Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
gagasan

Pengukuran Kemiskinan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Kemiskinan masih menjadi permasalahan di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Maka tidak mengherankan jika dalam tujuan agenda pertama pembangunan berkelanjutan (SDG's), seluruh negara berkomitmen menghapus kemiskinan dan kelaparan pada 2030. Menarik menyimak tulisan R Wulandari dalam kolom gagasan Koran Jakarta pada Jumat (6/10/2017) berjudul "Mencermati Kemiskinan Versi BPS".

Melambatnya penurunan indikator kemiskinan menjadi sebuah permasalahan tersendiri. Demikian pula dengan harapan yang diungkapkan, perlu program serta aksi yang lebih mengena dengan memperhatikan faktor-faktor yang berkontribusi pada kemiskinan hingga dimensi karakteristik si miskin. Dengan demikian, program pemerintah yang agresif untuk mengentaskan kemiskinan hasilnya sesuai dengan harapan.

Namun, ada yang perlu diluruskan dalam memahami pengukuran kemiskinan dalam gagasan tersebut. Terminologi kemiskinan sangat multidimensional dan ada banyak pandangan ahli. Amartya Sen (1983), misalnya, mengacu pada kapabilitas individu yang memiliki sumber daya memadai untuk menjalankan hidupnya. Artkinson dan Bourguinon (1999) melihat kemiskinan dari ketidakmampuan untuk mengakses sumber daya ekonomi.

Masih banyak lagi, namun pada umumnya kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak paling dasar mengembangkan kehidupan bermartabat sebagaimana didefinisikan Gupta (1973), Bank Dunia (1984), maupun Ravallion (1998). Definisi ini pun sangat kompleks dan luas maknanya, serta banyak menimbulkan perdebatan panjang. Tentu tidak mudah mengukurnya, sehingga diperlukan kesepahaman pengukuran yang dipakai.

Ada satu metode yang direkomendasikan PBB serta banyak digunakan berbagai Negara. Mereka menetapkan ukuran berupa batas atau garis yang menggambarkan kebutuhan dasar tersebut (basic needs approach). Batas inilah yang kemudian disebut garis kemiskinan. Dalam praktiknya, garis kemiskinan terbagi menjadi garis kemiskinan makanan dan nonmakanan. Sebagaimana rekomendasi FAO dan WHO, pengukuran garis kemiskinan menggunakan matra 2.100 kilokalori untuk makanan, serta beberapa komoditas nonmakanan.

Tercatat 50 persen dari 84 negara menggunakan batasan ini, setidaknya menurut United Nation Statistics Divisions (Hasbullah, 2013), walaupun terdapat sedikit perbedaan dalam standar kalori yang digunakan. Misalnya, India (2.400 kilokalori untuk perdesaan dan 2.100 kilokalori untuk perkotaan). Kemudian Tiongkok (2.100), Banglades (2.122), Filipina (2.000) atau Vietnam yang menggunakan 2.100 kilokalori (Asra dan Fransisco, 2001).

Pengukuran kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar inilah yang digunakan BPS sejak tahun 1984. Hasilnya, mencakup kemiskinan selama 1976-1981 menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Hingga sekarang pengukuran ini masih digunakan (lebih dari 300 komoditas pertanyaan), tentu dengan nilai rupiah (moneter) garis kemiskinan yang semakin meningkat. Data terakhir, Maret 2017, garis kemiskinan nasional sebesar 374.478 per orang tiap bulan.

Artinya jika dalam satu rumah tangga terdiri dari 4 orang, dikatakan miskin jika pendapatan (pendekatan pengeluaran) sebulan kurang 1,5 juta rupiah (4 kali garis kemiskinan). Batasan ini juga berbeda tiap wi layah. Contoh, di Jawa Tengah sebesar 333.224. Sedangkan Bangka Belitung mencapai 587.530 per orang tiap bulan.

Makro

Pengukuran kemiskinan menggunakan data Susenas mampu mengidentifikasi dimensi serta karakteristik si miskin secara makro (kewilayahan). Sebut saja pada Maret 2016, sekitar 50,8 persen bekerja di sektor pertanian sebagai petani gurem, nelayan, buruh tani dan perkebunan.

Sisanya sebesar 5,3 bekerja di sektor industri kecil dengan upah rendah. Kemudian, 14,6 persen tidak bekerja, dan 29 persen lainnya bekerja di sektor informal. Dari sisi pendidikan, sekitar 80,8 persen kepala rumah tangga rendah (maksimal tamat SD) dengan jumlah anggota rumah tangga mencapai 5 orang. Menjadi lebih menarik ketika mengikuti kolom perspektif Koran Jakarta pada hari yang sama, Jumat (6/10/2017), berjudul "Saatnya Fokus pada Pertanian."

Dengan melihat karakteristik dan dimensi si miskin, penguatan sektor pertanian di satu sisi akan meningkatkan kedaulatan pangan sekaligus mengangkat kesejahteraan kelompok yang dominan dalam kemiskinan, yakni petani gurem. Belum lagi jika dikaitkan dengan perkembangan upah buruh tani riil (mempertimbangkan nilai inflasi) selama September 2016 hingga Maret 2017 yang stagnan (naik 0,16 persen). Kembali pada pengukuran kemiskinan yang diulas R Wulandari, kriteria yang dimaksud merupakan pengukuran nonmoneter pada Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) tahun 2005 atau dikenal dengan kemiskinan mikro.

Dasar pengukuran ini diperlukan untuk program yang menarget langsung individu miskin dan rentan miskin (by name by address). Basis data ini selanjutnya dimutakhirkan pada tahun 2008, 2011, dan terakhir 2015 yang dikoordinasikan TNP2K. Ini lembaga yang dibentuk sebagai wadah koordinasi lintas sektor untuk menyelaraskan kebijakan percepatan penanggulangan kemiskinan. Perbaikan metodenya terus dilakukan. Lihat saja pada tahun 2015 diterapkan Forum Konsultasi Publik (FKP) serta penambahan karakteristik individu dan informasi pada akses terhadap kebutuhan dasar.

Terakhir, penanggulangan kemiskinan yang mengacu karakteristik dan dimensi si miskin menjadi tantangan menarik. Ini diharapkan mampu melanjutkan tren penurunan kemiskinan lebih cepat. Pengentasan kemiskinan tentu tidak bisa cepat. Perlu aksi konsisten, peran APBD, pembangunan infrastruktur yang merata. Kemudian dengan dana desa bukan tidak mungkin tujuan pertama SDG's akan tercapai lewat ukuran dan tahapan yang jelas.Oleh Wiji Nogroho

Penulis Bekerja di BPS Kabupaten Semarang

Komentar

Komentar
()

Top