Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pertemuan Lembaga Tinggi Negara

Penerimaan dari Komoditas Bantu Pemerintah Pertahankan Subsidi

Foto : ANTARA/SIGID KURNIAWAN

PIMPINAN LEMBAGA TINGGI NEGARA BAHAS EKONOMI LOKAL DAN GLOBAL I Presiden Joko Widodo didampingi para pimpinan lembaga tinggi negara, dari kiri Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, Ketua DPR Puan Maharani, Ketua MPR Bambang Soesatyo, dan Ketua MK Anwar Usman memberikan keterangan pers seusai pertemuan di Istana Negara, Jakarta, Jumat (12/8). Pertemuan tersebut membahas mengenai krisis global yang berkaitan dengan krisis pangan, energi, dan keuangan serta berbagi mengenai halhal yang berkaitan dengan dalam negeri, termasuk anggaran subsidi di APBN.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan para pimpinan lembaga tinggi negara di Istana Negara, Jakarta, Jumat (12/8). Dalam pertemuan itu membahas berbagai isu termasuk kondisi ekonomi, baik nasional maupun global.

"Utamanya kita bicara soal krisis global, berkaitan dengan krisis pangan, krisis energi, dan juga krisis keuangan, dan kita berbagi, sharing mengenai hal-hal yang berkaitan dengan domestik kita," kata Presiden Jokowi usai pertemuan.

Isu ekonomi yang dibahas, kata Presiden, antara lain mengenai anggaran subsidi di APBN yang dinilai terlalu besar karena sudah mencapai 502 triliun rupiah.

"Tapi, apakah angka 502 triliun rupiah itu terus kuat kita pertahankan? Kalau bisa alhamdulilah, artinya rakyat tidak terbebani. Tapi kalau APBN tidak kuat, bagaimana? Negara lain harga BBM sudah 17 ribu, 18 ribu rupiah, naik dua kali lipat semuanya, ya memang harga keekonomiannya seperti itu," kata Presiden.

Pemerintah, kata Kepala Negara, harus membelanjakan subsidi hingga 502 triliun rupiah untuk menahan harga BBM, khususnya BBM subsidi, agar tidak membebani daya beli masyarakat.

"Angka subsidi kita memang terlalu besar, cari negara yang subsidinya sampai 502 triliun rupiah, karena kita harus menahan harga pertalite, gas, listrik, termasuk pertamax, gede sekali," terang Jokowi.

Indonesia, kata Presiden, masih beruntung karena masih memiliki pendapatan negara dengan pertumbuhan relatif baik dari meningkatkan ekspor komoditas di tengah ancaman krisis global.

Pendapatan negara yang terjaga itu pula membuat pemerintah masih dapat membelanjakan subsidi di APBN untuk menjaga daya beli masyarakat.

"Kami menyampaikan ke beliau-beliau (pimpinan lembaga tinggi negara) mengenai angka-angka itu, fakta-fakta itu, kalau kita masih ada income negara dari komoditas. Komoditas masih baik, ya kami jalani, tapi kalau tidak?" kata Presiden.

Sementara itu, Ketua MPR, Bambang Soesatyo, yang ikut hadir, mengatakan pemerintah belum sampai pada keputusan untuk menurunkan subsidi.

Seluruh pembantu Presiden, yakni jajaran menteri, sedang mengalkulasi subsidi dan risiko, jika terjadi penyesuaian besaran subsidi, kepada harga barang dan jasa di masyarakat.

"Ini juga sudah masuk tahun politik, takutnya ada yang gosok-gosok jadi persoalan lain, dihitung sesuai kemampuan. Intinya, pemerintah punya keinginan kuat meringankan beban masyarakat dan menarik napas lega dari Covid-19," kata Bambang.

Turut hadir dalam pertemuan itu, Ketua DPR Puan Maharani, Ketua DPD, La Nyalla Mattalitti, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Isma Yatun, Ketua Mahkamah Agung, M Syarifuddin, dan Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata.

Sektor Produktif

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, yang diminta pendapatnya mengatakan subsidi memang seperti candu sehingga penyalurannya harus diubah, terutama diprioritaskan ke hal-hal yang produktif, agar suatu saat bisa dilepas karena sudah produktif dan mandiri.

Sektor yang produktif itu, misalnya, memberi subsidi bunga untuk sektor usaha, subsidi ekspor untuk perusahaan yang mengekspor produk jadi, bukan komoditas mentah.

"Subsidi bunga atau subsidi ekspor bisa diberlakukan satu tahun, kemudian dilihat performa perusahaannya. Kalau omzet meningkat, dia berhak mendapat subsidi tahun kedua. Subsidi ini bisa dicabut setelah lima tahun ketika perusahaan benar-benar sudah established dan stabil performanya," kata Esther.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top