Negara Berkembang Perlu Pendanaan Iklim yang Tidak Membebani Ekonomi
Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira.
Foto: AntaraJAKARTA - Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan negara-negara berkembang membutuhkan pendanaan iklim yang tidak membebani perekonomian, termasuk dalam skema pembiayaan yang disepakati di Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29).
Dalam keterangan diterima di Jakarta, Selasa (26/11), Bhima Yudhistira menyebut mekanisme pembiayaan iklim New Collective Quantified Goal (NCQG) senilai 300 miliar dolar AS (sekitar Rp4,7 triliun) per tahun untuk negara berkembang yang disepakati dalam COP29 Azerbaijan, sebaiknya diadopsi Indonesia untuk membuka ruang pendanaan transisi energi yang lebih progresif dibandingkan dengan yang disepakati dalam Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP).
Pasalnya, lanjut dia, pembiayaan melalui JETP lebih banyak berupa utang, yang dikhawatirkan justru menjadi beban fiskal Indonesia. Menurutnya, skema pembiayaan yang lebih progresif sangat krusial agar upaya mitigasi krisis iklim tidak membebani perekonomian negara berkembang, seperti Indonesia.
"Pemanfaatan dana publik dari negara maju berbentuk hibah yang lebih besar dan opsi penghapusan utang penting untuk memberikan ruang fiskal bagi percepatan transisi energi," kata Bhima.
Ia mencontohkan NCQG dapat digunakan untuk proyek penutupan PLTU yang terhambat APBN. Selain itu pembiayaan NCQG berupa hibah juga dapat digunakan untuk mengembangkan proyek-proyek pembangkit listrik berbasis surya, mikro hidro, dan angin, transmisi, serta baterai penyimpanan.
Di sisi lain, Thomas Houlie selaku Climate and Energy Policy Analyst dari Climate Analytics menyebut pembiayaan iklim yang disepakati pada COP29 sebesar 300 miliar dolar AS per tahun juga lebih rendah dari yang dibutuhkan negara-negara berkembang.
Mengacu kepada draf NCQG, pembiayaan yang dibutuhkan negara berkembang dalam Nationally Determined Contributions (NDCs) mereka mencapai 5-6,8 triliun dolar AS hingga 2030.
“Komitmen NCQG sangat jauh dari pembiayaan yang dibutuhkan. Negara maju telah menolak bekerja sama dan justru membongkar omong kosong mereka tentang urgensi situasi saat ini. Apa yang disebut sebagai peta jalan oleh Presidensi COP29 untuk mencapai 1,3 triliun dolar AS per tahun pada 2035 masih belum jelas dan tidak ada jalur yang jelas untuk menuju ke sana," tutur Thomas.
Negosiasi terkait NCQG menjadi topik utama dalam pembahasan COP29 di Baku, Azerbaijan. NCQG merupakan target pembiayaan iklim yang akan menggantikan komitmen pembiayaan iklim yang sebelumnya sebesar 100 miliar dolar AS per tahun sejak disepakati pada COP15 pada 2009.
Berita Trending
- 1 Inter Milan Berpeluang Dekati Puncak Klasemen
- 2 City Incar Kemenangan Keempat Beruntun
- 3 Khofifah Berharap Program Makan Bergizi Gratis Dapat Tingkatkan IQ Anak Indonesia
- 4 Kejati Jateng Usut Dugaan Korupsi Plaza Klaten, Kerugian Negara Capai Rp 10,2 Miliar
- 5 Libur Sekolah Selama Ramadan Jangan Sampai Kontraproduktif
Berita Terkini
- Andra Soni Ditetapkan sebagai Gubernur Terpilih pada Paripurna DPRD Banten
- DPR Akan Bahas Omnibus Law Politik Seusai Reses
- Wakil Ketua MPR Sebut Retret Kepala Daerah untuk Samakan Persepsi Capai Indonesia Emas 2045
- Istana Tegaskan Belum Ada Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati
- BI Dituding Turunkan Suku Bunga Acuan Sebagai Strategi Tingkatkan Penjualan SBRI