Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan APBN | Sejak 2020, Anggaran Bansos Lampaui Rp400 Triliun

Pemotongan Anggaran untuk Bansos Hambat Pembangunan

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemotongan anggaran sekitar 50-an trilliun rupiah dari semua kementerian/lembaga yang dialihkan untuk bantuan sosial (bansos) dinilai tak efektif menekan angka kemiskinan. Pasalnya, dari ribuan triliun rupiah anggaran bansos selama hampir sepuluh tahun terakhir, angka kemiskinan hanya turun 2 persen.

"Terus terang saja, melonjaknya anggaran bansos 496,8 triliun rupiah sungguh mengkhawatirkan dari sisi penyalahgunaan. Pada saat Covid-19 saja, pada 2020, anggaran perlindungan sosial 'hanya' 234,33 triliun rupiah dan realisasinya 216,59 triliun rupiah," ungkap Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, melalui keterangannya, Selasa (6/2)

Selain membandingkan besaran bansos saat pandemi Covid-19 dengan besaran terkini, dia mengungkapkan keprihatinannya lantaran banyak sektor pembangunan yang terkena dampak pemotongan anggaran. Diindikasikan anggaran tersebut dialihkan untuk memperkuat anggaran bansos.

Padahal, anggaran pembangunan tersebut bisa digunakan untuk memperbaiki infrastruktur, meningkatkan perumahan rakyat, menguatkan kemandirian pangan, energi, meningkatkan industri dan daya saingnya, meningkatkan ekspor, meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan, kesehatan, dan budaya, menghapuskan kemiskinan ekstrem, pemeliharaan keamanan, dan pertahanan negara.

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan alokasi anggaran untuk perlindungan sosial (perlinsos) pada 2024 mencapai 496,8 triliun rupiah. Angka itu lebih besar dibandingkan selama pandemi Covid-19 pada 2021 sebesar 468,2 triliun rupiah dan pada 2022 sebesar 460,6 triliun rupiah.

Nilai bansos pada 2024 itu hampir sama dengan yang dikucurkan saat pandemi 2020 sebesar 498 triliun rupiah. Padahal, penyaluran bansor sebesar itu dinilai tak ada urgensinya pada 2024.

"Bansos ini bukan solusi untuk jangka panjang, tetapi ini hanya kebijakan populis yang hanya ingin mendapatkan voter (suara pemilih) yang lebih banyak," ujar Esther ketika dihubungi, Selasa (6/2).

Esther yang juga Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, itu menuturkan, selama sekitar satu dekade terakhir atau periode 2012-2023, tingkat kemiskinan di Indonesia hanya turun 2,3 persen. Padahal, bansos yang digelontorkan trennya kian besar setiap tahunnya.

Sebagai catatan, pada 2014, dana bansos sebesar 484,1 triliun rupiah, kemudian turun pada 2015 menjadi 276,2 triliun rupiah, lalu turun lagi menjadi 215 triliun rupiah pada 2016. Setahun kemudian alokasinya naik sedikit menjadi 216,6 triliun rupiah dan kemidian naik lagi menjadi 293,8 triliun pada 2018.

Kemudian pada 2019, anggaran bansos naik lagi menjadi 308,4 triliun rupiah, sementara sejak 2020 anggaran bansos di atas 400 triliun rupiah, yaknin 498 triliun rupiah (2020), lalu 468,2 triliun (2021), sebesar 460,6 triliun rupiah (2022), dan 439,1 triliun (2023), serta pada 2024 direncanakan sebesar 496,8 triliun rupiah.

"Angka kemiskinan hanya turun sekitar 2 persen. Jadi mau digelontor bansos atau tidak, tetap saja tidak ada penurunan signifikan atas angka kemiskinan," kata Esther.

Solusi Temporer

Karena itu, Esther menekankan bansos pada dasarnya merupakan jaring pengaman sosial atau social safety net, bukan solusi jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan.

Pemberian bansos, tegasnya, seharusnya berbentuk tunai yang diberikan langsung ke penerima tanpa perantara. Skema ini dinilai lebih efektif untuk mendorong daya beli masyarakat ketimbang memberikan dalam bentuk sembako.

Esther menyoroti pula teknis dari pembagian bansos yang bentuknya berupa sembako. Dia mengatakan di negara lain orang dapat bansos seperti social safety net itu lewat transfer tiap bulannya diambil lewat bank.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top