Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Anggaran - Mahathir Hindarkan Malaysia dari Dampak Negatif Rekomendasi IMF

Pemerintah Mesti Waspada agar Tak Terjadi Skandal BLBI Jilid II

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah mesti mewaspadai manuver kelompok tertentu yang hendak menutupi kegagalan pengelolaan utang swasta antara lain akibat jor-joran kredit sektor konsumtif dan properti yang berpotensi macet. Makanya, mereka mendorong DPR mengusulkan pemerintah ikut menanggung utang swasta.


Apabila usulan itu disetujui, pemerintah dinilai berpeluang mengulang kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis keuangan 1997/1998. Saat itu, negara akhirnya menanggung utang bank gagal akibat kredit macet properti melalui penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan.


Guna mencegah kasus itu terulang, saat ini jika bank gagal lagi, harus dibiarkan gagal dan pelakunya harus bertanggung jawab secara hukum, tidak bisa lagi memakai modus bank sistemik.


Di samping itu, pemerintah juga diminta tidak terus menutupi kejahatan perbankan dalam kasus BLBI agar tragedi kredit macet perbankan jilid dua tidak terjadi.


Ekonom UGM, Fahmi Radhy, mengatakan usulan DPR agar pengelolaan utang swasta dimasukkan dalam APBN bisa menjadi sinyal tentang potensi pecahnya kredit macet perbankan, khususnya dari sektor properti yang outstanding kreditnya mencapai sekitar 800 triliun rupiah.


"Mereka mencoba menggunakan pendekatan kekuasaan. Kalau usul itu disetujui, sama saja rakyat yang tanggung kerugian utang swasta. Kalau untung mereka ambil sendiri. Modus seperti ini sudah terjadi pada 1998 dalam kasus BLBI," papar dia ketika dihubungi, Jumat (7/7).


Fahmi pun mengaku heran, bagaimana usulan sekonyol itu bisa masuk dalam sidang DPR dan pemerintah. Sebab, pengelolaan utang pemerintah saja yang saat ini hampir 4.000 triliun rupiah sudah kedodoran.

Apalagi, jika ditambah dengan kewajiban menanggung utang swasta, misalnya, jika terjadi kredit macet properti di perbankan.


"Kita mau ke mana kalau perbankan kolaps. Apa mau ke Bank Dunia dan IMF? Tentu mereka akan menuntut yang lebih besar lagi ke Indoneisa," ujar dia.


"Walau utang besar saat ini warisan pemerintah sebelumnya. Pemerintah sekarang juga ikut bertanggung jawab. Kalau sampai skandal BLBI terulang lagi, Indonesia akan sulit bangkit," imbuh Fahmi.


Seperti dikabarkan, pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar ) DPR akhirnya sepakat untuk tidak mewajibkan pemerintah menanggung utang swasta.


Fahmi menilai tepat keputusan pemerintah menolak usulan DPR. Menurut dia, negara di seluruh dunia sedang sibuk membenahi diri agar supaya pada kebangkitan ekokomi dunia mendatang mereka ikut terangkat.

Tapi, jika fondasi ekonomi nasional rusak akibat mengulang kebijakan yang salah, akan sulit terangkat oleh pemulihan ekonomi global.


Mengingat potensi ancaman terhadap keuangan negara akibat modus serupa kasus BLBI maka Fahmi mengingatkan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tebang pilih dalam penyidikan kasus BLBI dan kasus korupsi lain yang ditangani.

"Mengapa serangan begitu keras terhadap KPK, karena dinilai tebang pilih dan rakyat tidak akan membela mereka.

Kalau debitor BLBI terbesar dibiarkan gimana?" tukas dia.


Belajar dari Mahathir


Indonesia seharusnya belajar dari mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Mahathir Mohamad, yang berani tegas dan konsisten menjaga nilai tukar ringgit dan menolak formula yang ditawarkan Dana Moneter Internasional (IMF) ketika krisis keuangan menerpa Asia pada 1999.


Di dalam artikel berjudul "Mahathir Still Hates Currency Traders 20 Years After Asia Crisis" yang dilansir Bloomberg pada 5 Juli 2017, disebutkan tidak seperti Thailand dan Indonesia, Malaysia terhindar dari langkah-langkah penghematan IMF yang menyakitkan,

memicu kekacauan politik, mendorong ribuan perusahaan mendekati kebangkrutan, dan menyebabkan jutaan orang miskin.


Di sisi lain, rekomendasi IMF akhirnya menghancurkan perekonomian Indonesia, antara lain karena tiga hal. Pertama, menyebabkan kurs rupiah terjun bebas. Kedua, membuat suka bunga melambung hingga 70 persen. Ketiga, bailout perbankan dalam BLBI.


Akibat BLBI, hingga kini negara terseok-seok sampai utang melonjak berlipat ganda. Dan, itu disebut Mahathir sebagai utang berisiko tinggi, membuat Indonesia seperti kehilangan kedaulatan karena hampir semua kebijakan ekonomi strategis ditentukan oleh kreditur.


"Mahathir membaca pola pikir saat ini dengan benar. Dia mengerti psikologi, dia tidak menyerah pada ketakutan. Dia tahu bahwa jika orang kehilangan kepercayaan kepada bank sentral dan ringgit, berarti Anda sudah pergi," kata Song Seng Wun, ekonom CIMB di Singapura. YK/ahm/SB/WP

Penulis : Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top