Negara Harus Menginisiasi Pengurangan Impor
Foto: Sumber: BPS – Litbang KJ/and - KJ/ONESJAKARTA - Pemerintah kembali mengingatkan para penjabat baik, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda) agar tidak menggunakan pendapatan negara yang telah susah payah dikumpulkan, dibelanjakan dengan membeli barang impor.
Para birokrat pun diminta agar lebih memprioritaskan belanja produk dalam negeri. Sebab, jika tetap mengutamakan produk impor, belanja negara tidak dapat memberikan faktor pemacu kegiatan ekonomi masyarakat terutama sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
"Jangan sampai uang, pendapatan yang kita kumpulkan dari pajak, retribusi, dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dari royalti, dari deviden di BUMN, dari bea ekspor, dari PPN, PPh (pajak penghasilan) badan, PPh karyawan dikumpulkan, sangat sulit mengumpulkan itu menjadi APBN menjadi APBD, kemudian kita belanjanya barang impor," kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berpidato dalam Pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Korpri, Jakarta, Selasa (3/10).
Jika kurang memprioritaskan produk lokal, belanja tidak akan memiliki trigger ekonomi terhadap produk-produk yang dihasilkan UMKM. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan di dalam negeri malah memberikan trigger ekonomi kepada negara lain. "Apakah benar seperti ini? Ini saya ingatkan," ujar Jokowi.
Presiden mengaku sedih jika pendapatan negara yang dikumpulkan di APBN dan APBD, serta penyertaan modal ke BUMN, digunakan untuk membeli barang impor. "Nggak benar, mengumpulkan (pendapatan negara) sangat sulit, belanjanya yang menikmati mereka (perusahaan asing). Sedih saya," kata Presiden.
Dikatakan, per posisi Selasa ini, realisasi belanja produk dalam negeri di APBN baru 69 persen, sedangkan APBD 56 persen. "APBD lebih rendah lagi 56 persen, nggak tahu yang dibeli ini apa kok baru 56 persen. Realisasi belanja produk dalam negeri, kita pantau terus sekarang ini sudah gampang sekali dengan adanya digital," kata Presiden.
Terus Berjalan
Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, yang diminta pendapatnya mengatakan pidato Presiden itu bukan untuk pertama kali. Namun demikian, impor tetap terus berjalan terus, baik itu impor bahan bakar, minyak bumi, bahan baku plastik, komunikasi, dan lain-lain.
"Per september misalnya, pemerintah impor beras mencapai 1,5 juta ton. Artinya, perintah dan imbauan Presiden belum dijalankan. Pemerintah memang semestinya fokus belanja APBN dan APBD untuk produk dalam negeri, sebagaimana yang selama ini digaungkan," tegas Badiul.
Komitmen pemerintah itu sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui optimalisasi penggunaan produk-produk dalam negeri, sehingga ada nilai yang diterima oleh masyarakat atas pajak yang dibayarkan secara lebih baik.
Sementara itu, Wakil Rektor Tiga, Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, mengatakan penguatan perekonomian dengan pengurangan impor memang harus diinisiasi oleh negara agar menjadi gerakan nyata yang diikuti oleh segenap lapisan.
"Pernyataan ini sejalan dengan semangat pengetatan, penghematan, dan efisiensi belanja negara dengan mengutamakan belanja produksi dalam negeri agar daulat ekonomi kian mandiri," kata Surokim.
Sebab itu, sangat penting untuk melaksanakan berbagai upaya penguatan belanja produksi dalam negeri agar sejauh mungkin bisa berdikari dalam bidang ekonomi dan bisa mengurangi ketergantungan terhadap barang impor. Jika benar-benar dijalankan, ini juga akan menguatkan produksi dalam negeri sehingga akhirnya punya daya saing.
"Kita semua tahu, tiap negara terus mengimbau agar warganya sekarang membantu mengencangkan semangat penghematan agar dapat memperkuat ketahanan ekonomi dalam negeri dengan mengurangi konsumsi barang impor, dan itu akan kuat jika bisa dimulai dari belanja negara," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam Rakernas IV PDIP mengimbau agar Indonesia mengurangi impor.
Contohnya, konsumsi gandum telah naik siginifkan dari 4 persen di 1970 menjadi 28 persen di 2022. Padahal ternyata tanaman gandum bukanlah tanaman yang dapat tumbuh di alam tropis kecuali ada rekayasa genetika. Tentu uji coba ini makan waktu lama, akibatnya Indonesia makin bergantung dan konsumsi gandum akan meningkat menjadi 50 persen pada 2030.
Ketergantungan terhadap suplai pangan dunia juga tampak pada impor pangan yang mencapai 300 triliun rupiah per tahun. "Dalam keadaan global warming sekarang, kalau negara eksportir pangan tidak mau mengeluarkan hasil buminya, lalu pertanyaannya, bagaimana kehidupan kita," katanya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Genap 70 Tahun, Ini 5 Film Godzilla Kurang Terkenal yang Juga Perlu Ditonton
- Haris Azhar Temukan Data Dugaan Politisasi Hukum di Pilkada Banten
- Ini Rekomendasi Liburan Akhir Pekan di Jakarta, Ada Konser K-pop 2NE1
- Kemenparekraf Aktivasi Keep the WonderxCo-Branding Wonderful Indonesia
- UMP DKI Jakarta 2025 Diumumkan Setelah Pilkada