Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pendidikan sebagai Ruang Temu Kebinekaan

Foto : koran jakarta/Muhamad Ma’rup

Bersiap Masuk Kelas I Siswa SDN 3 Sukaharja, Sindang Jaya, Kabupaten Tangerang, berbaris sebelum mengikuti pembelajaran tahun ajaran baru, Senin (15/7).

A   A   A   Pengaturan Font

Kebinekaan sebagai kekayaan bansa harus tecermin di setiap lini kehidupan, tidak terkecuali bidang pendidikan. Ruang pendidikan harus mengajarkan kebinekaan kepada peserta didik. Di sisi lain, juga mengimplementasikan nilai-nilai kebinekaan itu sendiri. Pengajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA), Ari Nursenja Rivanti, menilai bahwa kebinekaan sangat mendukung pembelajaran dan harus hadir di ruang kelas.

Berdasarkan pengalaman, mengajar siswa dari berbagai latar belakang, keberagaman menjadi peluang berkolaborasi. Siswa mampu menciptakan kreativitas sebagai cara menyelesaikan masalah. Keberagaman di ruang kelas memberi ruang bagi siswa memahami dan mengalami secara langsung. Siswa juga mampu bergaul dan mematahkan stereotip negatif tentang suatu latar belakang.

"Terlebih jika mendengar opini dari luar, misalnya, orang dari pulau A itu keras dan galak. Opini tersebut akan terpatahkan andai siswa sudah mengenal temannya itu," ujar Ari, kepada Koran Jakarta, Minggu (8/8). Ari pun mengakui, keberagaman di ruang kelas bisa mengembangkan kemampuan guru. Menurutnya, guru akan lebih peka melihat interaksi siswa. Keberagaman juga mengarahkan guru untuk bersinergi dengan sesama pengajaar dan mencoba beberapa metode-metode baru dalam pembelajaran. "Guru jadi mampu mempelajari lebih dalam mengaplikasikan keberagaman dalam pembelajaran," terangnya.

Tantangan dan Solusi

Pengalaman Ari menunjukkan pentingnya kelas menjadi ruang temu kebinekaan. Hal ini lebih-lebih keberagaman di Indonesia merupakan potensi luar biasa. Namun, pada praktiknya, menghadirkan kebinekaan bukan hal mudah. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anggi Afriansyah, menilai bahwa ruang pendidikan belum menjadi arena yang mempertemukan. Ini tidak hanya terjadi di sekolah keagamaan. Sekolah negeri pun, yang mestinya sebagai lokus perjumpaan, tapi justru minim ruang perjumpaan.

"Itu membuat anak-anak kehilangan cara pandang tentang keindonesiaan. Jadi, sisi pembangunan karakter sangat terbatas dan tergantungpada school cultureyang dibangun sekolah," katanya.

Secara terpisah, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia, M Solehuddin menyarankan, untuk menghadirkan kebinekaan di ruang kelas perlu pengembangan konten pembelajaran, penyediaan sumber daya manusia yang cakap, dan pergeseran proses pembelajaran. Penciptaan lingkungan kehidupan yang kondusif penting mendukung terimplementasikannya kebinekaan di lembaga pendidikan.

"Jadikanlah lembaga pendidikan sebagai 'laboratorium' kehidupan untuk mempraktikkan dan mewujudkan nilai-nilai kebinekaan dalam kehidupan nyata," terangnya.

Lingkungan Belajar

Terkait kebinekaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), menggunakan Survei Lingkungan Belajar (SLB) untuk memotret iklim kebinekaan di sekolah. SLB sendiri merupakan salah satu instrumen Asesmen Nasional.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, mengatakan, jika iklim kebinekaan atau inklusivitas tidak terbangun di sekolah, maka siswa sulit mengikuti pembelajaran. Di sisi lain, kasus-kasus intoleransi di dunia pendidikan harus segera diantisipasi.

"Belum terlambat. Kita hanya perlu potret agar tidak terlambat mengantisipasi problem-problem yang sudah ada indikasi intoleran di sana-sini," jelasnya. Dia menambahkan, ada beberapa indikator terkait kebinekaan dalam SLB. Pertama, toleransi yang didefinisikan menjadi nyaman beraktivitas dengan orang berlatar belakang beda. Kedua, mendukung kesetaraan hak-hak sipil dalam undang-undang. Ketiga, indikator gender dan keempat, indikator disabilitas.

Lebih jauh dia menuturkan, SLB juga memotret berbagai aspek proses pembelajaran baik praktik guru maupun kepemimpinan kepala sekolah, sehingga informasi yang diterima guru, kepala sekolah, bahkan dinas pendidikan jadi bermanfaat. "Jadi tidak, hanya tahu hasil. Tapi kalau hasilnya tidak memuaskan apa yang perlu dibenahi," tanyanya. M Ma'rup


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Muhamad Ma'rup

Komentar

Komentar
()

Top