Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pemburu Madu di Nepal Hadapi Masa Depan yang Suram karena Perubahan Iklim

Foto : AFP/PRAKASH MATHEMA

Pemburu Madu Liar l Pemburu madu liar dari komunitas etnis Gurung sedang memanen madu halusinogen dari sarang lebah di sebuah tebing di Distrik Lamjung, Nepal, pada 9 Juni lalu. Akibat perubahan pola cuaca dan ancaman lingkungan telah menyebabkan penurunan drastis dalam jumlah sarang dan jumlah madu yang dipanen.

A   A   A   Pengaturan Font

Berbekal tangga tali dan bambu untuk memanjat tebing gunung di Himalaya, para pendaki Nepal yang terampil kerap mengumpulkan madu halusinogen yang sangat mahal, sebuah tradisi perburuan kuno yang masih dilakukan di tengah ancaman degradasi lingkungan dan perubahan iklim yang cepat.

Diselimuti asap untuk mengusir serbuan pertahanan lebah yang sangat berbahaya, Som Ram Gurung, 26 tahun, harus bergelantungan 100 meter (325 kaki) dari tanah, menembus asap pekat demi mendapatkan tetesan madu yang lezat dari bongkahan sarang lebah.

Sepanjang ingatan siapa pun di desa-desa di Distrik Lamjung, mengumpulkan madu sepadan dengan risikonya. Sarang yang menghasilkan "madu gila" yang manis menurut para pengepul madu memberikan sensasi memabukkan dengan sifat psikoaktif ringan yang berasal dari nektar rhododendron yang disukai lebah.

Memanen "madu gila" bukanlah hal yang mudah karena madu dataran tinggi ini berasal dari spesies lebah madu terbesar di dunia, Apis laboriosa, yang menyukai tebing yang sulit dijangkau dan pemburu madu kini pun dihadapkan tantangan ekstra yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya dampak pemanasan global.

Para pemburu madu mengatakan perubahan pola cuaca dan ancaman lingkungan berdampak pada lembah hutan terpencil mereka yang berada 100 kilometer sebelah barat laut Kathmandu. Doodh Bahadur Gurung, 65 tahun, yang mengajari putranya Som Ram berburu madu mengatakan bahwa para pemburu kini telah menyaksikan penurunan drastis dalam jumlah sarang dan jumlah madu yang dipanen.

"Waktu kami masih muda, hampir di semua tebing terdapat sarang lebah karena banyaknya bunga liar dan sumber air," kata Doodh Bahadur. "Tetapi seiring berjalannya waktu, semakin sulit menemukan sarang lebah," imbuh dia.

Dia menyalahkan penurunan jumlah lebah ini karena curah hujan yang semakin tidak teratur, kebakaran hutan, pestisida pertanian, dan pengalihan sungai karena banyaknya bendungan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangunan jalan yang menyertainya.

"Saluran air mengering karena proyek PLTA dan curah hujan yang tidak teratur," kata dia seraya menuturkan bahwa lebah liar lebih suka bersarang di dekat air. "Lebah yang terbang ke peternakan juga menghadapi masalah pestisida yang dapat membunuh mereka," ungkap pemburu madu liar itu.

Dengan curah hujan yang tidak menentu, musim dingin yang lebih kering, dan panas terik, kebakaran hutan pun menjadi lebih sering terjadi. Data pemerintah menunjukkan Nepal sudah berhasil mengatasi lebih dari 4.500 kebakaran hutan tahun ini, hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.

"Kebakaran hutan lebih sering terjadi saat ini. Tidak ada cukup anak muda untuk memadamkan api tepat waktu," keluh Doodh Bahadur. Satu dekade lalu, desanya, Taap, mampu memanen 1.000 liter air setiap musimnya. Namun hari itu, Doodh Bahadur mengatakan bahwa mereka merasa beruntung bisa mendapatkan 250 liter.

Konsekuensi

Laporan para pemburu madu liar ini dikonfirmasi oleh para ilmuwan. Mereka mengatakan kenaikan suhu akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh bahan bakar fosil adalah faktor kuncinya. "Lebah sangat rentan terhadap perubahan suhu," kata spesialis lebah Susma Giri dari Institut Sains Terapan Kathmandu. "Mereka adalah makhluk liar dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan gerakan atau kebisingan manusia, yang secara langsung mempengaruhi lebah liar."

Menurut laporan institusi pembelajaran dan berbagi pengetahuan antarpemerintah regional Pusat Internasional untuk Pengembangan Gunung Terpadu (International Centre for Integrated Mountain Development/ICIMOD) pada Mei lalu mengeluarkan peringatan bahwa setidaknya 75 persen tanaman Nepal bergantung pada penyerbuk seperti lebah.

"Salah satu faktor kunci penurunan populasi lebah adalah perubahan iklim dan hilangnya habitat," kata ICIMOD. "Berkurangnya penyerbukan yang terjadi telah menimbulkan konsekuensi ekonomi yang mengkhawatirkan," imbuh mereka.

Persediaan madu halusinogen yang menyusut menyebabkan harganya melambung tinggi. Padahal dua dekade lalu satu liter madu yang dijual seharga 3,5 dollar AS, namun kini dijual seharga 15 dollar AS.

Di sisi lain, dengan berkurangnya madu maka semakin sedikit anak muda yang ingin mengikuti perburuan tradisional di gunung. Di seluruh Nepal, kaum muda lebih memilih untuk meninggalkan kehidupan pedesaan dan mencari pekerjaan dengan gaji lebih baik di luar negeri.

Menyaksikan semua ini, Doodh Bahadur amat menyesali berkurangnya lebah dan kepergian pemuda. "Kami kehilangan segalanya, dan masa depan tidak pasti dihadapi semua orang," ucap dia. AFP/I-1


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : AFP

Komentar

Komentar
()

Top