Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Nasib Citayam Fashion Week: Dari Inspirasi Harajuku, Masalah HaKI Hingga Peluang Jadi Jaminan Utang

Foto : Istimewa

Ajang Citayam Fashion Week.

A   A   A   Pengaturan Font

Ajang Citayam Fashion Week yang tengah menjadi sorotan publik, bukan satu-satunya wilayah yang populer karena fenomena fashion jalanannya. Kawasan Harajuku di Tokyo, Jepang, bisa dibilang telah lebih dulu memulai demam street style. Keduanya pun memiliki berbagai kesamaan yang mendasarinya.

Bermula sebagai kawasan belanja, Distrik Harajuku di Shibuya, Tokyo berkembang jadi pusat bertemunya anak-anak muda dari berbagai subkultur. Uniknya, mereka datang dengan satu kesamaan, yakni perpaduan warna pakaian mencolok yang lantas menjadi ciri khas gaya Harajuku. Dikutip dari The Culture Trip, gaya Harajuku disebut-sebut merupakan hasil kreativitas imajinasi dari karakter sehingga menghasilkan gaya busana yang unik. Kehadiran Harajuku menjadi semacam bentuk perlawanan terhadap nilai dan norma yang berlaku secara ketat di Jepang. Pasalnya, pakaian nyentrik ala Harajuku kala itu kian bertolak belakang dengan gaya berpakaian umum di Jepang.

Hal ini berbanding lurus dengan apa yang Citayam Fashion Week representasikan. Pakar komunikasi dan media Universitas Airlangga (UNAIR) Profesor Rachmah Ida menilai kehadiran Citayam Fashion Week merupakan bentuk perlawanan dalam tren berbusana yang menurutnya selama ini disetir oleh kalangan menengah ke atas.

"Mereka mencoba melakukan dekonstruksi terhadap barang-barang fashion yang tidak dapat dijangkau oleh orang-orang di jalan dengan menyajikan fashion jalanan yang tidak kalah menariknya dengan fashion yang biasa dinikmati oleh kalangan middle-upper class," jelas guru besar pertama bidang media di Indonesia itu.

Sosok yang akrab disapa Ida itu menyebut busana yang dipakai kumpulan remaja di Citayam Fashion Week itu mengartikulasikan kreativitas dalam berpakaian keren tanpa harus mengenakan item fashion dari merek-merek ternama. "Mereka ingin mengkomunikasikan bahwa ini adalah urban street fashion yang selama ini termarjinalkan, tidak diperhatikan, dan mungkin bahkan tidak mampu diakomodasi oleh media populer karena dianggap tidak laku," ungkap Prof Ida.

Salah satu peserta Citayam Fashion Week, Frengky Glee (25) mengungkapkan kehadiran peragaan busana di Dukuh Atas itu menjadi sarananya berekspresi dan menarik perhatian.

"Kalo aku suka dunia model fesyen jadi aku lebih geluti kesitu dan karena saya orangnya suka diperhatikan jadi kalo aku kalo jalan kemana aku suka orang memperhatikan, ujar sosok yang akrab disapa Glee itu.

Selain dari gaya berbusana yang unik dan nilai yang hendak keduanya representasikan. Kemiripan antara Citayam Fashion Week dan Harajuku juga terlihat dari lokasi penyelenggaraan keduanya yang dapat dengan mudah diakses lantara terintegrasi transportasi umum atau disebut Transit Oriented Development (TOD). Adapun TOD merupakan suatu konsep pembangunan transportasi yang bersinergi dengan tata ruang guna mengakomodasi pertumbuhan baru dengan memperkuat suatu lingkungan.

Kawasan Harajuku yang berada di sekitar Stasiun JR Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo, Jepang. Sementara Citayam Fashion Week berlokasi di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, yang berdekatan dengan 3 moda transportasi publik, yaitu KRL, MRT dan KA Bandara, juga mempermudah akses ke Transjakarta. Terlebih, alih fungsi Terowongan Kendal menjadi kawasan pedestrian pada 2019, mempermudah akses pejalan kaki yang bermobilitas dari Stasiun Sudirman menuju sisi barat Jalan Sudirman. Hasil survei Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) menunjukkan pada tahun 2020, Terowongan Kendal dilintasi hingga 5.000 pejalan kaki per jam pada waktu sibuk. Keberadaan moda transportasi umum dan ramainya lalu lalang masyarakat inilah yang menjadi kunci kepopuleran fashion jalanan.

Namun, media mode Jepang, Tokyo Fashion menilai nasib Harajuku pada mulanya berbeda dengan anak muda yang meramaikan kawasan Dukuh Atas. Menurutnya, Citayam Fashion Week didukung netizen lokal yang berlomba membagikan unggahan mengenai fenomena fashion jalanan ini di media sosial. Sementara Harajuku lebih sulit, para remaja Jepang harus menghadapi stigma negatif atas dandaman mereka yang dianggap aneh bahkan cukup 'gila'. Keadaan kian berbalik ketika banyak mahasiswa perguruan tinggi mode di Jepang yang kemudian melibatkan anak-anak Harajuku dalam proyek mereka.

"Utas keren tentang ribuan anak muda Indonesia yang berdandan dan membuat jalan-jalan di Jakarta Pusat menjadi hidup sebagai fashion catwalk, tidak seperti Harajuku di Jepang (…) Salah satu hal yang membantu Harajuku tetap hidup adalah banyaknya mahasiswa dari perguruan tinggi mode dan kecantikan Tokyo di lingkungan fashion jalanan. Mereka sering membawa anak-anak Harajuku lain ke proyek sekolah mereka sebagai model, asisten dll," tulis Tokyo Fashion lewat akun Twitter mereka.

Hal itu selaras dengan pendapat Prof Ida. Menurutnya, kehadiran media sosial mampu mendorong munculnya subkultur baru di masyarakat. "TikTok menjadi media sosial gratis yang diminati, termasuk pada middle-lower class. Sehingga subkultur yang selama ini termarjinalkan, tidak ada tempat, bisa menjadi bermunculan," jelasnya.

Dalam unggahannya, media Tokyo Fashion bahkan optimis apabila Citayam Fashion Week mendapat dukungan baik dari netizen, warga, pelaku bisnis lokal, dan pemerintah, bukan tidak mungkin fashion jalanan di Dukuh Atas itu akan mendulang popularitas layaknya Harajuku yang telah mendunia. Penyanyi tersohor seperti Lady Gaga dan Nicki Minaj bahkan ikut mengenakan gaya tersebut dalam berbagai kesempatan. Japan National Tourism Organization menuturkan bahwa kecintaan pada gaya Harajuku telah mendorong perkembangan dan transformasi budaya di kawasan Harajuku itu sendiri.

"Buat siapa pun yang ingin membantu membangun komunitas street fashion di Jakarta, memiliki media sosial yang secara reguler mengunggah jepretan fenomena jalanan membantu anak-anak ini saling bertemu, mendorong mereka untuk saling menginspirasi dan jadi tempat untuk mempromosikan gelaran fashion lokal atau pop up atau hal lain," pungkasnya.

Ruang Publik Jadi Kendala Utama Ajang Citayam Fashion Week dan Harajuku

Seperti pinang dibelah dua, komunitas Harajuku dan Citayam Fashion Week juga sempat menuai pro dan kontra dari warga setempat. Media fashion Jepang, Tokyo Fashion dalam unggahannya menuturkan warga dan pemilik bisnis setempat mulanya tidak begitu menghargai aktivitas komunitas Harajuku yang sangat bertolak belakang dengan gaya berbusana warga Jepang pada umumnya hingga membuat mereka memilih untuk menjauh. Keramaian di kawasan Harajuku lantas membuatnya dijaga pihak kepolisian setempat.

Selaras dengan Harajuku, komunitas Citayam Fashion Week turut menghadapi masalah serupa. Keramaian di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat membuatnya tidak lagi kondusif. Terlebih anak muda di sana menggunakan sarana penyeberangan zebra cross untuk peragaan busana sehingga mengganggu lalu lintas pengendara kendaraan bermotor sekaligus menyebabkan kemacetan pada jam sibuk. Pihak kepolisian sendiri menyatakan bahwa Citayam Fashion Week telah melanggar Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Polisi juga terus menjaga lokasi seraya mengimbau muda mudi untuk tidak menggunakan sarana penyeberangan itu. Mereka dilaporkan sempat memblokade zebra cross dengan mobil polisi dan cone supaya tidak lagi digunakan untuk peragaan busana.

"Silakan berjalan beraktivitas di aras trotoar dan tidak menggunakan bahu jalan ataupun trotoar untuk merekam video atau membuat konten, silakan berselfi di atas trotoar, jangan membahayakan diri sendiri atau orang lain, terima kasih," bunyi imbauan petugas keamanan yang berjaga di dekat Zebra Cross tersebut pada Kamis (28/7).

Berbagai rencana pemindahan lokasi Citayam Fashion Week pun menjadi kajian akhir-akhir ini. Berbagai lokasi dan ruang publik di Jakarta pun diunggulkan.Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengusulkan tujuh lokasi yang berpotensi menjadi tempat Gitayam Fashion Week dilakukan, yakni Selatan Monumen Nasional (Monas), Taman Lapangan Banteng, Taman Ismail Marzuki (TIM), Senayan, Kemayoran, Sarinah dan Kota Tua.

"Di sini sudah sangat ramai, bahkan melebihi kapasitas. Kegiatan fashion week ini ke depan mari kita cari tempat yg lebih baik. Jangan di tengah jalan atau di zebra cross, nanti itu sangat berbahaya," ungkap Riza kepada wartawan di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (27/7).

Pengamat Tata Kota Universitas Diponegoro (UNDIP), Fadjar Hari Mardiansyah menilai memindahkan Citayam Fashion Week menjadi tantangan tersendiri. Menurutnya, pemerintah harus menyiapkan tempat yang sesuai dengan para peserta yang umumnya berasal dari merupakan segmen egaliter dengan latar belakang sosial ekonomi menengah ke bawah.

"Mayoritas komunitas anak muda di Citayam Fashion Week menggunakan KRL yang relatif murah dan terjangkau. Kesesuaian tempat juga harus sesuai dengan karakter generasi milenial yang egaliter sehingga memindahkan ke Sarinah tak akan sesuai karakteristik mereka," kata Fadjar.

Fadjar sendiri melihat kerumunan komunitas Citayam Fashion Week di Jakarta sebagai luputnya perhatian Pemprov DKI dalam mengakomodir ruang publik yang mampu mewadahi unjuk gigi kreativitas bagi anak muda. Menurutnya, ruang publik yang kini gencar didirikan Pemprov lebih berfungsi sebagai lokasi bersantai atau beraktivitas masyarakat pada umumnya.

"Konsep segmen yang dibuat Pemprov DKI saat ini berbeda. Bukan untuk penggembangan kreativitas generasi milenial. Segment Citayam Fashion Week, flash mob dance atau Lintas Melawai belum diperhatikan Pemprov DKI. Adanya ekses SCBD Citayam Fashion Week harusnya menjadi tanggung jawab Pemprov untuk menyediakan tempat penggembangan kreativitas generasi milenial," ungkap Fadjar.

Agenda memindahkan lokasi Citayam Fashion Week pun menuai protes dari sejumlah anak muda yang terlibat karena dinilai akan memakan lebih banyak biaya. "Ga setuju, enakan di sini (Dukuh Atas), di sana (Sarinah) lebih mahal. Kan keretanya gaada juga," ujar Gaby (13) dan Pio (15) secara bergantian saat ditemui Koran Jakarta pada Kamis (28/7).

"Aku sih kontra ga setuju karena kasihan remaja yang udah niat banget dan punya uangnya minim. Pangsa pasarnya juga mungkin penggemarnya di sini bukan di sana," ujar Frengky Glee (25), peserta Citayam Fashion Week yang tengah viral berkat penampilan beraninya.

Glee menilai, pemerintah lebih baik merevitalisasi kawasan Dukuh Atas agar khusus diperuntukan untuk acara sejenis supaya tidak mengganggu berbagai pihak di luar komunitas Citayam Fashion Week. "Pemerintah supaya memperbaiki ruang tata kotanya (Dukuh Atas) sehingga ada ruang bagi masyarakat tanpa mengganggu pengguna jalan, pejalan kaki, juga para pedagang," tambah Glee.

Nilai Ekonomi Citayam Fashion Week yang Diperebutkan Banyak Pihak

Tingginya animo dan antusiasme masyarakat atas fenomena Citayam Fashion Week rupanya turut dipandang sebagai suatu peluang yang diklaim dapat lebih besar dari sekedar gelaran fesyen amatir. Publik baru-baru ini dihebohkan dengan pendaftaran Hak atas Kekayaan Intelektual atau HAKI atas Citayam Fashion Week.

Setidaknya, ada dua pihak yang ketahuan mendaftarkan HAKI Citayam Fashion Week. Pendaftaran Citayam Fashion Week sebagai merek pertama kali diusung oleh Pasangan selebritis Indonesia, Baim Wong dan Paula Verhoeven. Berdasarkan pantauan Koran Jakarta di Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Baim dan Paula mendaftarkan permohonan merek menggunakan nama PT Tiger Wong dengan nomor JID2022052181 pada 20 Juli 2022 lalu. Berselang satu hari, ada satu lagi pihak yang turut mendaftarkan permohonan merek yang sama dengan nomor JID2022052496 atas nama Indigo Aditya Nugroho.

Namun, niat itu harus kandas setelah kedua pemohon mendapat tanggapan tak sepaham dari sejumlah publik figur tanah air, mulai dari sesama selebritas, netizen, hingga pejabat pemerintahan. Dari pantauan Koran Jakarta, sebagian besar berpendapat, pendaftaran Citayam Fashion Week sebagai HAKI atas nama perusahaan pribadi dinilai tidak etis dan bernilai komersial semata. Terlebih, kedua pihak pemohon bukan pencipta, baik istilah maupun ajang Citayam Fashion Week.

Tak jelas siapa yang pertama kali menciptakan istilah itu untuk menyebut ajang peragaan busana di Dukuh Atas sebagai Citayam Fashion Week. Entah apakah Bonge, Jeje atau Rio, entah konten kreator yang mewawancarai dan mempopulerkan mereka atau bahkan media massa tanah air. Namun satu yang pasti, istilah Citayam Fashion Week diketahui awalnya lahir dari komunitas anak muda yang memang pertama kali berkumpul di tempat tersebut. Sebelumnya bahkan aksi mereka lebih dulu mendapat julukan SCBD yang berarti Sudirman Citayam Bogor Depok.

Frengky Glee, salah seorang komunitas Citayam Fashion Week juga mengaku keberatan dengan pendaftaran ke HAKI. Ia menyayangkan langkah Baim dan Indigo yang tidak berdiskusi dengan komunitas fashion jalanan itu secara terbuka.

"Ini milik semua orang jadi ga pantas, ga wajar aja untuk kepentingan pribadi. Ada kode etiknya juga, kita aja kalau ke rumah orang harus permisi kan ada etikanya gitu," ujarnya saat ditemui Koran Jakarta di Dukuh Atas pada Kamis (28/7).

Peserta lain, Irfan menuturkan langkah itu justru akan mengkotak-kotakan dan membatasi keterlibatan anak muda yang tadinya bebas mengikuti ajang tersebut. Menurutnya akan banyak anak muda yang merasa sungkan untuk bergabung dengan komunitas yang telah terbentuk.

"CFW memang bukan punya satu lembaga, karena kalau untuk kaya gitu di satu kepemilikan itu tidak akan seperti sekarang, karena membatasi. Kaya saya ini kan baru pertama ya dan kalau sudah membentuk organisasi, saya jadi enggan karena sudah punya orang dan mereka pasti membatasi siapa yang akan melihat. Kalau sekarang kan siapa aja bisa lihat," ujar Irfan yang baru pertama kali menikmati keseruan Citayam Fashion Week.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, bahkan ikut angkat suara terkait pendaftaran Citayam Fashion Week ke HAKI. Sosok yang akrab disapa Kang Emil menilai tak semua hal perlu dikomersialkan. Menurutnya ajang Citayam Fashion Week merupakan gerakan organik akar rumput yang tumbuhnya harus natural. Ia berpendapat komersialisasi ajang itu hanya akan membuatnya mati muda. "Ada kalanya mereka hanya butuh ruang ekspresi. Dan tidak perlu negara turut campur terlalu jauh. Tidak perlu pula individu-individu di luar komunitasnya ikut-ikutan mengatur-ngatur. Jika pun ingin diorganisasikan lebih baik, biarlah mereka sendiri yang mengurusnya melalui komunitasnya," ujarnya.

Selain itu, para pengamat juga menilai pendaftaran Citayam Fashion Week ke HAKI cenderung berbahaya. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Plt Dirjen KI) Kemenkumham, Razilu menjelaskan HAKI akan memberikan pemiliknya manfaat ekonomis sehingga ketika karya yang dimaksud digunakan untuk tujuan tertentu terutama yang bersifat komersial oleh pihak lain, pihak tersebut harus membayar sejumlah royalti berdasarkan ketentuan tertentu kepada orang yang tercatat memiliki hak cipta atas karya yang dimaksud. Besaran yang harus dibayar pengguna merek nantinya pun akan ditetapkan langsung oleh pemilik merek atau tidak ada ketetapan nilai pasti. Artinya, bukan tidak mungkin ajang Citayam Fashion Week nantinya akan semakin dibatasi dan tidak lagi bisa digelar secara leluasa.

"Keuntungan cukup banyak, pertama perlu dipahami bahwa hak kekayaan intelektual itu, hak yang diberikan untuk pemegangnya untuk mengeksploitasi nilai ekonomi daripada hak yang dia miliki. Dia punya hak eksklusif, boleh mengeksploitasi oleh dirinya sendiri, dia bisa memberikan persetujuan kepada orang lain untuk kemudian dia dapatkan royalti, dan dia juga bisa melarang pihak lain," ujar Razilu dalam konferensi pers di Gedung Kemenkumham, Jakarta Selatan, pada Selasa (26/7).

Selain keuntungan dari royalti, sebagai kekayaan intelektual, Citayam Fashion Week dapat dijadikan sebagai jaminan utang ke lembaga keuangan bank atau non bank sesuai Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2022, tentang peraturan pelaksanaan undang-undang nomor 24 tahun 2019 tentang ekonomi kreatif. Melalui aturan ini, perbankan bisa memberikan pembiayaan kepada calon debitur yang memiliki agunan berupa kekayaan intelektual atau atau intellectual property (IP).

"Pembiayaan berbasis Kekayaan Intelektual diajukan oleh Pelaku Ekonomi Kreatif kepada lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan non bank," demikian bunyi Pasal 7 ayat 1 PP Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif.

Walaupun begitu, para pelaku ekonomi kreatif masih harus bersabar pasalnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih mengkaji prospek dan kelayakan HAKI sebagai jaminan kredit ke lembaga perbankan. Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae menjelaskan OJK masih melakukan kajian, khususnya terkait masalah valuasi, ketersediaan secondary market, penilaian untuk likuidasi HAKI, dan infrastruktur hukum eksekusi HAKI. Ia menilai ekosistem HAKI di secondary market saat ini masih belum kuat terlebih mekanisme penentuan valuasi HAKI masih terbatas. Masalah lain juga muncul dari acuan bank dalam mengukur nilai dari barang jaminan kredit, dalam hal ini adalah nilai suatu HAKI. Alhasil, Dian menekankan perlunya pemerintah membuat aturan turunan yang jelas dan ketat.

"Saat ini ekosistem HKI di pasar sekunder masih belum cukup kuat dan mekanisme penentuan valuasi sebuah HKI masih terbatas. Sedangkan bank harus mengetahui berapa nilai dari barang jaminan kredit sehingga dibutuhkan peran pemerintah dan pihak terkait untuk meng-address isu tersebut," paparnya dalam keterangan tertulis OJK, seperti dikutip Koran Jakarta pada Sabtu (30/7).


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top