Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Optimalkan BIG Guna Atasi Longsor

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Totok Siswantara

Bencana tanah longsor mestinya bisa diantisipasi secara sistemik agar meminimalkan korban jiwa atau harta benda. Untuk mengantisipasinya diperlukan sistem peringatan dini. Personel di lapangan mesti dilengkapi perangkat pendukung seperti data spasial. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat mencatat, selama Januari-November 2018 terjadi 1.399 bencana alam di Jawa Barat yang didominasi tanah longsor.

Dari 1.399 bencana alam, 452 tanah longsor, 416 kebakaran hutan, 260 puting beliung, 123 banjir, 141 kebakaran lahan, lima gelombang pasang, dan dua gempa bumi. Untuk mitigasi dan penanganan pascabencana longsor diperlukan informasi geospasial. Maka, di masa mendatang peran Badan Informasi Geospasial (BIG) semakin penting. Selama ini, pemerintah daerah kurang memanfaatkan peta dan analisis BIG untuk usaha mitigasi bencana alam, khususnya longsor.

Peran BIG sangat penting dalam membantu mitigasi bencana alam dan pascabencana. Setelah longsor, peran BIG sangat menentukan dengan ujung tombak Satuan Reaksi Cepat (SRC) Kebencanaan BIG. Sesaat setelah terjadi bencana longsor, SRC-BIG harus di lokasi kejadian. Dia bekerja sama dan berkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan penanggulangan bencana. Di antaranya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan SAR Nasional (Basarnas), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Perum Perhutani, TNI, POLRI serta berbagai relawan.

Langkah pertama tim SRC-BIG melakukan kegiatan rapid mapping di lokasi bencana tanah longsor dengan orientasi medan lokasi bencana. Setelah dilakukan diskusi terkait lokasi bencana secara umum, tim SRC-BIG kemudian menentukan peta rencana kerja berdasar orientasi medan dan data informasi geospasial (IG) yang sudah dipersiapkan.

Biasanya, data IG yang digunakan berupa Peta Morfometri Nasional dengan skala 1:250.000 dan data kontur peta Rupabumi skala 1:25.000 di sekitar lokasi bencana alam tanah longsor. Dari data IG tersebut didapat informasi lokasi bencana alam tanah longsor beserta data kemiringan lereng. Kemudian digambarkan bentuk atau bidang mahkota kelongsoran pada kelas kemiringan lereng tertentu, serta daerah terdampak longsor di lahan kemiringan landai.

Setelah memiliki data yang cukup sebagai bekal untuk melakukan akusisi daerah terdampak bencana longsor, tim SRC-BIG kemudian menentukan jalur terbang dan titik awal terbang untuk wahana udara nirawak atau pesawat drone untuk proses akuisisi data. Setelah posisi mahkota berhasil diidentifikasi dengan drone, tim SRC-BIG bersama personel penanggulangan bencana lainnya melakukan perjalanan darat menggunakan trek buatan menuju titik terdekat lokasi mahkota longsor.

Sesampainya di lokasi, tim SRC-BIG beserta personel penanggulangan bencana yang lain melakukan penyisiran lokasi di sekitar area mahkota longsor. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan kegiatan akuisisi data yang akan dilakukan tim SRC-BIG dari potensi longsor susulan karena rekahan tanah.

Data hasil akuisisi tersebut diproses secara langsung untuk dibuatkan mozaik dan diolah menjadi informasi geospasial berupa orthofoto yang lengkap dengan informasi Digital Surface Model (DSM). Hasil inilah yang diserahkan kepada tim penanggulangan bencana sebagai bahan koordinasi kegiatan mitigasi dan rehabilitasi pascabencana.

Selama ini, pemerintah daerah belum bisa bekerja secara teliti dan analitis mendalam untuk menemukan informasi penting data spasial yang berpotensi menyebabkan bencana seperti tanah longsor. Masih banyak birokrat yang malas melakukan inspeksi dan pengamatan langsung lapangan, sehingga mitigasi bencana longsor sering kedodoran.

Untuk mengatasi lemahnya mitigasi tersebut dibutuhkan personel yang bisa terjun langsung mengamati secara teliti terhadap lereng atau perbukitan yang rawan longsor. Selain itu, perlu pengetahuan ilmu geologi secara praktis seperti masalah kestabilan lereng menggunakan parameter-parameter kekuatan tanah, batuan, sudut lereng, iklim, dan vegetasi.

Kemudian, juga perlu ditambahkan pengetahuan kepada para personel agar bisa melakukan monitoring secara cermat melalui pemasangan alat-alat pemantau tinggi permukaan air tanah (piezometer), kecepatan gerakan tanah (extensometer), dan arah gerakan tanah (inclinometer). Pengetahuan dalam bidang pemantau kestabilan lereng banyak manfaatnya seperti untuk konservasi alam dan bidang kehutanan. Pemahaman tentang kestabilan lereng, proses-proses yang mengakibatkan runtuhnya dinding juga tak kalah penting. Kemudian, perlu menganalisis sudut lereng yang aman, penirisan air di lereng pit, pemantauan kondisi lereng secara visual maupun peralatan.

Ketidakmampuan birokrasi daerah untuk menemukan faktor-faktor penting data spasial mesti segera diatasi. Berbagai varian data spasial dasar seperti land cover atau peta tutupan lahan, daerah aliran sungai, kejadian banjir, kondisi curah hujan, peta rupa bumi, sistem lahan, sangat berguna untuk mitigasi bencana yang bisa meminimalkan risiko bencana geologi. Begitu juga dengan data yang terkait dengan peta rawan banjir dan tanah longsor dikonsolidasi dengan baik.

Belum Tuntas

Selama ini, data spasial yang sudah dibangun pemerintah pusat dan daerah dengan biaya besar, ternyata belum tuntas, sehingga sulit diolah menjadi solusi praktis usaha mitigasi bencana. Padahal pemerintah pusat dan daerah sudah banyak mengeluarkan dana dan tenaga untuk membangun Infrastruktur Data Spasial Daerah (IDSD). Namun, hasilnya masih belum bisa dipertanggungjawabkan secara optimal, bahkan tidak sedikit yang sia-sia.

Data spasial secara sederhana dapat diartikan sebagai data yang memiliki referensi keruangan atau geografi. Setiap bagian dari data tersebut menggambarkan suatu fenomena dan dapat menginformasikan lokasi serta persebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang atau wilayah.

Apabila dikaitkan dengan cara penyajian data, maka peta merupakan bentuk atau cara penyajian data spasial paling ideal. Data spasial juga bisa diintegrasikan dengan sistem kependudukan. Dengan ini, andai terjadi bencana, korban bisa diidentifikasi dengan baik.

Untuk membangun infrastruktur IDSD perlu diperhatikan dalam rangka institusi, kelompok data dasar, standar teknis, dan jaringan akses data. Selain itu, juga diperlukan skala peta yang sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan. Contoh, pada tingkat provinsi, skala 1:10.000 untuk data spasial dasar dan skala 1:25.000 untuk data spasial tematik.

Seringnya bencana alam gempa bumi, banjir, kekeringan dan tanah longsor akhir-akhir ini sangat membutuhkan peta tematik dengan prioritas tema kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah dan tata guna lahan. Hal itu untuk memperkokoh upaya mitigasi bencana geologi, khusunya longsor.

Penulis Meminati Isu Infrastruktu

Komentar

Komentar
()

Top