Pefindo: Obligasi Korporasi Jatuh Tempo pada Kuartal IV-2024 Capai Rp42,37 Triliun
Karyawan berjalan dengan latar belakang layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (18/10/2024).
Foto: ANTARA FOTO/ Aprillio AkbarJAKARTA - Kebutuhan refinancing atau pembiayaan kembali bagi korporasi masih cukup tinggi pada kuartal IV-2024. Indikasinya nilai surat utang (obligasi) korporasi yang jatuh tempo mencapai 42,37 triliun rupiah sampai akhir 2024.
Lanjutnya, kebutuhan refinancing juga akan didorong oleh aktivitas sektor riil yang masih solid, dengan permintaan tetap kuat dan stabil, yang mana ekonomi nasional diproyeksikan tumbuh 4,8 sampai 5,2 persen, dengan inflasi di rentang 2,0 sampai 3,5 persen.
"Sisi lainnya pun Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak akan menjadi faktor pendorong utama," ujar Kepala Divisi Pemeringkatan Non-Jasa Keuangan 1 PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Martin Pandiangan dalam konferensi pers Pefindo di Jakarta, Kamis (24/10).
Dia melanjutkan, kebutuhan refinancing juga akan didorong oleh siklus kebijakan moneter yang telah memasuki fase pelonggaran, yang diperkirakan akan menjadi sentimen positif dan memantapkan rencana perusahaan untuk melakukan refinancing.
Kemudian, lanjutnya, premi risiko berpeluang menurun seiring siklus suku bunga acuan yang mulai melonggar, yang mana menurunkan leverage keuangan perusahaan.
"Kondisi wait and see yang relatif mereda. Kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) usai dan pasar sedang menantikan rencana implementasi program dan struktur kabinet baru, terutama pada pos-pos kementerian kunci," ujar Martin.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa likuiditas lembaga keuangan yang semakin ketat seiring meningkatnya penyaluran kredit, akan mendorong pencarian alternatif pendanaan lain seperti melalui obligasi korporasi.
Sementara itu, untuk tantangan penerbitan obligasi korporasi sampai akhir tahun 2024, diantaranya risiko geopolitik yang masih tinggi akan membuat volatilitas pasar masih belum sepenuhnya mereda.
Kemudian, lanjutnya, potensi pelemahan konsumsi dan investasi akibat suku bunga acuan tinggi yang sebelumnya dijaga dalam waktu yang cukup lama, yang menurunkan daya beli dan meningkatkan biaya ekspansi.
"Prospek suku bunga yang akan lebih rendah ke depan bisa saja membuat emiten cenderung menunda penerbitannya atau melakukan downsizing terlebih dahulu," ujar Martin.
Lebih lanjut, dia menyebut perusahaan tercatat berperingkat rendah (sekitar BBB) cenderung lebih hati-hati untuk menerbitkan surat utang, karena premi yang diminta oleh investor terhadap surat utang berperingkat rendah cenderung lebih tinggi karena dianggap lebih berisiko, yang membuat biaya dana mereka menjadi lebih mahal.
"Lalu, risiko substitusi dari instrumen yang memiliki karakteristik hampir serupa (bahkan cenderung risk-free) dan menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi seperti SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia)," ujar Martin.
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Ditjen Hubdat Lakukan Sosialisasi Keselamatan pada Pengemudi Angkutan Barang
- Dazul Herman Pimpin PT. Krakatau Sarana Properti
- Hari Terakhir Kampaye Pilkada
- InJourney Airports Raih Rating Platinum di Asia Sustainability Reporting Rating 2024
- Bappenas Targetkan Pertumbuhan Ekonomi Sasar Kelompok Bawah