Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Nasib Pilu Sekolah Swasta

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Kematian Sekolah Swasta

Penulis : Nanang Martono dkk

Penerbit : Pustaka Obor

Cetakan : Oktober 2018

Tebal : xxiv + 194 halaman

ISBN : 978-602-433-663-9

Sejak prakemerdekaan, sekolah swasta telah ikut mencerdaskan bangsa. Mereka bernaung di bawah organisasi keagamaan dan nonkeagamaan. Misalnya, Ma'arif, Muhammadiyah, Kristen, Yayasan Katolik, Cikini, Taman Siswa, dan lain-lain. Dalam rentang dua dasawarsa ini, mereka menghadapi persoalan lumayan berat akibat liberalisasi sekolah.

Ada sekolah swasta bermodal besar yang mampu mendesain proses pendidikan secara komplet. Peminatnya berasal dari kelas ekonomi menengah atas. Ada pula sekolah swasta dengan kapital kecil yang tak berdaya mendesain proses pendidikan secara optimal akibat kendala biaya, potensi pendidik, dan input minim peserta didik. Sekolah jenis inilah banyak yang gulung tikar.

Fokus penelitian buku pada sekolah swasta jenis kedua. Prahara yang menimpa sekolah swasta tersebut disebabkan luputnya idealisme liberalisasi pendidikan dari sasaran yang hendak dicapai. Liberalisasi pendidikan awalnya memberi janji manis, dengan persaingan bebas, akan muncul sekolah terbaik. Dengan menyerahkan pilihan bebas kepada masyarakat, mereka bisa memilih sekolah yang selaras dengan cita-cita (hlm 2).

Pada tataran realitas, terdapat hambatan ekonomi dan potensi diri yang merusak janji manis tersebut. Sekolah dengan funding kecil tidak bisa bersaing. Masyarakat dengan ekonomi dan intelegensi lemah juga tidak bisa memilih sekolah ideal. Diskrepansi ini mengakibatkan liberalisme pendidikan terus lari tunggang langgang meninggalkan sekolah swasta bermodal kecil dan rakyat miskin dalam keadaan merana.

Siswa yang gagal diterima di sekolah favorit, diserap swasta yang miskin modal. Hubungan mutualistik antara keduanya terjadi, namun hakikatnya tidak mudah. Sebab umumnya dibangun atas dasar "keterpaksaan" atau "ala kadarnya". Tidak semua siswa belajar di sekolah swasta pilihan kedua ini betah karena keterpaksaan.

Guru-guru sekolah swasta juga tidak sejahtera. Mereka minus dana untuk pengembangan potensi diri. Sekolah mengalami keterbatasan fasilitas pendidikan. Orang tua siswa tidak sepenuhnya bisa membantu mengurangi keterbatasan tersebut karena bayaran yang minim. Itu pun terkadang tidak sanggup mereka bayar. "Biaya murah dapat menjadi bumerang karena justru akan mengalami banyak kesulitan dana," (hlm 157).

Gambaran sekolah swasta berbeda jauh dengan negeri pada umumnya. Pemerintah menjamin ketersediaan sarana pendidikan, kesejahteraan guru, alokasi dana untuk pengembangan potensi hingga menggratiskan biaya pendidikan. Herannya lagi, pemerintah masih terus membangun sekolah negeri di tiap daerah, walau di situ sudah ada sekolah swasta. Ini membuat sekolah swasta makin terpinggirkan.

Beberapa sekolah swasta yang terus eksis, bahkan berprestasi, di tengah fasilitas dan kesejahteraan guru pas-pasan karena kesungguhan memberi pembelajaran tambahan di luar jam sekolah. Mereka mendampingi siswa sepenuh hati. Penelitian ini juga mengungkap, sekolah swasta diminati karena murah dan ada pelajaran agama yang kuat (hlm 6).

Di bab terakhir, buku menekankan agar sekolah jangan lagi dikompetisikan supaya fokus pendidikan tidak hanya pada hasil, namun lebih pada proses. Bukan pada nilai ujian, tapi lebih holistisitas pembangunan manusia seutuhnya. Pemerintah berperan penting untuk meringankan beban sekolah swasta.

Menegerikan sekolah swasta seperti yang sudah digagas Kemenristek Dikti untuk level kampus agar pemerintah tidak perlu repot membangun sekolah baru. Negara cukup memberdayakan gedung sekolah swasta untuk dinegerikan.Buku ini sumbangan penting bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan kualitas sekolah swasta sebagai pilihan pendidikan yang turut mencerdaskan bangsa. Diresensi Suryanto, Kandidat Doktor UIN Malang

Komentar

Komentar
()

Top