Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perubahan Iklim I Batu Bara Harus Dihapus secara Bertahap

PBB Melarang Pembangunan PLTU

Foto : MICHAEL TEWELDE/AFP

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres

A   A   A   Pengaturan Font

» Dunia harus membantu negara-negara berkembang mempercepat transisi energi.

» Penurunan emisi karbon pembangkit listrik mencapai 210,37 persen dari target tahun lalu sebesar 4,92 juta ton.

DAVOS - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melarang negara-negara anggotanya membangun lagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Larangan itu sebagai bentuk komitmen dunia untuk mengantisipasi perubahan iklim.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, ketika dalam pidato khusus pada World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, secara virtual, Senin (17/1), menyerukan para pihak untuk mempercepat penghapusan batu bara secara bertahap dan mencabut subsidi untuk bahan bakar fosil.

"Ini harus menjadi prioritas kita semua, menghapus batu bara secara bertahap," kata Guterres.

Dalam pidatonya, dia kembali menyuarakan beberapa isu perubahan iklim yang telah dirumuskan selama konferensi COP26 di Glasgow, Skotlandia, beberapa bulan lalu. Secara khusus, ia mendorong agar dunia membantu negara-negara berkembang mempercepat transisi tersebut.

"Kami telah meminta Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok membuat kesepakatan yang saya harap akan memberi Tiongkok teknologi yang lebih memadai untuk mempercepat transisi dari batu bara," pungkas Guterres.

Berkaitan dengan pengurangan emisi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan sektor pembangkit listrik di Indonesia mampu memangkas 10,37 juta ton emisi karbon sepanjang tahun 2021.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana, mengatakan penurunan emisi karbon pembangkit listrik itu mencapai 210,37 persen dari target yang ditetapkan tahun lalu sebesar 4,92 juta ton.

"Kami terus mengupayakan emisi karbon untuk ditekan. Dari target 2021, kami mencatat lebih dari 200 persen capaiannya," kata Rida dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (18/1).

Sebagai perbandingan, pada 2020, Kementerian ESDM menargetkan angka penurunan emisi karbon di pembangkit listrik sebesar 4,71 juta ton. Namun, realisasi penurunannya justru sebanyak 8,78 juta ton atau tercapai 186 persen dari target yang ditetapkan saat itu.

Adapun pada 2022, Kementerian ESDM menargetkan penurunan emisi karbon pembangkit listrik sebesar 5,36 juta ton. Dalam rangka menurunkan emisi karbon, pemerintah berkomitmen mendorong transisi energi menuju netralitas karbon pada 2060 atau lebih cepat.

Kementerian ESDM pun telah menyusun prinsip pelaksanaan netralitas karbon dan peta jalan transisi energi, salah satunya melalui penerapan pajak karbon dan perdagangan karbon.

Perbesar Porsi EBT

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (Meti), Surya Darma, berharap pemerintah mengakselerasi penurunan emisi karbon dari sektor ketenagalistrikan. Dia pun berharap agar pembangkit EBT semakin diperluas agar porsinya dalam bauran energi sebesar 23 persen pada tahun 2025 bisa tercapai.

"Seharusnya ada evaluasi menyeluruh terhadap kesiapan dan upaya pembangunan energi terbarukan agar ketahanan energi makin baik," kata Surya.

Pembangunan energi terbarukan akan bisa terealisasi, jika hambatan yang selama ini dipersoalkan diselesaikan misalnya soal harga energi, dan perlunya kepastian usaha serta proses pengadaan energi terbarukan. Berkaitan dengan pensiun lebih dini PLTU, dia mengatakan sebenarnya sudah sesuai dengan tuntutan jaman. "PLTU yang belum dibangun jangan dibangun lagi. Buat saja pembangkit energi terbarukan untuk program listrik yang baru," katanya.

Sementara itu, Direktur Energi Watch, Mamit Setiawan, mengatakan bahwa sesuai dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon 29 persen pada 2030, maka langkah yang saat ini dilakukan harus bener-benar dioptimalkan.

"Target bauran energi juga harus berjalan sesuai dengan roadmap yang ada. Jika tidak maka target net zero emision 2060 akan semakin berat," kata Mamit.

Apalagi Indonesia, kata Mamit, dipandang sulit mencapai target net zero emission pada 2060 jika tidak mendapat bantuan dari negara-negara maju. Sebab untuk migrasi besar-besaran ke energi hijau memerlukan pengusahaan dan permodalan yang cukup besar untuk mencapai target tersebut.

"RI perlu bantuan dari negara lain dan komitmen negara lain harus di implementasikan. Jika kita sendiri, sulit buat dicapai. Janji bantuan negara maju senilai 1.400 triliun rupiah setiap tahun untuk negara berkembang harus ditagih," kata Mamit.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top