Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Penderita Asma Merapat! Manfaatkan Kecerdasan Buatan, Kanada dan Jerman Berkolaborasi Ciptakan Alat 'Penyelamat' Penyakit Pernapasan Kronis

Foto : Istimewa

Ilustrasi

A   A   A   Pengaturan Font

Kanada dan Jerman kembangkan sebuah patch leher dapat memantau suara pernapasan dan membantu mengelola asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dengan mendeteksi gejala kambuh secara real-time tanpa mengganggu privasi pasien.

Dengan keahlian di bidang kesehatan saluran napas bagian atas, teknik audio dan komputasi, kedua negara tengah berkolaborasi dalam mengembangkan perangkat yang dapat memantau gejala pernapasan tersebut. Asma dan PPOK sendiri merupakan penyakit pernapasan kronis yang paling umum. Di Kanada saja diperkirakan setidaknya 3,8 juta orang mengalami asma dan 2 juta orang mengalami PPOK. Sifat kronis kedua penyakit pernapasan itu memang memerlukan pemantauan dan manajemen penyakit yang berkelanjutan. Pasalnya, pasien asma atau PPOK yang telah mendapatkan pengobatan optimal sekalipun dapat mengalami kemungkinan gejolak atau eksaserbasi yang tidak terduga.

Hal itulah yang membuat pasien membutuhkan alat yang efektif dan prediktif, yang memungkinkan pemantauan jarak jauh terus menerus dan deteksi dini eksaserbasi. The Conversation menuturkan teknologi juga diterapkan untuk pemantauan jarak jauh terhadap pasien asma dan PPOK. Sebagian besar perangkat sejenis memiliki mikrofon internal yang mampu mengumpulkan gejala klinis yang dapat didengar, seperti batuk, dari pasien. Namun, desain seperti itu menghambat kepatuhan pasien karena kekhawatiran privasi tentang pemantauan terus menerus dari semua suara dalam kehidupan sehari-hari mereka dan lingkungan rumah.

Tak hanya itu, perangkat kesehatan tersebut juga membutuhkan algoritma yang efisien dan cerdas supaya dapat menafsirkan data secara bermakna segera setelah dimasukkan ke dalam sistem dan kehadiran Artificial Intelligence (AI) telah menyelesaikan permasalahan itu. Namun, masalah 'black box' AI juga menciptakan masalah etika dan transparansi lain dalam biomedis. Hal ini terjadi karena sebagian besar alat AI hanya memungkinkan kita mengetahui perihal input dan output, bukan prosesnya. Selain itu, menerapkan analitik waktu nyata di perangkat yang dapat dikenakan merupakan tantangan karena sumber daya komputasi yang terbatas di perangkat ini.

Karenanya, pengembangan "wearable AI" yang terpercaya dan hemat biaya sangat penting untuk penderita asma dan PPOK. Di Universitas McGill, tim Kanada tengah mengembangkan perangkat kesehatan berdasarkan teknologi penginderaan akustik-mekano untuk melacak dan memantau status kesehatan saluran napas bagian atas selama aktivitas sehari-hari. Singkatnya, accelerometer kulit kecil seperti tambalan disesuaikan untuk ditempatkan di leher. Perangkat tersebut dirancang untuk mendeteksi getaran mekanis yang terjadi dari gelombang akustik yang menyebar ke kulit leher apabila seseorang mengalami gejala saluran napas bagian atas seperti batuk, suara serak dan lain-lain.

"Perangkat wearable bertenaga AI kami akan memiliki kapasitas untuk melindungi privasi ucapan dan melakukan analisis data hampir real-time untuk memberdayakan pasien dan dokter agar mengambil tindakan yang tepat tanpa penundaan," bunyi pernyataan resmi Nicole Y.K. Li Jessen dan Andreas M. Kist seperti termuat dalam The Conversation.

Pasien asma dan PPOK juga tidak perlu khawatir perihal privasi lantaran sebagian besar fitur ucapan yang dapat dikenali berada dalam rentang frekuensi tinggil, yakni sekitar enam hingga delapan kilohertz. Sementara, jaringan leher manusia berfungsi sebagai filter yang hanya mampu dilewati oleh komponen frekuensi rendah dari sinyal. Hal ini berarti ucapan dapat diidentifikasi oleh sensor perangkat tapi tidak terdengar oleh telinga manusia.

"Kami sekarang bekerja untuk mengembangkan aplikasi smartphone yang akan terhubung ke perangkat wearable. Aplikasi seluler ini akan menghasilkan ringkasan buku harian kesehatan saluran napas bagian atas untuk pasien. Selain itu, dengan persetujuan pengguna, laporan juga dapat dikirim ke penyedia layanan kesehatan utama mereka untuk pemantauan jarak jauh," tambah keduanya.

Sementara di Friedrich Alexander Universität Erlangen Nürnberg, tim Jerman telah mengembangkan jaringan saraf dalam, yang ramping dan hanya membutuhkan memori komputasi kurang dari 150 kilobyte. Selain itu, pemantauan berkelanjutan menghasilkan sumber data yang besar dan kompleks. Mereka juga tengah berupaya mengotomatiskan analisis sinyal akustik mekanis. Bersama dengan data spesifik pasien, seperti kualitas udara lokal dan pereda yang digunakan, perangkat kesehatan '"wearable AI" akan mampu memprediksi risiko pasien asma atau gejala eksaserbasi PPOK.

"Dengan kemajuan teknologi pemantauan yang dapat dikenakan, kami berharap dapat memberdayakan dan melibatkan pasien untuk bertanggung jawab atas kesehatan saluran napas mereka," ujarnya.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top