Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 01 Mar 2025, 00:00 WIB

Penguatan Kewenangan Jaksa bukan Pemberian Kekuasaan Berlebihan

Ketua Komisi Kejaksaan RI, Prof. Dr. Pujiyono Suwadi, SH, MH

Foto: koran jakarta/Henri Pelupessy

Beberapa kesalahpahaman terkait revisi UU Kejaksaan perlu diluruskan. Salah satunya adalah kekhawatiran bahwa penguatan kewenangan jaksa akan membawa risiko penyalahgunaan, terutama dalam hal kewenangan membawa senjata dan kewajiban untuk mendapatkan izin dari Jaksa Agung. Ketua Komisi Kejaksaan RI, Pujiyono menegaskan bahwa hal tersebut sebenarnya sudah diatur sejak lama dalam UU Kejaksaan dan tidak ada yang baru dalam revisi tersebut.

Terkait penguatan kejaksaan, pihaknya menilai bahwa revisi ini lebih kepada penyesuaian tugas dan kewenangan kejaksaan, bukan pemberian kekuasaan berlebihan. Kejaksaan juga terus berkomitmen untuk memberantas korupsi, dengan menekankan pentingnya penyitaan aset untuk memastikan kerugian negara dapat dikembalikan, sambil tetap memperhatikan hak-hak korban dalam proses peradilan.

Tak kalah penting, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu dalam lima tahun terakhir Kejaksaan RI telah menunjukkan prestasi signifikan dalam pemberantasan korupsi. Seperti pengungkapkan kasus korupsi besar PT Timah, Crazy Rich Surabaya vs PT Antam, PT Asuransi Jiwasraya, Bakti Kominfo, hingga impor gula.

Keberhasilan Kejaksaan mengungkap berbagai kasus besar, seperti mengungkap korupsi besar PT Timah, Crazy Rich Surabaya vs PT Antam, PT Asuransi Jiwasraya sebesar 16,81 triliun rupiah, Bakti Kominfo, impor gula, dan baru- baru ini kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina yang mencapai193,7 triliun rupiah, mencerminkan perubahan yang nyata dalam penguatan penegakan hukum. Langkah-langkah tersebut bukan hanya berfokus pada hukuman bagi para pelaku korupsi, tetapi juga memastikan pengembalian aset negara yang telah dicuri, yang memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Prestasi ini patut diapresiasi sebagai bukti komitmen Kejaksaan dalam menegakkan keadilan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Untuk mengetahui lebih lanjut, reporter Koran Jakarta, Henri Pelupessy, mewawancarai Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Prof. Dr. Pujiyono Suwadi, SH, MH di ruang kerjanya beberapa waktu lalu. Berikut petikannya.

Bagaimana pendapat Anda terkait beberapa hal dalam revisi UU Kejaksaan? Baru-baru ini, ada komentar dari beberapa pakar hukum dan tokoh masyarakat yang mengkhawatirkan bahwa revisi UU Kejaksaan berbahaya?

Kekhawatiran tersebut menurut saya berlebihan dan tidak sepenuhnya memahami isi revisi. revisi Undang-undang (UU) tentang Kejaksaan tidak akan membuat jaksa kebal hukum atau abuse of power, apalagi mengambil peran penyidik kepolisian. Ada dua kekhawatiran atas perubahan dua RUU tersebut, yakni aksa dianggap dapat mengambil peran penyidik dan dituduh punya hak imunitas. Dia menekankan dalam revisi itu tidak ada pasal yang mengatur mengenai pengambilalihan peran penyidik kepolisian oleh Kejaksaan dalam UU Kejaksaan. Adapun revisi ini mendorong ditingkatkannya koordinasi dan supervisi dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagai bagian dari Integrated Criminal Justice System (ICJS).

Demikian juga, jaksa sudah memiliki kewenangan untuk membawa senjata sejak Undang-Undang Kejaksaan 2004, bahkan pada revisi 2021. Prosedur untuk membawa senjata sudah diatur dengan jelas, termasuk kewajiban mengikuti pelatihan khusus. Jadi, ini bukan hal baru, dan tidak bergantung pada revisi RUU Kejaksaan yang baru. Jaksa pada level tertentu memang sudah memiliki kewenangan tersebut. Ini sudah diatur sejak 2004 dan di revisi 2021, dan juga mengharuskan jaksa untuk mengikuti pelatihan sebelum diperbolehkan membawa senjata.

1740758315_a14cfc988dbbd52f6e47.jpg

koran jakarta/Henri Pelupessy

Beberapa pihak juga khawatir bahwa jaksa harus meminta izin Jaksa Agung untuk menjalankan tugasnya. Apakah hal ini benar? Dan apa yang Anda tanggapi terkait pernyataan tersebut?

Pernyataan itu adalah kesalahpahaman. Hal ini sudah diatur sejak Undang-Undang Kejaksaan yang lama, tepatnya di Pasal 8 ayat 5. Jadi, pasal ini [Pasal 8 UU No 1/2021] memberikan perlindungan dalam menjalankan tugas. Tidak di luar itu. Sama halnya dengan UU Kehakiman yang justru lebih klir dalam perlindungan pada hakim. Sehingga, ini bukan soal izin untuk menjalankan tugas, tetapi lebih pada perlindungan terhadap aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Jadi, jaksa tidak perlu izin terlebih dahulu dari Jaksa Agung untuk melaksanakan tugas mereka. Pasal 8 ayat 5 mengatur prinsip perlindungan terhadap aparat penegak hukum, dalam hal ini jaksa, ketika menjalankan tugasnya. Undang-undang ini melindungi jaksa agar tidak disalahkan atau dikriminalisasi selama mereka menjalankan tugas sesuai dengan prosedur yang ada. Ini bukan berarti jaksa bebas dari hukum, tetapi justru memberi perlindungan agar tidak salah dipahami atau diadili karena pelaksanaan tugas mereka.

Tidak ada perubahan mengenai kata 'Izin Jaksa Agung' dalam ayat 4 UU No 16 /2004 dan ayat 5 UU No 11/2021. Yang diributkan yakni dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung. Itu ada sejak UU sebelumnya.

Ada pendapat bahwa beberapa pakar hukum yang mengeluarkan komentar tersebut mungkin belum memahami dengan teliti isi Undang-Undang Kejaksaan. Apa pendapat Anda tentang hal ini?

Saya setuju dengan hal tersebut. Banyak dari komentar yang muncul sebenarnya berasal dari pemahaman yang belum mendalam mengenai UU Kejaksaan yang ada. Padahal, undang-undang ini sudah mengatur dengan jelas prinsip-prinsip seperti hierarki yang berlaku dalam sistem peradilan. Dalam hal ini, asas hierarki melindungi jaksa agar tidak dikriminalisasi atau disalahkan saat menjalankan tugas mereka.

Sejauh ini, apakah jaksa memiliki imunitas hukum atau kebal dari hukum?

Tidak, jaksa tidak memiliki imunitas atau kebal hukum. Revisi Undang-undang (UU) tentang Kejaksaan tidak akan membuat jaksa kebal hukum atau abuse of power. Buktinya kemarin-kemarin jaksa yang melakukan kesalahan atau tindak pidana tetap bisa dihukum atau bisa dipenjara. Ada Kajari Bondowoso hingga kasus Jaksa Urip. Semua diproses kan? Tidak ada yang kebal hukum.

Mereka tetap bisa diproses jika bertindak sewenang-wenang atau melanggar hukum. Misalnya, jika jaksa menyita barang bukti dan ada laporan bahwa penyitaan tersebut melanggar hukum, maka jaksa bisa diproses. Namun, dalam pelaksanaan tugas mereka, asas sas hierarki ini berkaitan dengan asas forum vigilatum,akan melindungi jaksa jika mereka bertindak sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Terkait dengan penguatan kejaksaan, beberapa pihak merasa bahwa Kejaksaan mendapatkan kekuatan yang terlalu besar. Apakah Anda setuju dengan pendapat ini?

Menurut saya, penguatan yang dimaksud itu tidak berdasar. Kejaksaan sudah memiliki sistem yang jelas dan aturan yang mengatur tugas serta kewenangannya. Revisi ini bukan untuk memberikan penguatan yang signifikan, melainkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan tugas dan kewenangan yang ada.

Dalam konteks sistem peradilan pidana, Anda mengusulkan pembaruan regulasi, khususnya terkait koordinasi antara polisi dan jaksa. Apa masalah utama yang Anda lihat selama ini, terutama dengan adanya P19?

P19 sering kali menjadi masalah karena kasus yang tidak ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur, sehingga hak korban tidak terpenuhi. Kasus bisa menghilang begitu saja karena tidak ada tindak lanjut yang jelas, dan ini menambah beban pada sistem peradilan kita.

Bagaimana Anda menyarankan agar P19 ini bisa lebih efisien dan memberikan kepastian hukum?

Saya menyarankan agar P19 diberikan batas waktu yang jelas, misalnya 6 bulan. Jika dalam waktu tersebut tidak ada perkembangan atau bukti baru, maka kasus tersebut bisa dihentikan dengan SP3. Namun, jika ada bukti baru, jaksa bisa melanjutkan penyidikan dan memastikan bahwa kasus tersebut dapat diproses di pengadilan.

Apakah penting bagi jaksa untuk memiliki kewenangan melakukan penyidikan lanjutan, jika penyidik tidak memberikan kasus yang lengkap?

Sangat penting. Jaksa harus memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan lanjutan agar hak-hak korban tidak terabaikan. Dengan adanya kewenangan ini, kita bisa memastikan bahwa keadilan dapat ditegakkan dengan lebih baik dan kasus yang belum lengkap bisa diproses lebih lanjut.

Dalam lima tahun terakhir, Kejaksaan telah menunjukkan keberanian dalam mengungkap kasus besar, seperti PT Asuransi Jiwasraya dan kasus pengoplosan BBM jenis Pertamax oleh Pertamina. Apa yang menurut Anda telah dicapai oleh Kejaksaan dalam hal ini?

Kejaksaan telah menunjukkan keberanian dan perubahan signifikan dalam penanganan kasus-kasus besar. Dalam beberapa tahun terakhir, Kejaksaan berhasil mengungkapkan berbagai kasus besar dan melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi. Hal ini menunjukkan komitmen Kejaksaan dalam memberantas korupsi.

Apa langkah yang diambil oleh Kejaksaan untuk memastikan kerugian negara dapat dikembalikan melalui penyitaan aset?

Keberhasilan Kejaksaan dalam menyita aset-aset yang diperoleh secara ilegal sangat berarti, karena ini memiliki efek jera bagi pelaku korupsi. Pelaku tidak hanya dihukum, tetapi juga kehilangan aset-aset yang mereka peroleh dengan cara yang tidak sah. Ini adalah langkah besar dalam pemberantasan korupsi.

Apa harapan Anda terhadap Kejaksaan di masa depan, khususnya dalam pemberantasan korupsi dan perbaikan sistem peradilan?

Saya sangat mengapresiasi langkah-langkah yang sudah diambil Kejaksaan dalam memberantas korupsi. Harapan saya adalah Kejaksaan terus melanjutkan langkah-langkah ini untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih baik dan berkeadilan. Kita harus memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan adil dan transparan.

Apakah ada pesan yang ingin Anda sampaikan kepada masyarakat terkait dengan revisi RUU Kejaksaan dan langkah-langkah yang sudah diambil oleh Kejaksaan?

Pesan saya adalah mari kita tidak terburu-buru mengambil kesimpulan berdasarkan ketakutan yang berlebihan. Revisi UU Kejaksaan ini sebenarnya bertujuan untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan tugas dan kewenangan kejaksaan. Kejaksaan telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi dan menjaga keadilan, dan saya berharap hal ini terus berlanjut demi kemajuan sistem peradilan di Indonesia.

1740758304_205761a2b3c6ce8207b4.jpg

Redaktur: Sriyono

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.