Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Pahlawan Zaman "Now"

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Bung Karno mengatakan, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya." Kalimat ini kembali terngiang menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November 2018, hari ini. Hari Pahlawan ke-73 ini teringat pengorbanan para patriot bangsa. Arek-Arek Suroboyo yang pemberani bertempur melawan pasukan Sekutu.

Komandan pasukan Sekutu, Brigadir Jenderal AWS Mallaby, tewas dalam pertempuran di Gedung Internatio, Surabaya. Hari Pahlawan dan Surabaya ibarat dua sisi mata uang. Di Surabaya, Kota Pahlawan, berdiri Tugu Pahlawan untuk mengenang perjuangan Arek- Arek Suroboyo.

Mereka bersama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempur mati-matian mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang baru berusia dua bulan lebih. Pasukan Sekutu dari Brigade 49 mendarat di Tanjung Perak, Surabaya 25 Oktober dipimpin Mallaby. Saat itu, Sekutu menjamin tidak ada pasukan Belanda membonceng, Tugas pasukan Sekutu hanya melucuti tentara Jepang.

Tapi ternyata, Sekutu melanggar kesepakatan, melakukan tindakan provokasi. Pada 27 Oktober 1945, pasukan Sekutu menduduki Tanjung Perak, menyerang penjara Kalisosok untuk membebaskan seorang kolonel Belanda. Mereka juga menduduki Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan tempat-tempat penting lainnya.

Mereka harus berhadapan dengan pemuda, TKR. Pasukan Sekutu marah besar mengetahui Mallaby tewas, lalu menambah pasukan dan menuntut pembalasan. Komandan pasukan Sekutu Mayor Jenderal, EC Mansergh, mengultimatum agar pemerintah, pemuda, TKR menyerah dan melapor sebelum pukul 06.00 pada 10 November 1945.

Dari pesawat Sekutu menyebarkan pamflet berisi perintah tersebut. Tapi ultimatum tidak dipedulikan. Sutomo (Bung Tomo), orator, membakar semangat Arek-arek Suroboyo melalui pidato radio agar melawan ultimatum.

Kesadaran Kolektif

Apa makna heroisme Arekarek Suroboyo? Ini adalah kesadaran kolektif bersumber dari kelompok pemuda, TKR, relawan untuk mempertahankan kemerdekaan dan bendera Merah Putih. Kesadaran kolektif ini tak mungkin ditawar. Kesadaran kolektif tumbuh lantaran Arek-arek Suroboyo merasa ketidakadilan terhadap Indonesia.

Baru merdeka dari Jepang, diganggu lagi pasukan Sekutu. Dalam mindset pasukan Sekutu, Indonesia tidak punya persenjataan mesin sehingga akan mudah dipukul mundur dan dikalahkan. Sekutu lupa bahwa pemuda di Surabaya memiliki harga diri dan bangga sebagai bangsa Indonesia. Ultimatum Sekutu dilawan dengan pertempuran.

Malahan Arek-arek Suroboyo merespon dengan pertempuran. Poin penting di sini para pemuda mencintai negara, kemerdekaan, dan Merah Putih. Mereka mempunyai seorang pemimpin, Bung Tomo yang membakar semangat melawan Sekutu. Pemaknaan penting dari heroism pemuda antara lain, tumbuh kesadaran kolektif.

Mereka berjuang heroik untuk mempertahankan kemerdekaan dan Merah Putih. Kemudian, tercipta tanggung jawab, partisipasi dan kepercayaan. Tanggung jawab atau komitmen kuat mempertahankan kemerdekaan, membangkitkan kesadaran setiap pribadi dan kelompok. Ini kemudian menjelma menjadi kesadaran bersama untuk mengusir Sekutu dari Bumi Pertiwi.

Kaum muda memiliki kepercayaan antarsesama. Tidak ada pengkhianatan di antara mereka. Mereka setia dan patuh pada pemimpinnya. Mereka percaya perjuangan akan membuahkan hasil gemilang. Tanggung jawab, partisipasi, kepercayaan merupakan modal sosial melawan Sekutu. Semua bahu-membahu dan ambil peran.

Petugas palang merah merawat korban. Perempuan memasak di dapur menyiapkan ransum. Pemuda berlaga di medan pertempuran. Berbagai peran diperankan sebaik mungkin. Terlebih di tengah mereka hadir seorang yang berani mati, setia pada NKRI, berjuang tanpa pamrih seperti Bung Tomo. Para pahlawan memiliki visi dan misi perjuangan bagi Indonesia, bukan untuk diri sendiri, keluarga, dan golongan.

Adakah pahlawan zaman now? Ketika Nawacita akan diterapkan (akhir 2014) Indonesia memiliki lima masalah besar yang harus dibenahi. mereka adalah merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendi perekonomian nasional, merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa, kebebasan berpendapat yang kebablasan, dan masalah etos kerja dan budaya yang semakin menurun.

Masalah besar tersebut merupakan "PR" seluruh bangsa dan negara untuk mereduksi, memperbarui demi kemajuan NKRI. Dalam demokrasi, Diasma Sandi Swandaru, Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM mengatakan, demokrasi yang berkembang di Indonesia selama ini dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang mengedepankan musyawarah untuk mufakat demi kepentingan bangsa negara.

Demokrasi di sini dianggap liberal dan kebablasan. Budaya malu, misalnya, tak selamanya baik, tapi juga tak selamanya buruk, tergantung pada penempatan. Rasa malu yang terlahir dari keyakinan bahwa itu tidak sesuai dengan adat ketimuran, sopan santun, wajib dilestarikan. Terasa miris, ada elite politik yang antipemerintahan, antipresiden.

Mereka kebablasan berkomentar dan sengaja menyebarluaskan opini salah. Presiden Joko Widodo dibilang PKI, diminta tes DNA. Kepribadian luhur bangsa terasa pelan-pelan tergerus seperti budaya malu. Padahal boleh jadi budaya malu yang membuat masyarakat dulu terkenal santun dan beradab.

Rasa malu yang tergerus, terlihat. Beberapa caleg yang "naik kelas" berstatus anggota parlemen 2014-2014 mempraktikkan rasa tidak tahu malu, berebutan kursi DPR. Logis, puluhan anggota DPR menjadi tersangka, dipenjara karena korupsi, menerima suap, atau memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri.

Beberapa bupati/wali kota tertangkap OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bangsa bersyukur masih banyak rakyat tetap menjalankan peran sesuai dengan tugasnya, berpartisipasi memajukan NKRI sembari menjauhi KKN. Rakyat bangga memiliki atlet Asian Games, atlet Para Games penyumbang medali mas.

Mereka hebat mengharumkan Indonesia. Masyarakat bangga pada anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana), relawan PMI, prajurit TNI/Polri, relawan lainnya yang bertugas 24 jam di dapur umum. Mereka bekerja di tengah reruntuhan bangunan demi kemanusiaan. Mereka melayani pengungsi gempa bumi di Lombok, Palu, Donggala, Sigi dan tempat lain.

Ribuan petugas dan relawan mencari korban pesawat Lion Air yang jatuh di Tanjung Kerawang. Warga bangga dedikasi tulus penjaga mercusuar di pulau terdepan dan terluar, pendamping PKH, pendamping dana desa, dokter, bidan, perawat, tentara, polisi, ASN yang dedikatif dan setia menjalankan tugas.

Mereka telah menorehkan jejak tak ternilai. Mereka pahlawan zaman now milik bangsa. Ikuti dan hormati jejak perjuangan mereka mengisi pembangunan dan misi kemanusiaan. Tugas bersama, menciptakan sebanyak mungkin para pahlawan zaman now agar Indonesia makin maju dan sejahtera.

Abraham Fanggidae, Magister Kesejahteraan Sosial

Komentar

Komentar
()

Top