
Pemerintah Harus Kurangi Barang Impor dan Lindungi Industri Domestik
Gelombang PHK - Pelambatan Ekonomi Global Bakal Berlangsung Hingga 2030
Foto: antaraJAKARTA - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda industri padat karya di Indonesia, termasuk tekstil dan produk tekstil serta industri elektronik semakin mengkhawatirkan. Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Tim Apriyanto mengatakan berbagai faktor yang menjadi pemicu kondisi itu mulai dari ketidakpastian geopolitik global hingga kebijakan perdagangan dalam negeri yang dinilai tidak berpihak pada industri lokal.
Pelambatan ekonomi global kata Apriyanto bukan sekadar fenomena sesaat, melainkan bagian dari tren pelambatan yang diproyeksikan berlangsung selama dekade 2020-2030. “Faktor utama yang mempengaruhi kondisi industri saat ini adalah ketidakpastian geopolitik global, disrupsi teknologi, serta kejadian luar biasa seperti pandemi dan bencana alam,” katanya.
Selain faktor global, dia juga menyoroti kebijakan perdagangan dalam negeri yang memperburuk kondisi industri tekstil, terutama Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Regulasi itu menghilangkan berbagai hambatan tarif bagi barang impor, yang menyebabkan lonjakan produk impor dari negara-negara seperti Tiongkok, sehingga semakin menekan industri lokal.
- Baca Juga: Banjir Karawang
- Baca Juga: RI Dorong Percepatan Penyelesaian IEU-CEPA dengan Prancis
“Kami melihat kebijakan ini menjadi pukulan telak bagi industri tekstil nasional. Sebelumnya, Permendag Nomor 36 Tahun 2023 sudah menyebabkan penyumbatan 27 ribu kontainer di berbagai pelabuhan besar seperti Tanjung Priok dan Tanjung Emas. Saat pemerintah akhirnya melonggarkan regulasi lewat Permendag 8/2024, justru barang impor jadi membanjiri pasar domestik, mengancam industri dalam negeri yang sudah terpukul akibat permintaan global yang melemah,” terangnya.
Berdasarkan data API, hingga Desember 2024, lebih dari 77 ribu pekerja di sektor industri telah mengalami PHK. Sementara itu, dalam dua bulan pertama 2025 saja, angka PHK sudah mencapai lebih dari 16 ribu pekerja.
“Jika tren ini berlanjut, kita bisa melihat angka PHK mencapai 200 ribu pekerja sepanjang tahun 2025,” tambahnya.
Di Yogyakarta sendiri, tercatat 1.779 pekerja telah mengalami PHK dari 76 perusahaan. Industri tekstil menjadi sektor yang paling terdampak, mengingat sifatnya sebagai industri padat karya yang sangat bergantung pada stabilitas perdagangan internasional.
Menghadapi ancaman PHK yang semakin masif, API DIY mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah strategis guna menyelamatkan industri tekstil dan sektor padat karya lainnya.
“Kami mendesak agar Permendag Nomor 8 Tahun 2024 dicabut dan kembali kepada regulasi sebelumnya, yaitu Permendag 36/2023. Langkah ini penting untuk mengendalikan banjirnya barang impor dan melindungi industri domestik,” katanya.
Selain itu, API juga mengusulkan pemberian subsidi upah bagi pekerja yang terdampak, mirip dengan kebijakan bantuan yang diberikan saat pandemi. “Kondisi saat ini tidak bisa dianggap enteng. Ketidakpastian global masih panjang, dan industri tekstil membutuhkan insentif seperti subsidi upah untuk mempertahankan tenaga kerja mereka,” katanya.
Dari Jakarta, Dosen Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko menuturkan, untuk industri tekstil, nampaknya industri domestik kesulitan berkompetisi dengan negara-negara lain yang unggul karena upah buruh mereka yang rendah.
“Selain itu, kita kalah bersaing dengan Tiongkok yang memanfaatkan skala ekonomi yang besar, sehingga biaya rata-rata produksinya lebih rendah, sehingga harga jualnya lebih murah,” kata Suhartoko.
Apalagi Tiongkok, juga memberikan proteksi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) mereka sehingga mampu bersaing secara internasional, akibatnya salah satu pusat grosir tekstil nasional seperti tanah Abang merasakan dampaknya.
Di industri elektronik katanya, akibat ketidakpastian ekonomi dunia menyebabkan umur penggunaan alat elektronik di negara maju yang biasanya kurang lebih tiga tahun menjadi lebih lama lagi. Dampaknya, permintaan alat elektronik menurun, sehingga volume produksi menurun dan terpaksa perusahaan melakukan PHK karyawan.
Langkah Strategis
Sementara itu, pengamat ketenagakerjaan sekaligus Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan Pemerintah memerlukan langkah strategis demi mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di sektor industri padat karya.
“Saat ini PHK ada di mana-mana, mulai dari Sanken, pabrik piano Yamaha, sampai Sritex. Ini dampaknya sangat terasa (bagi pekerja terdampak PHK), sehingga untuk sektor padat karya ini harus lebih serius, diberikan perhatian khusus,” kata Timboel.
Pemerintah katanya harus benar-benar hadir untuk membuka lapangan kerja baru yang laik bagi masyarakat demi mencegah atau mengurangi defisit angkatan kerja yang selalu terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun.
Defisit papar Timboel bukan hanya karena pesatnya pertumbuhan angkatan kerja dan keterbatasan lapangan kerja, tetapi juga karena masih banyaknya pekerja yang bergantung pada sektor informal yang biasanya tidak terstruktur dan tidak memiliki jaminan sosial.
Berita Trending
- 1 Ini Tujuh Remaja yang Diamankan Polisi, Diduga Terlibat Tawuran di Jakpus
- 2 Cemari Lingkungan, Pengelola 7 TPA Open Dumping Bakal Dipidana
- 3 Bayern Munich Siap Rebut Kembali Gelar Bundesliga
- 4 Indonesia Akan Raup US$4,2 Miliar dari Ekspor Listrik EBT ke Singapura
- 5 Cegah Tawuran dan Perang Sarung, Polrestro Tangerang Kota Dirikan 23 Pos Pantau
Berita Terkini
-
Cerita Natalia Gunawan Lakukan Transformasi Bisnis Sahiku Shoes
-
Tanggul Sungai Cinangka di Purwakarta Jebol, 156 Keluarga Dievakuasi
-
Jelang Delapan Besar Liga 4, Inter Kediri Fokus Benahi Lini Serang
-
Tiga Tips Jaga Sabar Nutrisi Seimbang di Bulan Puasa ala dr. Nadia Alaydrus
-
Curah Hujan Tinggi, Ruas Jalan Cipanas-Citorek Menuju Wisata Negeri di Atas Awan Longsor