Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Penangkapan Robertus Robet

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Polisi menangkap aktivis hak asasi manusia (HAM) Robertus Robet, Rabu (6/3) malam,dan menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan umum di Indonesia, Kamis (7/3). Berdasarkan surat dari kepolisian, Robet dijerat Pasal 45 A Ayat (2) jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan/atau Pasal 14 Ayat (2) jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan/atau Pasal 207 KUHP.

Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu dituduh melakukan penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat berdasarkan SARA, berita hoaks, atau penghinaan terhadap penguasa atau badan umum. Padahal dalam orasinya, Robet hanya menyampaikan kegelisahannya kepada anak-anak muda yang menghadiri Aksi Kamisan di depan Istana Presiden pada 28 Februari lalu itu. Robet melakukan orasi yang menolak wacana kebangkitan kembali dwifungsi TNI di Indonesia. Dalam orasinya itu, Robet menyanyikan lagu yang sering dinyanyikan mahasiswa pergerakan 1998 untuk menyindir institusi ABRI.

Penangkapan dan penetapan tersangka terhadap aktivis HAM itu menuai protes dan polemik. Apalagi Robet diperiksa atas tuduhan merendahkan institusi TNI. Robet hanya mengatakan bahwa kaum militer adalah orang yang memegang senjata, orang yang mengendalikan, mendominasi alat-alat kekerasan negara tidak boleh mengendalikan kehidupan sipil lagi. "Mengendalikan kehidupan sipil", diksi ini dipilih oleh Robet merujuk dwifungsi ABRI yang dulu pernah hadir di Indonesia, saat kepemimpinan Presiden Soeharto.

Tidak ada yang salah dari ucapan Robet. ABRI pada masa lalu memang dapat menempati jabatan sipil dan mengisi sejumlah posisi pemerintahan. Selain itu, ada Fraksi ABRI di MPR yang membuat tentara pada masa itu bisa berpolitik. Bagi Robet, "senjata" tidak bisa diajak berdebat, "senjata" tidak dapat diajak berdialog. Sementara demokrasi, kehidupan ketatanegaraan harus berbasis pada dialog yang rasional. Itulah yang menjadi alasan mengapa Robet menolak dikaryakannya TNI kembali ke lembaga sipil.

Robet juga telah menegaskan bahwa lagu itu bukan dibuat oleh dirinya, melainkan lagu yang populer di kalangan gerakan mahasiswa pada 1998. Lagu itu dimaksudkan sebagai kritik yang ia lontarkan terhadap ABRI di masa lampau, bukan TNI di masa kini.

Seharusnya orasi Robet dalam Aksi Kamisan itu dilihat secara utuh. Robet berbicara tentang dua hal besar, yaitu kemampuan supremasi sipil untuk menjalankan prinsip-prinsip demokratik, termasuk mengontrol mekanisme pertahanan, serta melanjutkan agenda profesionalisme TNI. Ia bicara mewakili puluhan akademisi dan masyarakat sipil Indonesia yang menolak kembalinya militer berpolitik, apalagi memasuki jabatan-jabatan sipil.

Robet justru ingin militer Indonesia tetap teguh sebagai penjaga demokrasi dan kokoh menjadi garda depan sistem pertahanan, bukan masuk ke dalam relung-relung sipil. Dalam refleksinya, Robet justru mengatakan dirinya sangat mencintai TNI dan mendorong TNI menjadi institusi profesional. Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru.

Kita perlu mengingatkan aparat kepolisian untuk tidak sewenang-wenang menangkap orang, apalagi menjelang Pemilu 2019. Penangkapan yang tidak logis bisa ditafsirkan publik atau kelompok berdasarkan kepentingannya masing-masing. Bila aparat kepolisian tidak hati-hati dalam melakukan penangkapan, itu bisa berujung pada ketidakpercayaan publik pada penegakan hukum.

Komentar

Komentar
()

Top