Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Energi Hijau I Toshiba Berkomitmen Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca hingga 50% pada 2030

Pemain Utama Sektor Energi Mulai Alihkan Investasi ke EBT

Foto : Sumber: Kementerian ESDM - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» PM Jepang, Yoshihide Suga, menetapkan batas waktu 2050 menjadi negara netral karbon.

» Siemens dan General Electric juga berhenti membangun pembangkit listrik tenaga batu bara.

JAKARTA - Beberapa perusahaan raksasa yang menjadi pemain utama di sektor energi mulai mengalihkan investasinya untuk membangun pembangkit listrik dari Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti tenaga angin, tenaga surya, dan tenaga air.

Raksasa elektronik Jepang, Toshiba, misalnya, dilaporkan tidak akan membangun pembangkit listrik tenaga batu bara lagi, dan mulai beralih ke EBT sebagai upaya mengurangi emisi rumah kaca. Kendati demikian, perusahaan itu tidak langsung menghentikan 10 konstruksi proyek pembangkit listrik tenaga batu bara yang telah berjalan di berbagai belahan dunia.

"Kami akan berhenti menerima pesanan baru untuk membangun pembangkit listrik tenaga batu bara, dan berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 50 persen pada 2030," kata Presiden Toshiba, Nobuaki Kurumatani, kepada wartawan.

Dia mengatakan perusahaannya akan meningkatkan investasi di EBT, termasuk membangun infrastruktur untuk tenaga angin lepas pantai, fasilitas tenaga surya, serta penelitian dan pengembangan di bidang terkait.

Pengumuman Toshiba itu hanya berselang beberapa minggu setelah Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga, menetapkan batas waktu 2050 agar ekonomi terbesar ketiga di dunia itu menjadi negara netral karbon.

Tenggat waktu Suga memperkuat komitmen perubahan iklim Jepang sebelumnya, karena negara itu mengejar ketertinggalan dengan janji serupa yang dibuat bersama negara-negara besar lainnya.

Kurumatani mengatakan peluang bisnis dapat muncul dari Kesepakatan Paris tentang iklim, dengan janji Joe Biden, untuk membawa AS bergabung kembali dalam kesepakatan itu, setelah penarikan oleh Presiden Donald Trump.

"Selain menjual pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga air besar, kami berencana untuk mengalirkan sumber daya kami ke tenaga angin dan memproduksi kincir angin mutakhir," kata Kurumatani.

Bukan Nuklir

Sementara itu, Siemens Energy, dari Jerman, dan General Electric dari AS yang juga sebagai pemain utama di sektor energi, telah membuat komitmen serupa untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru.

Pegiat lingkungan Greenpeace, menyambut baik langkah tersebut, lewat juru kampanye iklim dan energinya Daniel Read. Ia menyebut berita itu menggembirakan, tetapi menekankan bahwa masih banyak pekerjaan yang tersisa.

"Pemisahan total dari batu bara, baik proyek baru maupun yang sudah ada, dan beralih sepenuhnya ke energi terbarukan adalah satu-satunya pilihan yang masuk akal dalam jangka panjang, baik secara finansial maupun lingkungan," katanya dalam sebuah pernyataan.

Read memperingatkan agar tidak mengandalkan tenaga nuklir untuk mencapai emisi bersih nol pada 2050, karena cara itu dinilai bukan alternatif yang layak.

Jepang, yang merupakan penandatangan kesepakatan Iklim Paris, telah berjuang untuk mengurangi emisi karbon setelah menutup reaktor, pasca-insiden pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima pada 2011.

Kebergantungan pada bahan bakar fosil seperti batu bara meningkat setelah itu, karena publik marah atas kecelakaan itu, membuat semua reaktor negara itu mati sementara. Sebanyak 140 pembangkit listrik tenaga batu bara Jepang menyediakan hampir sepertiga dari total pembangkit listriknya.

Batu bara adalah metode pembangkit listrik terbesar kedua setelah pembangkit listrik tenaga LNG, yang menyediakan 38 persen kebutuhan negara. Pada Rabu, juru bicara pemerintah, Katsunobu Kato, mengatakan bahwa mengejar netralitas karbon akan membawa keuntungan ekonomi dan lingkungan.

"Pengambilan langkah mengatasi pemanasan global tidak lagi menghambat pertumbuhan, tetapi menjadi sumber persaingan bagi perusahaan," katanya.

Sementara itu, Peneliti Energi dari Alpha Research Data Base Indonesia Ferdy Hasiman mengingatkan pemerintah dan DPR agar serius memikirkan tren kebijakan peralihan energi global ke EBT.

"Terjemahkan itu dalam RUU EBT, sebab, pernyataan Joe Biden itu mengindikasikan dan PM Jepang akan membuat pasar energi global akan berubah drastis. RI jangan sampai kalah langkah,"kata Ferdy. n SB/ers/AFP/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini, AFP

Komentar

Komentar
()

Top