
Pengamat: 47 Pasal Perubahan di RUU Polri Bisa Membuat Polisi Sangat Berkuasa, RUU TNI hanya dengan 3 Pasal Perubahan
Ilustrasi aparat polisi.
Foto: istimewaJAKARTA – Pembahasan RUU TNI dan RUU Polri yang sedang bergulir di DPR RI saat ini dinilai akan membawa perubahan besar dalam kewenangan TNI dan Polri. Bahkan bisa berdampak pada struktur ketatanegaraan Indonesia.
Penilaian tersebut diungkapkan oleh pengamat sekaligus analis Politik dan Militer Universitas Nasional Jakarta, Slamet Ginting, menanggapi bergulirnya pembahasan RUU TNI dan RUU Polri yang saat ini dibahas di DPR RI.
“Pembahasan RUU TNI ada pada pertama pengisian jabatan sipil oleh TNI aktif. Pada pernyataan Menhan setelah RDP dengan Komisi 1 DPR RI kamis 12/3/25 bahwa ada 15 kementerian/lembaga dapat diisi oleh perwira tinggi TNI tanpa pensiun. Pada awal UU TNI No. 34 Tahun 2004 terbentuk dalam Pasal 47 ayat 1 menyatakan Perwira aktif harus pensiun jika menduduki jabatan sipil, kecuali di 10 lembaga,” ungkap Slamet Ginting di Jakarta, Senin (17/3).
Kemudian, jelas dia, ada usulan tambahan 5 lembaga/kementerian yaitu BNPB, BNPT, BAKAMLA, KKP, Kejaksaan Agung/Pidana Militer dimana 5 lembaga tersebut memang baru lahir setelah UU TNI disahkan pada tahun 2004.
“Sama seperti di negara lain, lembaga seperti BNPB, BNPT, dan Bakamla memang diisi oleh militer,” katanya.
Dalam revisi UU TNI yang sedang dibahas, perlu ditambahkan satu pasal yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengambil tindakan dalam situasi darurat yang tidak diatur secara rinci dalam undang-undang. Hal ini dikaitkan dengan munculnya lima lembaga baru (BNPB, BNPT, Bakamla, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kejaksaan Agung/Pidana Militer) setelah UU TNI No. 34 Tahun 2004 disahkan.
Lebih lanjut Slamet menyatakan tidak keberatan atas dikemukakan tambahan di pasal 7 ayat 2. Lantas agaimana Kasus Mayjen Novi Helmi sebagai Ka Bulog dan Letkol Teddy Indra sebagai Seskab?
Menurut Slamet yang pertama ada pada masalah administrasi dan kelembagaan. Kasus ini mencerminkan ketidakrapian administrasi di pemerintahan dan militer. Penataan kelembagaan perlu ditata dengan baik, terutama terkait posisi Dirut Bulog yang seharusnya berada di bawah koordinasi langsung Presiden atau Setneg, bukan BUMN.
Slamet menambahkan yang kedua Mayjen TNI Novi Helmi saat menjabat sebagai Asisten Teritorial Panglima TNI seharusnya dipindahkan menjadi Danjen TNI dengan pangkat Letjen, lalu dipensiunkan dan ditempatkan sebagai Dirut Bulog untuk mendukung program ketahanan pangan Presiden.
Ketiga terkait Letkol Tedy Indrawijaya munculnya permasalahan karena Tedy masih aktif di militer dengan pangkat mayor, tetapi menjabat posisi eselon II di Seskab yang setara dengan Brigjen sehjngha ada lompatan karier yang tidak wajar (3 tingkat atau melewati 3 pangkatsekaligus). Sebagai solusi seharusnya Pensiun dini dari militer untuk tetap menjabat di Seskab, atau jika ingin tetap aktif di militer, lepas jabatan di Seskab dan ditempatkan sebagai asisten ajudan Presiden untuk menghindari kritik publik.
Keempat perlu penataan yang jelas terkait administrasi dan struktur jabatan di pemerintahan dan militer untuk menghindari ketidakjelasan dalam pengangkatan dan promosi jabatan.
Kemudian terkait usia pensiun, kata dia, usia pensiun militer aktif wajar seperti militer di negara lain hingga 60 tahun, untuk perwira tinggi (PATI) bisa mencapai 62–65 tahun.
Selanjutnya struktur dan kontrol, kedudukan TNI di bawah presiden (operasional), tetapi kebijakan dan administrasi tetap di bawah Menhan sebagai fungsi kontrol.
Adapun pembahasan RUU Polri terdiri dari:
Masalah Kewenangan yang Luas dan Struktur Polri
Masalah Kedudukan dan Kewenangan Polri: Polri memiliki dua "senjata": senjata api dan kewenangan hukum, sehingga berpotensi menjerat siapa saja karena kedudukannya langsung di bawah Presiden. Karena kekuatan hukum, perlu adanya pengawasan ketat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
Status Brimob dan Polisi Konvensional. Berdasarkan Konferensi Jenewa, polisi adalah sipil yang dipersenjatai. Jika Brimob dianggap sebagai pasukan paramiliter, seharusnya dimasukkan ke Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Polisi konvensional sebaiknya ditempatkan di bawah Kementerian Hukum karena tugas utamanya adalah penegakan hukum dan law and order.
Masalah Kewenangan Langsung
Polri bisa langsung berhubungan dengan Kementerian Keuangan, sementara TNI masih melalui Kementerian Pertahanan. Hal ini menciptakan ketidakselarasan dalam struktur kelembagaan.
Kesalahan Interpretasi Pasal 30 UUD 1945.Berasal dari kesalahan Tim Pokja DPR dalam menerjemahkan hasil amandemen Pasal 30 UUD 1945. Pasal 30 ayat 3 dan 4 menegaskan pembagian tugas, TNI sebagai Pertahanan dan Polri Polri Keamanan.
Menurut Slamet, pemahaman ini keliru karena konsep "keamanan" mencakup banyak aspek: keamanan nasional, maritim, dirgantara, kesehatan, lingkungan, energi, pangan, dan siber. Jika semua aspek keamanan ditangani Polri, maka Polri akan menjadi "superbody" yang bahkan melebihi kekuatan ABRI pada masa Orde Baru.
“Perlu restrukturisasi dan pembatasan kewenangan Polri untuk mencegah penguasaan berlebihan atas sektor keamanan,” jelasnya.
Masalah Interpretasi Pasal 30 UUD 1945 dan Kewenangan Polri
Penegasan Pasal 30 Ayat 4 UUD 1945.Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 secara tegas dan limitatif menyatakan bahwa Polri adalah alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), bukan keamanan nasional atau aspek lainnya. Kamtibmas mencakup tugas: Penegakan hukum, Pelayanan masyarakat, Perlindungan dan pengayoman masyarakat.
Masalah di Naskah Akademik RUU Polri.Naskah akademik RUU Polri yang muncul di DPR telah melampaui batas konstitusional karena memperluas fungsi Polri di luar Kamtibmas. Jika disahkan, RUU ini berpotensi membuat Polri mengambil alih tugas instansi lain, yang bertentangan dengan konstitusi.
Fungsi Keamanan dalam Konteks TNI
Pasal 6 UU TNI menegaskan bahwa TNI bertugas dalam pemulihan keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan. Sama seperti militer di negara lain, TNI adalah aktor keamanan yang berperan dalam keamanan negara. Keamanan negara dan pertahanan adalah satu kesatuan dalam kerangka keamanan nasional yang tidak bisa dipisahkan.
Peran BIN dalam Keamanan Nasional.Badan Intelijen Negara (BIN) juga merupakan institusi keamanan yang berperan dalam menjaga keamanan nasional. Artinya, keamanan nasional adalah tanggung jawab bersama TNI dan BIN dan bukan ranah Polri.
Fungsi Polri terbatas pada keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), bukan keamanan nasional. Harus ada penataan ulang dalam pembagian tugas antara Polri, TNI, dan BIN untuk menghindari tumpang tindih kewenangan. Tim Pokja DPR perlu mengoreksi kesalahan interpretasi terhadap Pasal 30 UUD 1945 agar tidak terjadi ketidaksesuaian dengan konstitusi.
Pemisahan TNI dan Polri dalam TAP MPR
TAP MPR No. 6 Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri menjadi dasar penggunaan istilah "keamanan," tetapi ini merupakan pemahaman yang keliru.
TAP MPR No. 7 Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri menegaskan bahwa peran Polri terbatas pada Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat), bukan keamanan nasional.
Kedua TAP MPR ini tidak berlaku setelah dicabut oleh TAP MPR No. 1 Tahun 2003, sehingga dasar hukum Polri hanya merujuk pada UUD 1945, UU Polri (2002).
Masalah dalam RUU Polri
Dalam RUU, Polri yang akan merubah 5 pasal bahkan lebih, yang menurut narasumber terdapat masalah.
Misal pada pasal 6, Polri dalam melakukan fungsi dan peran meliputi teritorial wilayah NKRI, Yurikduksi, Perwakilan di Luar Negri, Kapal Laut di Wilayah Laut Internasional yang berbenturan dengan AL, misal dengan pesawat terintegrasi dan berbendera Indonesia yang berbenturan dengan AU, misal lagi ruang siber yang berbenturan dengan BSSN bahkan dengan Menkominfo.
Pasal 14 RUU Polri memberikan kewenangan luas kepada Polri dalam pengawasan dan pengamanan ruang siber, yang berpotensi tumpang tindih dengan Kominfo, BSSN, dan TNI karena masing-masing lembaga tersebut sudah memiliki unit siber sendiri. Selain itu, menurut Slamet, kewenangan Polri dalam melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap polisi khusus, penyidik negeri sipil, dan penyidik lain yang diatur undang-undang, serta pengamanan swakarsa, bisa berbenturan dengan kewenangan Kejaksaan, Polisi Militer TNI, dan penyidik di kementerian dan lembaga lainnya.
Masalah lainnya adalah kewenangan Polri dalam menjamin keselamatan dan ketertiban di jalan yang bisa berbenturan dengan Kemenhub. Kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap semua tindak pidana juga bisa menggeser peran Kejaksaan, KPK, dan TNI, sehingga menciptakan dominasi Polri yang berlebihan.
Polri juga berpotensi mengambil alih fungsi BNPB, Bea Cukai, Badan Pengelola Perbatasan, TNI, dan Bakamla dalam konteks keamanan dalam negeri. Rencana pelebaran kewenangan Intelkam menjadi kebijakan nasional dalam konteks hankamtibmas juga bisa menimbulkan benturan dengan BIN dan BAIS TNI, sehingga kewenangan Polri seharusnya tetap terbatas pada Kamtibmas.
Usulan pengangkatan penyidik negeri sipil atau penyidik lain di bawah Polri berpotensi bertentangan dengan Kejaksaan, TNI, dan lembaga lain yang memiliki kewenangan penyidikan. Ancaman terhadap keamanan nasional juga perlu diperjelas agar kewenangan Baintelkam Polri tidak berbenturan dengan BIN, BAIS TNI, dan lembaga intelijen lainnya. Oleh karena itu, RUU Polri perlu dikritisi secara serius agar tidak menciptakan dominasi Polri yang berlebihan dan berpotensi mengarah pada negara kepolisian.
Slamet menegaskan RUU Polri yang masuk Prolegnas 2025diharapkan selesai tahun ini, namun perlu dikritisi karena jika kewenangan Polri terlalu luas, lembaga lain bisa kehilangan peran dan kewenangannya. Solusi yang diusulkan adalah menempatkan Brimob di bawah Kemenhan dan kepolisian konvensional di bawah Kemenkum, seperti yang diterapkan di banyak negara untuk memperjelas peran dalam Law and Order. Dengan demikian, tugas keamanan seperti keamanan pantai cukup ditangani oleh marinir, tanpa perlu tumpang tindih dengan Polri, sehingga tidak terjadi dominasi Polri yang berlebihan.
Dominasi Polri dalam Kemendagri cukup besar, termasuk posisi menteri dan pejabat lainnya yang berasal dari kepolisian, serta pengaruh di Kementerian Imigrasi, Kemenkum, dan Kementerian PAN. UU Polri tidak secara jelas mengatur kementerian dan lembaga mana yang bisa ditempati polisi aktif, berbeda dengan TNI yang hanya memiliki kewenangan di 10 hingga 15 lembaga.
Hal ini membuat Polri memanfaatkan pasal karet untuk memasuki ranah sipil, sehingga jumlah perwira aktif Polri dalam jabatan sipil jauh lebih banyak dibandingkan TNI. Oleh karena itu, RUU TNI dan Polri seharusnya dibahas dalam satu paket, termasuk dengan UU Kejaksaan, untuk menghindari tumpang tindih kewenangan.
Pada era Soekarno, kepolisian pernah berada di bawah Kejaksaan Agung karena fungsi penyelidikan dan penyidikan dianggap sejalan, sehingga opsi untuk menempatkan Polri di bawah Kejaksaan Agung atau Kementerian Hukum layak dipertimbangkan kembali.
Berita Trending
- 1 Negara Paling Aktif dalam Penggunaan Energi Terbarukan
- 2 Ekonomi Biru Kian Cerah! KKP dan Kemnaker Maksimalkan Peluang Lapangan Kerja
- 3 Menpar Sebut BINA Lebaran 2025 Perkuat Wisata Belanja Indonesia
- 4 THR Untuk Ojol Harus Diapresiasi dan Diawasi
- 5 Bukan Arab Saudi, Negara Penghasil Kurma Terbesar Dunia Berasal dari Afrika
Berita Terkini
-
Pengawasan Prostitusi di Gang Royal Jakbar Ditingkatkan
-
G-Dragon, Ryujin ITZY Hadiri Konser ‘Encore’ Aespa di Stadium KSPO
-
Ancaman mikroplastik di Kepulauan Seribu (2/2)
-
Jaga Ketahanan Energi Jelang Mudik, Pertamina Aktifkan Satuan Tugas Ramadan & Idulfitri 2025
-
Ketua DPR RI Pastikan Tiga Pasal Perubahan RUU TNI Sudah Dibahas dengan Masyarakat