Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pendidikan yang Lebih Baik

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Krismiasih

Beragam kasus kekerasan terus terjadi, termasuk dalam dunia pendidikan. Awal Februari lalu, guru Budi dipukul muridnya di Sampang Madura hingga tewas. Baru-baru ini juga menjadi viral video guru yang menampar murid di Purwokerto. Ada juga pelecehan seksual atau kekerasan verbal yang terlalu banyak.

Ini berarti ada yang salah dalam kehidupan dewasa ini. Kekerasan merupakan tindak dehumanisasi, apalagi terus terulang dan semakin masif. Semua yang aktif dalam dunia pendidikan, harus melakukan otokritik. Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness menjelaskan pada dasarnya setiap manusia bernaluri agresif. Sigmund Freud juga pernah menyatakan, manusia adalah makhluk rendah yang dipenuhi kekerasan, kebencian, dan agresi.

Jika naluri agresi itu bersifat kolektif atau menjadi semangat korps kesukuan (tribalisme) seperti dilakukan oleh sekelompok pelajar, patut waspada. Ada pendapat, kekerasan di sekolah atau universitas sesungguhnya hanya imbas atau cermin kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Semua karena lebih mengedepankan kekerasan daripada budaya dialog dan cinta.

Politik dan hukum juga amburadul. Ibnu Kaldun menyebut hukum sebagai pilar utama hidup bernegara. Maka, ketika dia ambruk, sendi-sendi kehidupan lain seperti politik atau pendidikan juga runtuh. Memang jika menilik sejarah perpolitikan bangsa ini, sejak zaman Empu Gandring (Singasari) hingga berakhirnya rezim Soeharto, selalu dipenuhi kekerasan, bahkan pertumpahan darah.

Orba menginisiasi kekuasaannya lewat Tragedi 1965 yang menewaskan jutaan rakyat. Lalu, Orba pun menutup rezim dengan Tragedi 13-15 Mei 1998 yang juga diwarnai kekerasan. Jakarta dibakar dan ratusan nyawa menjadi korban sia-sia. Sementara itu, banyak perempuan Tionghoa atau berwajah mirip diperkosa melebihi kebuasan binatang di hutan mana pun. Hukum rimba ketika itu membuat yang kuat menjadi pemegang kekuasaan.

Kondisi perpolitikan hari-hari ini juga sangat mencemaskan. Segala cara dihalalkan, termasuk kekerasan. Para pemimpin dan elite terjebak dalam ego besar. Akibat nafsu kekuasaan, segala cara dihalalkan. Tempat ibadah dihalalkan untuk berkampanye sambil menebar fitnah pada sosok atau golongan lain. Bahkan, ajang "Car Free Day" di Jakarta baru-baru ini juga dimanfaatkan demi kepentingan politik. Seorang ibu dan anaknya yang kebetulan tidak memakai kaos #ganti presiden menjadi objek kekerasan. Mereka dilecehkan secara fisik. Ini belum terhitung kekerasan verbal yang sungguh merendahkan martabat manusia.

Jika Korea Utara dan Selatan saja sudah mau merintis jalan rekonsiliasi, para elite negeri ini justru semakin doyan menebar perpecahan bangsa, terlebih menjelang Pilpres 2014. Praksis politik bercorak "machiavellian" tampak kian marak dan dihalalkan. Padahal corak politik semacam ini hanya akan melahirkan banyak kekerasan dan gesekan dalam masyarakat yang sangat beragam.

Sayang dalam sikon demikian, agama lewat para tokohnya, justru terjebak dalam pragmatisme. Akibatnya kritik profetis atau suara kenabian, nyaris tak terdengar. Yang mengemuka dan nyaring di ruang publik justru provokasi dan ujaran kebencian. Apalagi ada preman yang dianggap ulama. Sedangkan ulama-ulama besar dengan pesan sejuk justru dipinggirkan.

Dunia pendidikan dianggarkan 20 persen APBN juga masih kerap menjadi proyek, sebagaimana masih tampak pada diberlakukannya ujian nasional (UN), sertifikasi, uji kompetensi guru, sampai pengadaan buku. Semua sudah menjadi proyek.

Itu semua membuat sebagaian warga frustrasi dan gampang tersulut emosinya dan menular ke rakyat. Mereka tergoda untuk mengedepankan kekerasan daripada menyelesaikan masalah lewat jalan damai. Di mana-mana terjadi perkelahian atau bentrok antardesa atau antara aparat dan rakyat. Pelajar dan mahasiswa hanya meniru orang-orang dewasa seperti para guru.

Terjebak

Jadi semua sebenarnya sudah terjebak dalam spiral kekerasan yang tanpa disadari menjadi gaya hidup. Orang bisa menjadi sangat lembut di rumah, tapi begitu di jalan, menjadi monster yang mengorbankan sesama pengguna jalan. Ini membuat angka kecelakaan lalu lintas begitu tinggi. Orang bisa begitu santun di rumah, tapi ternyata di media sosial amat keji menebar ujaran kebencian dan berita-berita tidak benar (hoax). Tidak heran, kini hoax dan ujaran kebencian di media sosial telah menjadi permasalah besar bangsa.

Menyikapi kenyataan tersebut, terlalu simplistis jika seluruhnya dibebankan pada para pendidik atau pelajar di sekolah. Semua dipanggil untuk tidak kenal lelah menebarkan semangat cinta damai dan nilai-nilai antikekerasan. Media juga perlu mengupayakan agar penanaman perdamaian mendapat ruang lebih dan mengurangi berita kekerasan agar tidak menginspirasi kekerasan baru.

Setiap orang sukarela menjadi aktivis perdamaian. Buku Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of Oppressed) karya Paulo Freire bisa menjadi panduan atau inspirasi. Dalam perpektif buku itu, jelas potret kekerasan dalam dunia pendidikan menjadi bukti masih adanya penindasan. Bagi Freire, penindasan, apa pun nama dan alasannya, tidak manusiawi karena merendahkan kemanusiaan.

Maka,upaya humanisasi atau memanusiakan kembali manusia (humanisasi) merupakan pilihan terbaik untuk merestorasi wajah dunia pendidikan nasional yang banyak tercoreng kekerasan. Bagi Freire, kodrat manusia menjadi subjek, bukan objek penderita untuk ditindas. Manusia dipanggil untuk mengatasi realitas penindasan.

Menjadi tugas semua untuk mengubah kekerasan dunia pendidikan. Wajah beringas harus diganti penuh belas kasih. Hardiknas harus dijadikan momentum perubahan ke depan yang lebih baik.

Penulis Kepala Sekolah TK, dan mantan Guru Teladan Madiun

Komentar

Komentar
()

Top