Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Reformasi Pangan dan Energi I Kemandirian Pangan Tolok Ukur Utama Jaga Akses Pangan

Negara Harus Jamin Akses Pangan dan Energi Masyarakat

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Dalam menghadapi tantangan global dan kebutuhan domestik yang terus meningkat, kemandirian pangan dan transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) menjadi isu krusial bagi Indonesia. Dua hal itu adalah salah satu dari tujuh kunci kebangkitan Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyatnya. Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, yang diminta pendapatnya di Yogyakarta, Jumat (6/9), mengatakan reformasi kebijakan sektor pangan energi itu penting untuk memastikan ketahanan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Kemandirian pangan harus menjadi prioritas utama pemerintah karena populasi Indonesia yang mencapai 280 juta jiwa. "Kemandirian pangan yang berkeadilan harus menjadi tujuan utama kebijakan negara. Artinya, negara harus mampu menjamin kemampuan masyarakat untuk mengakses pangan yang cukup baik dari segi kuantitas maupun kualitas," kata Dwijono. Hal ini berarti, Indonesia harus fokus pada pemenuhan kebutuhan pangan secara mandiri, bukan bergantung pada impor.

Keberpihakan negara terhadap sektor pangan sangat penting dalam menghadapi terus meningkatnya jumlah penduduk. "Idealnya, kemandirian pangan menjadi salah satu tolok ukur utama dalam menjaga akses pangan bagi seluruh rakyat.

Oleh karena itu, penguatan sektor pertanian harus menjadi prioritas, termasuk perbaikan sarana dan prasarana seperti irigasi dan subsidi pupuk yang tepat sasaran, langsung kepada petani," jelasnya. Kebergantungan pada impor pangan hanya akan memperburuk situasi ketika harga pangan global naik atau terjadi krisis pangan. Oleh karena itu, diperlukan reformasi besar-besaran dalam sektor pertanian, mulai dari perbaikan infrastruktur hingga peningkatan kapasitas produksi domestik.

"Indonesia perlu memperkuat pertanian lokal dan memaksimalkan potensi sumber daya alamnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri secara mandiri," katanya. Sementara itu, pakar Sosiologi Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, mengatakan upaya mencapai kemandirian pangan dan EBT harus mendahulukan keberpihakan pada masyarakat kelas bawah, supaya sejalan dengan program pengentasan kemiskinan pemerintah. "Untuk pemenuhan pangan tentu saja yang harus didahulukan adalah diambil dari hasil petani kita sendiri, bukan impor.

Karena dengan menyerap pangan lokal, otomatis ekonomi desa akan menggeliat, menguatkan daya beli petani dan warga desa lainnya," kata Bagong. Efek domino dengan memprioritaskan pangan lokal akan luas sekali karena mayoritas penduduk kita ada di desa yang selama ini dianggap menjadi basis kemiskinan.

Dengan daya beli masyarakat desa menguat maka konsumsi akan naik, pertumbuhan yang dicapai akan lebih berkualitas. Begitu pula dengan energi terbarukan, jangan sampai impor karena jika bisa diusahakan sendiri akan membantu membuka lapangan kerja baru. Jika impor, selain harganya akan tergantung kurs yang cenderung selalu naik bila ada gejolak, akan menghambat adopsi EBT oleh masyarakat menengah ke bawah karena dianggap mahal.

Kemandirian Nasional

Pada kesempatan terpisah, anggota Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia (IALHI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Andi Sungkowo, mengatakan bahwa transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) juga menjadi kunci penting dalam mencapai kemandirian nasional. "Indonesia memiliki sumber daya energi terbarukan yang melimpah, seperti tenaga surya, angin, dan panas bumi. Namun, hingga saat ini, pemanfaatannya masih sangat minim dibandingkan dengan potensi yang ada," ungkapnya.

Pemerintah harus segera beralih dari ketergantungan pada bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan untuk mengurangi beban pada APBN yang terus tersedot oleh subsidi bahan bakar minyak (BBM). "Setiap tahun, subsidi energi membebani APBN, tahun ini sekitar 204,5 triliun rupiah dan tahun depan sekkitar 203,4 triliun rupiah. Ini angka yang sangat besar yang menguap dan tidak produktif. Dengan transisi ke EBT, kita bisa menghemat anggaran ini dan mengalihkannya ke sektor lain yang lebih produktif," jelasnya.

Selain itu, transisi menuju EBT juga menjadi langkah penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. "Energi terbarukan adalah solusi jangka panjang untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Indonesia, dengan potensi energi terbarukannya yang besar, harus memimpin dalam transisi ini, bukan hanya untuk mengurangi emisi karbon, tetapi juga untuk menciptakan kemandirian energi nasional," tambah Andi. Dengan dukungan kebijakan yang kuat dan investasi yang cukup, Andi yakin bahwa Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam energi terbarukan di kawasan Asia Tenggara.

"Ini bukan hanya soal keberlanjutan lingkungan, tapi juga tentang kemandirian energi yang akan memberikan manfaat besar bagi perekonomian nasional di masa depan," tuturnya. Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, menegaskan pemerintah memang harus mereformasi kebijakannya di sektor pangan demi menghindari kebergantungan dari impor pangan yang menyedot devisa negara sangat besar. "Hal yang harus dilakukan yakni optimalisasi pangan lokal yang didukung dengan kebijakan produksi, tata niaga, dan konsumsi yang memperkuat kelembagaan petani," kata Awan.

Butuh Revolusi Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan jangan-jangan yang dibutuhkan Indonesia di sektor pangan energi adalah revolusi. Sebab, kenyataanya Indonesia sudah sangat dalam berada pada kondisi yang tidak ideal dan jauh dari cita-cita pendiri bangsa yang mengarahkan bangsa ini berdiri di atas kakinya sendiri, atau dengan kata lain harus tahan dan berdaulat pangan.

"Perubahan fundamental perlu dilakukan. Dimulai dari perubahan kebijakan yang liberal menjadi lebih protektif pada pertanian dalam negeri. Dari menempatkan petani sebagai alat produksi menjadi subjek penting. Menempatkan kesejahteraan petani jadi prioritas nya," tegas Said. Tentu saja penguatan tata kelola dan penegakan hukum, pemberantasan mafia, jadi faktor kemungkinannya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top