. Industrialisasi berbasis teknologi dan tenaga kerja yang terampil sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing global.
Dari sisi manufaktur perlu mengedepankan efisiensi, bila perlu meremajakan teknologi disertai dukungan tenaga kerja yang lebih produktif.
"Hasil dari pendidikan vokasi yang marak beberapa tahun terakhir kiranya dapat diaktualisasikan, sekaligus untuk membuktikan apakah format pendidikan vokasi sesuai dengan kebutuhan," jelas Aloysius.
Sementara dari sisi konsumen, khususnya dalam negeri, daya beli harus dipulihkan. Dalam hal ini, sebaiknya jangan sampai menaikkan pajak yang membebani masyarakat. Implikasinya tentu terkena ke kapasitas fiskal sehingga peningkatan optimalisasi penggunaan anggaran pemerintah juga menjadi urgen.
"IMF memang memberikan apresiasi terhadap stance kebijakan moneter Indonesia dan menyarankan untuk melanjutkan reformasi keuangan. Namun, saya percaya bahwa upaya untuk menjembatani kesenjangan struktural harus difokuskan pada revitalisasi sektor manufaktur dengan teknologi canggih dan tenaga kerja terampil, serta memastikan bahwa daya beli konsumen tetap terjaga," papar Aloysius.
Tidak Capai Target
Dalam kesempatan lain, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengatakan pertumbuhan ekonomi triwulan II-2024 sebenarnya menggambarkan terjadinya perlambatan ekonomi, karena hanya tumbuh 5,05 persen (year on year/yoy), lebih rendah dari capaian triwulan I-2024 yang tumbuh 5,11 persen (yoy).
Padahal, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2024 sebesar 5,2 persen (yoy). Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi sepanjang semester I-2024 sebesar 5,08 persen (ctc) masih berada di bawah target asumsi makro anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2024," jelas Esther.
Pertumbuhan ekonomi yang melambat tersebut, papar Esther, terjadi di saat berbagai momentum peningkatan konsumsi rumah tangga umumnya terjadi, terutama momentum terkait beberapa hari raya keagamaan.
"Sayangnya, peningkatan permintaan saat hari raya keagamaan datang tidak cukup akseleratif seperti di tahun-tahun sebelumnya," katanya.
Laju konsumsi rumah tangga masih berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi triwulan II. Hal itu semakin menandakan bahwa daya beli masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Ia pun memperkirakan perlambatan ekonomi akan berlanjut di triwulan III-2024 dengan proyeksi pertumbuhan 4,8 persen (yoy).
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Cagub Khofifah Pamerkan Capaian Pemprov Jatim di Era Kepemimpinannya
- 2 Ini Klasemen Liga Inggris: Nottingham Forest Tembus Tiga Besar
- 3 Cawagub Ilham Habibie Yakin dengan Kekuatan Jaringannya di Pilgub Jabar 2024
- 4 Cagub Luluk Soroti Tingginya Pengangguran dari Lulusan SMK di Jatim
- 5 Cagub Risma Janji Beri Subsidi PNBP bagi Nelayan dalam Debat Pilgub Jatim
Berita Terkini
- Tindak Tegas, Polda Sumut Sita 55,95 Kg Sabu-sabu
- Arah Pembangunan Pusat dan Daerah Harus Selaras
- Jaga Wibawa Institusi, Pimpinan Harus Buka Borok Birokrat yang Korup
- Harris-Trump Terus Kampanye saat 75 Juta Warga Telah Mencoblos
- Dokter Spesialis Ini Ingatkan Aktivitas dan Latihan Fisik Rutin Bisa Kurangi Risiko Stroke