Minggu, 22 Des 2024, 10:27 WIB

Nasionalisme dalam Sepakbola Menurut Teori Filsafat Permainan

Arsip foto - Pesepak bola Timnas Indonesia Muhammad Ferrari (kiri) dan Pratama Arhan (kanan) melakukan selebrasi usai mencetak gol ke gawang Timnas Laos saat pertandingan Grup B ASEAN Cup 2024 di Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah, Kamis (12/12/2024).

Foto: ANTARA/Mohammad Ayudha

Martinus Ariya Seta, Universitas Sanata Dharma

Sepak bola merupakan cabang olahraga dengan popularitas tertinggi di dunia. Olah raga yang satu ini tidak hanya sekadar pertandingan di lapangan hijau, tetapi juga aktivitas sosial kultural yang mengandung konteks kehidupan yang lebih luas. Tak heran, sepak bola banyak dijadikan obyek kajian ilmu etnografi, politik, dan sosiologi agama.

Pada hakekatnya, manusia adalah homo ludens (mahkluk yang bermain). Dalam konteks luas, permainan bukan sekadar pengisi waktu luang tetapi fenomena yang menjelaskan makna peristiwa sehari-hari.

Dalam sudut pandang lain, manusia adalah homo utopicus (mahkluk berpengharapan). Artinya, harapan adalah salah satu elemen penting dalam kehidupan manusia, sehingga perlu dirawat melalui ruang-ruang simulasi (mewujudkan gagasan atau pemikiran dalam dalam situasi atau proses tertentu dari sebuah permainan) seperti misalnya sepak bola.

Sebagai permainan, sepak bola menjadi fenomena kultural yang penting untuk memahami manusia. Dalam konteks nasionalisme, contohnya, sepak bola menjadi ruang simulasi untuk merawat harapan akan kebanggaan dan kebesaran sebagai bangsa. Pasalnya, ruang kompetisi olah raga memberikan kesempatan yang lebih adil untuk saling mengungguli daripada ruang geopolitik. Di dalam kajian semiotik (ilmu yang mempelajari tanda), sepak bola bahkan dipahami sebagai simbolisasi dan simulasi dari pertarungan geopolitik. Pertandingan antara dua negara di atas lapangan hijau tak ubahnya perang di medan laga.

Ini mengapa perbincangan sepak bola sering kali menggunakan ungkapan metafora perang seperti “menghancurkan lawan, bertarung sampai titik darah penghabisan, atau insting membunuh”. Ungkapan metafora keagamaan seperti “dewa sepak bola, tangan Tuhan, dan keajaiban” juga digunakan di dalam sepak bola.

Sepak bola sebagai ruang dan momen

Nasionalisme membutuhkan ruang dan momen untuk merawat dan membangkitkan ikatan kolektif. Sehingga, sepak bola tidak semata-mata menawarkan ruang simbolisasi, tetapi juga wadah uji coba (simulasi) untuk merawat sentimen tersebut. Ini semacam laboratorium untuk merawat dan memupuk kebanggaan sebagai bangsa.

Collective efferverscene (kegembiraan kolektif) merupakan unsur yang membuat orang-orang terkoneksi secara emosional melalui ritus (tata cara ritual keagamaan).

Berdasarkan pandangan tersebut, lapangan sepak bola menjadi semacam ruang sakral yang menawarkan ritus untuk menumbuhkan sentimen ikatan kolektif, tidak terkecuali sentimen kolektif sebagai bangsa. Sehingga, keberhasilan dalam sepak bola akan memunculkan harapan untuk keberhasilan dalam hal-hal lain, semisal ekonomi atau politik.

Kita vs mereka dalam sepak bola

Identitas kolektif sebuah bangsa termanifestasikan dengan jelas di dalam rivalitas perang maupun rivalitas olahraga. Mekanisme rivalitas dan antagonisme inilah yang menjadi variabel pembentuk identitas kultural suporter sepak bola baik di tingkat lokal maupun internasional.

Fenomena rivalitas di dalam olah raga dapat menjadi pembentuk persepsi positif terhadap ingroup (kita) di hadapan outgroup (mereka). Persepsi positif ingroup adalah salah satu pilar di dalam pembentukan teori identitas sosial yang bersifat kolektif seperti nasionalisme.

Artinya, sepak bola adalah simulasi nasionalisme yang softcore (ringan) sementara perang adalah simulasi hardcore (keras) dari nasionalisme.

Nasionalisme ringan ini sering disebut juga nasionalisme banal. Namun, karena istilah “banal” bermakna negatif kepura-puraan dan dangkal, istilah everyday nationalism (nasionalisme sehari-hari) terasa lebih pas untuk menggambarkan ruang simulasi ringan—seperti sepak bola—dalam merawat harapan dan rasa memiliki sebagai bangsa. Meskipun ringan, ruang simulasi ini tetap bermanfaat untuk merawat nasionalisme.

Ritual merawat nasionalisme

Unsur ritual berkaitan erat dengan permainan sehingga muncul istilah ritual permainan (playful ritual) atau permainan ritual _(ritualized play).

Di dalam pertandingan sepak bola, terutama tim nasional (timnas), ritual tersebut mewujud dalam bentuk lagu kebangsaan, kostum, atribut, maupun simbol-simbol negara yang lain.

Sepak bola menjadi ritual untuk membangkitkan relasi yang lebih intens dengan simbol-simbol tersebut.

Merawat nasionalisme tidak cukup hanya mengandalkan kalkulasi rasional, tetapi juga membutuhkan momen sentimental. Sepak bola menawarkan momen sentimental untuk mensimulasikan harapan dan sentimen ikatan kolektif sebagai sebuah bangsa. Rasa haru, kebanggaan dan tetesan air mata ketika mendengarkan lagu kebangsaan adalah momen sentimental yang terjadi di lapangan pertandingan.

Artinya, sepak bola tidak sebatas permainan di atas lapangan hijau semata. Melainkan sebuah permainan yang mengandung konteks kultural lebih luas. Timnas tak ubahnya ruang simulasi untuk menyatukan etnis, agama, dan pilihan politik di dalam satu ikatan kolektif. Sehingga, kemenangan timnnas dapat membangkitkan rasa kebanggaan dan memperkuat ikatan kolektif sebagai bangsa, bahkan ketika bangsa tersebut sedang mengalami keterpurukan atau krisis.

Tak heran, meski hanya menawarkan nasionalisme ringan, sepak bola tetap dirayakan sedemikian rupa. Pertandingan timnas selalu menjadi topik yang trending dalam perbincangan masyarakat dari berbagai kalangan. Ini tak hanya membuktikan bahwa sepak bola adalah salah satu fenomena nasionalisme sehari-hari, tapi juga menegaskan peran sepak bola sebagai ruang simulasi dari narasi-narasi besar, termasuk nasionalisme.The Conversation

Martinus Ariya Seta, Dosen, Universitas Sanata Dharma

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan: