Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pengabdian Membangun Antropologi Indonesia

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Prof Dr Habil Josef Glinka, SVD Perintis Antropologi Ragawi di Indonesia
Penulis : Bernada Rurit
Penerbit : Kompas
Cetakan : Pertama, 2018
Tebal : xv + 520 halaman
ISBN : 978-602-412-454-0

Lulus Seminari Tinggi, Habil kemudian ditugaskan melanjutkan studi untuk disiapkan menjadi guru biologi dan kimia. Hal ini sempat membuat Prof Dr Habil Josef Glinka, SVD bingung. Ia ingin seperti umumnya pastor yang bertugas memimpin umat di paroki, bukan mengajar. Di kemudian hari, baru dipahami bahwa misionaris juga bertugas membangun pendidikan sebuah bangsa.

Sayangnya, hingga tutup usia pada 30 Agustus 2018 di usia 86 tahun, keinginan misionaris Katolik asal Polandia yang juga guru besar Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, ini untuk menjadi WNI belum berhasil.

Pertama kali tiba di Indonesia pada Agustus 1965, dia bertugas di Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret dan St Paulus, Ledalero, Flores. Sumbangsih pria yang akrab disapa Prof Glinka atau Pater Glinka untuk perkembangan antropologi di Unair ini dimulai bersama Adi Sukadana, karibnya. Mereka merintis berdirinya Jurusan Antropologi Ragawi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair pada 1985.

Orang awam sering salah paham, menganggap antropologi sebagai ilmu yang hanya mempelajari benda-benda mati purbakala, suku terasing, bahkan perbintangan. Secara luas antropologi adalah ilmu yang mempelajari biologi dan kultural manusia. Antropologi ragawi sebagai salah satu kajiannya, menelaah manusia dari sudut pandang biologis dalam rangka perkembangan hidupnya dengan penekanan pada interaksi antara biologi dan lingkungan, termasuk budaya.

Penelitian-penelitian peraih gelar profesor dari Universitas Jagiellonian, Polandia, ini yang terkait perkembangan ragawi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1966-1967 untuk disertasi dan habilitasinya. Hasil penelitiannya menyumbangkan pemikiran baru mengenai etnogenesis wilayah Indonesia. Prof Glinka menempatkan diri sebagai biarawan, sekaligus ilmuwan yang pro-evolusi. Ia menulis sendiri pendapatnya atas perdebatan tersebut dalam bab "Prof Glinka dan Teori Evolusi" (hlm 76--90).

Ahli 9 bahasa ini membesarkan program studi peminatan antropologi ragawi di Unair, satu-satunya di Indonesia, dengan menyiapkan kader mudanya secara terukur dan visioner. Ia sukses meneruskan estafet antropologi ragawi kepada tiga asisten perempuannya. Menerima tawaran di Unair, ia juga sadar 99 persen muridnya adalah muslim, begitu pula kolega-koleganya. Membawa label 'misionaris' yang tugasnya dianggap membaptis orang, Prof Glinka menerjemahkan misi misionarisnya bukanlah untuk itu.

Baginya kotbah tak selalu harus diterjemahkan sebagai kredo satu-satunya para biarawan. Dia justru menganggap seorang pastor muncul di universitas negeri juga sebuah kotbah. Kedatangannya untuk mendidik dan membangun bangsa Indonesia meruntuhkan sekat-sekat antaragama. Maka ketika dia dituduh mengkristenkan mahasiswanya dan sempat akan diusir dari Unair pada tahun 1998, mahasiswa-mahasiswa muslimnyalah yang "menyelamatkannya" dengan berdemo di depan kantor rektorat (hlm 220).

Di Indonesia, minat terhadap ilmu antropologi masih minim karena dianggap tidak penting, sehingga masa depannya kurang menjanjikan. Bagian kedua buku ini khusus memperkenalkan dunia antropologi ragawi dan implementasinya di Indonesia.

Sebagai negara berpenduduk 230 juta jiwa, dengan kondisi geografis luas, berpulau-pulau dan berada di daerah rawan bencana, ragam subdisiplin antropologi ragawi memiliki peran penting. Contohnya antropologi forensik yang menjadi bagian Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri untuk identifikasi jenazah korban bencana alam, kecelakaan, atau kriminalitas yang sulit dikenali.

Sedangkan ahli paleoantropologi atau paleoantropolog sangat dibutuhkan karena Indonesia sebagai negeri terkaya tentang bukti-bukti fosil hominid. Sepertiga dari temuan homo erectus dunia ada di Indonesia. Genus dan spesies manusia purba terbanyak di dunia dimiliki Indonesia. "Jangan peneliti asing lebih berminat dengan Indonesia daripada orang Indonesia sendiri" (hlm 493). Diresensi Anindita Arsanti, Alumni UPN Veteran Yogyakarta

Komentar

Komentar
()

Top