Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pengelolaan Makro Ekonomi

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Dr Fahruddin Salim

Pemerintah telah mengajukan RAPBN 2018 dan sedang dalam pembahasan DPR. RAPBN 2018 diajukan dengan asumsi makro ekonomi pertumbuhan sebesar 5,4 persen,inflasi 3,5 persen, dan nilai tukar 13.500. Tingkat bunga SPN 3 bulan 5,3 persen, Harga minyak internasional 48 dollar AS per barel, lifting minyak 800 ribu barel per hari, dan lifting gas 1,2 juta barel setara minyak.

Kondisi makro ekonomi hingga kuartal kedua 2017 masih menunjukkan perkembangan positif. Dalam beberapa bulan ke depan diperkirakan kondisi makro ekonomi semakin membaik. Optimisme ini di antaranya yang mendorong pemerintah mengajukan asumsi dalam RAPBN 2018 lebih optimistis.

Dari sisi pertumbuhan ekonomi, pencapaian dalam kisaran 5 persen memang tidak terlalu jelek. Ini terutama karena tantangan eksternal belum sepenuhnya pulih, sehingga dorongan ekspor masih terhambat. Pertumbuhan ekonomi tinggi, memang sangat diharapkan untuk memenuhi upaya menyejahterakan rakyat, di tengah tekanan konsumsi rumah tangga dalam beberapa bulan ini. Laporan BPS menunjukkan, dalam triwulan kedua, angka kemiskinan malah naik.

Kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik, pemotongan beberapa subsidi, kenaikan sejumlah restribusi atau pajak, telah memangkas daya beli masyarakat. Beban ini juga dibarengi dengan perkembangan indeks nilai tukar petani yang cenderung stagnan. Hal ini menyebabkan penurunan kemiskinan cenderung melambat.

Sementara itu, keberhasilan dalam menjaga inflasi juga belum memberi efek nyata terhadap penguatan nilai tukar rupiah, penurunan kemiskinan, penguatan daya beli dan penurunan tingkat suku bunga. Secara teoritis, penurunan laju inflasi seharusnya mendorong penguatan daya beli rumah tangga, termasuk menahan laju kemiskinan. Sejumlah penelitian di berbagai negara seperti Cutler&Katz (1991), Powers (1995a), dan Powers (1995b) menunjukkan adanya pengaruh signifikan dan positif dari inflasi terhadap kemiskinan.

Inflasi dalam dua tahun ini cenderung menurun. Namun, anehnya konsumsi rumah tangga malah menurun dan penurunan kemiskinan melambat. Penurunan konsumsi ini berkontribusi terhadap melemahnya sektor riil dan dunia usaha, sehingga berdampak terhadap penurunan kesempatan kerja.

Untuk menjelaskan kecenderungan ini, bisa dilihat dari sisi alokasi anggaran. Meskipun alokasi untuk penanggulangan kemiskinan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Namun, secara proporsional terhadap PDB anggaran program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial jauh lebih kecil. Inilah yang menyebabkan kesenjangan makin melebar.

Di sisi lain, penurunan inflasi direspons secara lambat sektor keuangan perbankan dalam penurunan suku bunga pinjaman perbankan, sehingga intermediasi sektor riil melambat. Ini membuat sektor riil tidak berkembang. Akibatnya, ekonomi sektor riil lesu, melemahkan investasi, dan mengurangi kesempatan kerja, bahkan banyak terjadi PHK.

Tak Terpengaruh

Kelompok masyarakat yang tidak terpengaruh penurunan daya beli adalah menengah atas. Kelompok ini meskipun jumlahnya sedikit, mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan konsumsi. Pertumbuhan konsumsi berkontribusi sekiar 60 persen terhadap PDB.

Persoalannya, sejauh mana membaiknya indikator makro ekonomi mampu memberi efek positif terhadap pergerakan ekonomi sektor riil. Ini terutama dalam kontribusi pengurangan kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan penguatan daya beli rumah tangga.

Untuk mengefektifkan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pengentasan kemiskinan, kesenjangan ekonomi dan penguatan daya beli rumah tangga, tidak cukup hanya mengandalkan stabilitas makro ekonomi. Kebijakan fiskal juga harus diarahkan pada pencapaian fungsi anggaran dalam mewujudkan stabilisasi, alokasi, dan distribusi secara efektif.

Dari sisi alokasi anggaran, belanja negara yang nilainya terus naik setiap tahun harus membawa kabar gembira bagi rakyat dan benar-benar mampu menurunkan kemiskinan serta ketimpangan ekonomi. Tentu saja ini menuntut kepiawaian pemerintah mengelola anggaran.

Ini terutama pada pengelolaan anggaran infrastruktur dan keuangan daerah. Ini termasuk anggaran dana desa yang memiliki peran penting dalam mendorong penguatan ekonomi rakyat dan daerah. Anggaran infrastruktur harus didesain untuk mampu membangun infrastruktur yang mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi inklusif.

Alokasi infrastruktur harus bisa dinikmati masyarakat luas secara merata dan membuka peluang rakyat untuk berkembang dan menstimulasi konsumsi rumah tangga. Disadari bahwa benefit pertumbuhan tidak selalu mengalir ke semua arah, tetapi sebagian besar mengalir ke atas.

Hal ini terbukti dari pertumbuhan ekonomi yang naik setiap tahun, namun kemiskinan tidak banyak berkurang dan kesenjangan juga tetap lebar. Pemerintah tidak bisa mengandalkan mekanisme trickle down effect (efek menetes ke bawah) dalam mengentaskan kemiskinan.

Sementara itu, program-program yang mendorong pengentasan kemiskinan dalam RAPBN 2018 haruslah lebih produktif. Mekanisme subsidi untuk melindungi rakyat miskin masih diperlukan. Di tengah tekanan anggaran, pengurangan subsidi energi lebih diarahkan pada upaya mempercepat kesejahteraan melalui alokasi anggaran untuk rakyat miskin.

Penulis Dosen Pascasarjana Universitas Pancasila Jakarta

Komentar

Komentar
()

Top